Dunia sudah
semudah ini, ngapain susah-susah nyari kata-kata romantis dan puitis. Cukup googling
aja. Mau buat tugas ngga perlu repot-repot ngabisin tenaga ke perpustakaan,
cukup googling. Dan yang ngga punya jodoh, cukup tanya sama google di mana
keberadaannya kini.
Tapi hidup
ngga begitu juga bro!!!
Sering banget kita
mendengar kasus berita copas tulisan orang lain, seperti sudah membudaya. Malah korban capek-capek mikir dan menulis di platform media sosialnya. Namun dicomot orang lain, hasilnya yang nyolong karya orang malah
terkenal. Tulisan atau jokenya dianggap hasil kerja kerasnya dianggap karya sang plagiat. Nyesek bukan!!
Apalagi sudah keseringan.
Baru-baru ini gue
mendapati salah seorang ABG punya kebiasaan unik, iya kebiasaan copas karya
orang lain. Memenangkan begitu banyak lomba menulis dan yang lebih mengejutkan
lagi ia sudah pernah menerbitkan buku. Bermodalkan tulisan orang lain langsung
diplagiat dan hasilnya ia menang lomba serta tulisannya dipublikasikan oleh
penerbit majalah serta surat kabar.
Malahan orang yang
terlebih dulu menulis malah dianggap pelaku copas. Ibarat korban, saat mengadu
malah dianggap pelaku sedangkan pelaku malah jadi seorang korban. Ada kalangan
yang berpikiran ekstrem mengatakan:
“Ingin
kata-kata kamu yang dituliskan di sosial media tak mau di copas oleh orang
lain. Jangan pernah tulis di sosial media tapi tulis saja di prasasti atau
cukup simpan dalam hati”
Kebiasaan copas menurut
gue berasal dari salah satu kebiasaan buruk bernama “nyontek”. Budaya kampret
itu sudah mendarah daging dan dianggap keharusan. Teman yang rajin dan pintar
dipaksa teman-temannya untuk belajar habis-habisan jelang ujian. Yang malas dan bego malah berleha-leha dengan gembiranya.
Teman yang
rajin tak memberi aontekan malah dikutuk atau dijauhi dengan alasan pelit dan
mementingkan diri sendiri. Mana logika coba?
Andai saja
teman yang sudah begitu keras belajar, namun saat hasil keluar malah nilainya
di bawah teman-teman yang nyontek. Gimana perasaannya, sakit bukan?
Pengalaman pernah gue
alami sendiri saat memberikan contekan tugas kepada teman-teman. Di dalam dunia
kampus sudah bukan hal asing bahwa semakin pintar seseorang maka semakin banyak
teman palsu yang tiba-tiba baik. Pura-pura nyapa waktu ada tugas, tiba-tiba
traktir hingga ada yang terang-terangan minta sontekan.
Jelas mengganggu
banget dan keseringan malah jadi keenakan. Niat membantu karena teman ngga bisa
tetapi menjurus memuluskan langkah makin malas belajar. Pengalaman
buruk gue adalah pernah tidak lulus salah satu mata kuliah karena ada
teman-teman yang copas (read: meniru) tugas.
File yang gue
kasih agar teman-teman bisa belajar serta referensi malah di copas bulat-bulat.
Lebih parah lagi ada teman yang copas sampai lupa ganti NIM gue. Sungguh
perilaku buruk dan gue dipanggil bersama teman-teman yang copas oleh dosen terkait
untuk diinterogasi. Hasilnya gue ngga diluluskan akibat mempermudah orang lain melakukan aksi curang. Semenjak itu gue ngga
ngasih sontekan atau copas dengan teman-teman, tapi apa daya. Itu adalah
semester akhir sebelum bertarung dengan skripsi.
Kemudahan dengan lahirnya perangkat teknologi serta internet makin ngebut, semakin memudahkan copas dan aksi plagiat. Zaman dulu, meniru itu butuh usaha yang ekstra. Misalnya pinjam catatan harus disalin terlebih dahulu, diketik pakai mesin ketik hingga buat jari-jari perih. Tugas dilakukan di tengah malam hari, suara mesin ketik bisa sangat mengganggu ketenteraman tetangga tidur. Sekarang... hanya modal Cltr + A, Cltr + C dan Cltr + V. Langsung jadi tugasnya, sisanya cuma edit manis yang ngga butuh usaha.
Kembali ke kasus
kita, plagiat atau copas membuat pelakunya malah kesenangan. Awal mulanya
sedikit takut apa yang ia copas ketahuan, hasilnya copas yang ia ambil malah
sukses besar. Di tingkat pendidikan ia mendapatkan nilai yang bagus, di dunia
kepenulisan tulisannya terbit ke majalah terkemuka dan di dunia sosial media
hasil copasnya menghasilkan pengikut setia dan uang berlimpah.
Memang di dunia
ini ngga ada hal yang baru, apa yang kita tulis kini sudah pernah atau dipikirkan
oleh manusia-manusia sebelumnya. Hanya saja penyampaian atau sudut pandang yang
kadang sedikit berbeda. Bila secara bersamaan bisa sama dalam menyangkut tema
dan hampir semuanya sama. Ketebak, antara dua orang itu ada yang benar dan ada
yang berdusta dengan meng-copas.
Nah gue mau
membahas mengapa plagiat begitu gampang dan menjadikan plagiat sebuah kebiasaan
dan pembiasaan. Alasan-alasan yang ngga masuk akal jadi pembenaran budaya
copas, apa sajakah itu:
Pertama,
malas membaca penyebab utama dengan semudah udel orang mengambil hak cipta
orang lain. Menulis dan membaca adalah komponen kompleks yang sulit dipisahkan.
Suka membaca tapi tak suka menulis hanya menjadikan sebagai pembaca tanpa
karya. Suka menulis tapi malas membaca, tulisan terasa kosong tanpa makna.
Keduanya
perlu, di saat jadi pembaca kita memperhatikan sudut pandang pembaca ingin.
Lalu saat jadi penulis kita menulis apa yang pembaca inginkan. Keduanya komponen
sama kuat membuat rasa menghargai karya orang lain begitu besar. Serta
menginginkan punya karya sendiri (tulisan) yang sama baiknya dengan yang kamu
baca.
Kedua,
budaya menyontek jadi alasan tingginya kasus plagisasi dari bangku sekolah
hingga perguruan tinggi. Patokan nilai bagus adalah segala-galanya dalam
kelulusan bukan kejujuran jadi alasan kenapa budaya menyontek merajalela. Kurangnya
pengawasan serta nilai dianggap standar patokan wajib kelulusan, maka melahirkan budaya
nyontek. Lebih bangga dapat nilai bagus hasil menyontek dibandingkan nilai
jelek tapi jujur. Ironis bukan!!!
Sudah jadi
kebiasaan, plagiat jadi hal biasa tanpa dosa dan rasa bersalah. Eh... ternyata
meng-copy karya orang lain tanpa mencantumkan sumber itu plagiat?
Maaf baru tau,
kirain bukan. (Kalimat yang sering gue dengar)
Duh... parah
banget!!!
Itu sering terjadi
saat ada tugas yang diberikan di perkuliahan, hasilnya jelas-jelas dari diambil
dari google atau jurnal orang lain tanpa mencantumkan judul. Itu berlanjut
terus-terusan karena sudah berawal dari nyontek dan berkembang menjadi plagiat
karya tulis ilmiah.
Ketiga,
ingin dikenal punya karya oleh khalayak ramai dengan cara mengcopas tulisan
orang lain secara mentah-mentah. Haus rasa pengakuan bahwa pelaku ingin
membuktikan punya karya dan dikenal. Terlihat sangat produktif walaupun
sebenarnya bertopeng dari karya orang. Lebih baik punya karya jelek dan sedikit
dibandingkan punya banyak karya tapi copas punya orang lain semua. Berkarya ngga
harus ada pengakuan, tapi cukup kamu sendiri tau bahwa kamu mampu berkarya
tanpa diakui.
Keempat,
mencari keuntungan apalagi begitu banyak perlombaan yang diadakan oleh berbagai
pihak dengan hadiah tertentu. Siapa sih yang ngga tergiur, cara paling mudah
adalah mengambil hak cipta orang lain apalagi tulisan yang ia dapatkan
berkenaan dengan judul lomba. Berkat semakin mudahnya zaman dengan dukungan
internet, langsung deh mencaplok karya bagus tapi tak penulisnya kurang
familiar.
Lalu mencari
tempat penerbit yang tepat (bisa saja editor) kurang tau. Hasilnya diterima dan
terbit dalam salah satu rubik surat kabar kah atau majalah. Penulis untung dan
penerbit kedatangan banyak pembaca. Pemilik karya hanya gigit jari atau tak tau
karyanya ditunggangi orang lain untuk terkenal dan meraut untung.
Siklus para plagiat kurang lebih begini:
Malas membaca dan menulis + Biasa menyontek + Mau terkenal + Mau dapat untung sekejap > Mencari karya orang lain yang diplagiat > Melakukan aksi plagiat karya orang > Berhasil terbit dan memenangkan perlombaan > Cita-citanya kesampaian.
Lebih parah lagi semua dilakukan oleh oknum perorangan atau kelompok dalam peraut para pembaca, materi dan
keuntungan menjual tulisan orang lain berkedok tulisannya.
Pernah gue membaca sebuah anekdot yang menceritakan
seseorang mau menjadi penulis, akan tetapi tak suka membaca dan menulis sedikit pun.
Kepada penulis handal ia bertanya.
Lalu si penulis berkata: Jangankan ngga
suka membaca dan menulis, kamu buta pun bisa menghasilkan buku.
Wah, yang benar? Bagaimana caranya:
Cukup kamu ambil buku orang lain, lalu ganti
covernya dengan cover serta namamu. Katakan kepada orang lain itu karya kamu
dan kamu yang menulis, selesai bukan!!!
Solusinya Bagaimana?
Budaya copas sudah
bisa diperangi, apalagi banyak pihak yang dirugikan terus-terusan serta banyak
pembaca yang tidak tau malah tertipu terus-terusan. Salah satunya komitmen
belajar, salah satunya dari kara tulis para senior.
Semua yang
menghasilkan karya pasti belajar dari pendahulunya yang terlebih dahulu
mengecap asam garam. Istilahnya adalah terinspirasi untuk menghasilkan karya yang
serupa, dalam tahap belajar meniru itu ngga masalah. Apakah itu teknik
penulisan, gaya bahasa hingga pembawaan. Seiring dengan berjalannya waktu kamu
akan mendapatkan gaya bahasa dan pembawaan sendiri yang mengalir dan itu “kamu
banget”
Metodenya adalah:
Ambil + Tiru + Modifikasi = Menghasilkan tulisan kamu yang khas
Proses itu butuh
waktu dengan latihan terus menerus agar otak dengan mudahnya bisa menghasilkan
tulisan-tulisan yang mujarab. Boleh sih asalkan tak lupa mencantumkan referensi
bukan malah menganggap hak cipta diri sendiri dengan bangganya.
Cara lain menindak
tegas pelaku copas adalah dengan hadirnya aplikasi bernama Plagiarism Check untuk mengetahui yang bersangkutan mengambil hak cipta orang lain. Cukup ampuh
terutama di dunia perkuliahan dan jurnalistik yang rentan aksi copas. Para
dosen atau editor harus bekerja lebih keras untuk menge-check, sehingga
nantinya pelaku copas akan lebih berpikir ulang melakukan tindakan tidak
terpuji itu.
Ini sangat
berharga ke depan untuk menindak tegas yang memiliki kebiasaan plagiat. Bagi
yang belum ketahuan bisa segera tobat dan menyesal. Karena setiap karya yang
orang tulis butuh segala perjuangan yang ngga sekejap tapi bertahap. Bila kamu
mau seperti itu, lalui dulu tahap demi tahap bukan mengabaikan semua tahap
dengan untuk mencapai hasil instan.
Semoga tulisan ini
menyadarkan karena bangga hasil tulisan pribadi lebih baik dibandingkan dengan
percaya dirinya bangga pada karya orang lain. Dan sekali lagi, semoga
menginspirasi.
Ini karyaku, mana
karyamu?
pengalaman yang sama, dinyontekin malah dapat E yang nyontek dapat B.. :(
ReplyDeleteHidup terasa ngga adil, makanya budaya nyontek merugikan banget korban penyontek.
DeleteTulisan di blog paling rentan di plagiasi. Beberapa tulisan saya mejeng di blog bahkan portal berita dengan manisnya. Satu hal saja, menulis yang rajin, terkenal dan sejenisnya akan datang belakangan :)
ReplyDeleteTerima kasih sarannya bang. Karena kerja keras dan konsisten kelak hasilnya akan keliatan.
Delete