Bingung cara
membunuh rasa bosan apalagi kouta mendadak habis, saya pun memilih menonton TV
untuk mencari tayangan yang bisa membunuh rasa bosan. Well... setelah sekian
lama menghabiskan waktu buat memencet remote televisi hingga jempol
sakit. Akhirnya tak ada acara TV yang menarik. Apa boleh buat, terpaksa harus
menonton sejumlah acara yang random.
Setelah diperhatikan
sekian lama menonton, saya mengambil kesimpulan hasil dari menonton TV lokal.
Mungkin banyak yang sepakat bahwa kualitas tontonan TV lokal sudah sangat
menurun. Sejumlah acara random menghiasi televisi lokal, berbeda dengan televisi
berbayar. Andai sanggup bayar, cukup pilihan acara sesuai keinginan dan dijamin
pas sesuai pilihan.
Saat ini acara televisi
lokal selain mutunya menurun dan melambat, segmennya mulai tergerus sebagai
yang paling terdepan dalam memberikan informasi. Itu terlihat semenjak internet
dan sosial media berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir.
Nah... bisa
dilihat dari riset tersebut, pangsa pasar televisi hanya 36%, artinya hanya
sepertiga yang masih memperhatikan TV. Bukan tidak mungkin televisi hanya
sebagai barang elektronik pajangan di rumah kita. Hanya waktu yang bisa
menjawab.
Ini yang terjadi selama satu menit di sosial media. |
Di dukung kemajuan
smartphone dalam memudahkan segala hal dan terkoneksi secara langsung dengan
internet, membuat penggunanya bisa mengakses sesuai keinginannya. Selain irit
waktu, pengguna smartphone atau laptop lebih mudah dibandingkan televisi
yang tidak bisa di bawa ke mana-mana.
Mengakses
segala berita secara online jadi lebih gampang melalui gawai seperti smartphone
dan laptop. Bermodal kouta internet, anda bisa menonton atau tahu berita
yang dimau tanpa harus menunggu lama iklan atau menonton acara yang tak anda suka
terlebih dahulu.
Faktor lain khususnya
acara di TV lokal begitu monoton hingga mereka kalah bersaing. Sejumlah tayangan
menarik mengharuskan pemilik banyak pindah ke televisi berbayar. Hasilnya televisi
lokal hanya menyisakan acara yang kurang menarik dan bermutu.
Saya pribadi menganalogikan
dalam bentuk daerah akan jumlah menonton TV. Daerah itu terbagi tiga yaitu A, B
dan C sesuai dengan menghabiskan waktu di depan televisi.
Pertama adalah
daerah A, ialah daerah yang mulai meninggalkan waktu menonton televisi, menggantinya
dengan sosial media sebagai sumber informasi. Daerah tersebut umumnya daerah
urban perkotaan yang memiliki akses internet cepat. Masyarakat hanya ingin mengakses
informasi tanpa harus menonton televisi cukup dari gawai pribadi mereka.
Masyarakat di daerah
A hanya memilih apa yang mereka tonton dan tidak, bukan sebagai sebuah skala
prioritas. Misalnya pertandingan sepak bola atau acara lain seperti sulit diabaikan
seperti Headline News, selebihnya cukup diakses melalui gawai masing-masing.
Kedua ialah daerah
B, segmen daerah yang berada di tengah-tengah antara televisi dan internet
lumayan berimbang. Masyarakat masih menganggap peran televisi bisa tergantikan
namun tidak menyeluruh dan sebahagian masyarakat sudah menjajaki internet serta
aktif di sosial media.
Daerah kota
kecil menganut konsep ini, karena masih begitu terbatas sehingga mereka menggabungkan
keduanya. Kalangan anak muda di daerah tersebut mulai melirik internet sebagai
akses informasi sedangkan kaum tua yang masih mendewakan televisi.
Terakhir ialah
daerah C, pada daerah ini masih menganggap televisi sumber informasi segalanya.
Apa saja yang ditonton langsung mudah ditelan mentah-mentah, mulai dai bangun
tidur hingga tidur lagi. Tak heran anak-anak kecil dan ibu-ibu mendewakan semua
idola yang mereka tonton di layar kaca setiap hari.
Bukan hal aneh
saat anak-anak di daerah tersebut hafal percakapan sinetron yang tonton
semalam, atau gaya tokoh idamannya untuk ditiru di sekolah. Sejumlah jargon
iklan yang berseliweran yang diputarkan saat jeda, secara tak langsung itu
membekas di otak khususnya anak-anak.
Untuk koneksi internet,
jangan diharap banyak. Kadang hilang,
namun tak tahu kapan muncul lagi. Berbagai program pemerintah seperti internet
masuk desa seakan membuat masyarakat yang di daerah C mulai melirik tontonan
selain di TV di masa akan datang. Andai pihak televisi lokal khususnya harus
tidak berbenah, bisa saja televisi harus kehilangan pelanggan mereka.
Memang bukan
berarti acara di televisi buruk semua atau yang ada di internet semuanya bagus.
Itu lebih bagaimana konsep yang dirancang, bukan hanya mementingkan rating dan
hiburan semata. Namun menanamkan nilai-nilai edukasi di dalamnya setiap acara.
Berikut ini
sejumlah acara random di TV lokal yang bikin kalian yang menonton terasa begitu
eneg dan membosankan saat melihatnya, penasaran? Cekidot:
Acara gosip
murahan, sudah dari dahulu gosip khususnya masalah
artis punya porsi jam tayang besar. Mulai dari siklus si artis jatuh cinta,
pacaran-putus, back street, nikah, dan cerai selalu menghiasi sejumlah infotaiment.
Di waktu siang menjelang sore, hampir semua TV lokal memutarkan infotaiment.
Di balut
sedemikian rupa menjadi tontonan yang menarik. Segmen yang dicari adalah ibu-ibu
sehingga mereka lupa masak buat suami, asyik terpaku menonton acara perceraian
sang artis. Well.. bukan hal aneh saat kita lebih hafal permasalahan artis
terbaru.
Acara kriminal,
umumnya berita kriminal seperti
kasus korban pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan kejahatan lainnya. Dibalut
kata-kata paranoid, tegas
dan intonasi tinggi yang dibacakan oleh pembawa acara. Misalnya: “Tewas Mengenaskan”
“Tewas Dibacok” dan Tewas Gantung Diri.
Jelas-jelas
kata tersebut membuat pendengar dan penonton merekamnya, apalagi acara kriminal
sering tayang di siang hari. Walaupun
penyebab orang yang menjadi korban masih belum jelas, tetapi selalu ada
intonasi, tanda seru dari kata-kata tersebut seakan tertanam bagi yang setiap
hari menonton.
Sinetron tak tamat-tamat, sejumlah stasiun televisi ada tayangan yang tidak tamat-tamat. Mula-mulanya
alur ceritanya jelas dan terarah. Namun sering berjalannya waktu, cerita mulai
ngawur dan meluber ke mana-mana. Penulis skenario seakan tidak mempersiapkan
alur cerita matang atau tidak, lebih kepada bagaimana penonton tetap bisa
menonton sinetron setiap harinya.
Alur cerita
yang umum dari sinetron Indonesia pasti pemain utamanya mati dan kemudian hidup
kembali atau konflik muncul dan hilang lagi. Scene yang paling sering
adalah suara hati pemainnya sampai kedengaran oleh penonton di rumah, zoom
setiap wajah pemain dan ditutup dengan slow motion bersambung.
Karena
ratingnya tinggi (bisa jadi penonton di rumah tak ada tontonan lain) sinetron
tersebut tetap tayang. Malah seakan kejar tayang, pengambilan gambar yang buruk
dan teks yang itu-itu saja buat tayangan TV lokal semakin tak berkualitas.
Reality show settingan, Acara reality
show kini menjadi konsep yang paling banyak ditawarkan di televisi saatnya.
Mulai dari aktivitas artis sehari-hari, pencarian bakat hingga masalah
problematika percintaan anak muda.
Misalnya
masalah percintaan anak muda dibahas dan dipertontonkan ke publik. Jelas-jelas
hanya pasangan yang nyeleneh lagi aneh mau masalah pribadi mereka
dibongkar ke hadapan publik. Namun karena setting-an dan dibayar mahal, itu
bukan masalah.
Selain gampang
karena live, jadi tim kreatif tak perlu repot-repot harus mengedit-edit.
Dampaknya banyak yang lolos sensor seperti perkataan mereka yang jadi target
acara reality show tersebut.
Mereka yang
paling kasihan adalah penonton yang kurang tahu, bagaimana perasaannya saat acara
yang bisa ditonton seru ternyata setting-an atau rekayasa semata. Kejadian itu
yang mengada-ada secara tidak langsung dapat mencuci otak, terutama anak kecil
yang gampang banget percaya. Pasti secara tak langsung ia akan kecewa di masa
depan.
Ini mengingatkan
saya mengenai kepercayaan akan gulat penuh trik bernama Smack Down.
Lawan dipukul dan ia mengeluarkan jurus Smack. Hasilnya musuhnya yang
sudah dipukul babak belur bisa bangkit dan mengalahkan jagoan. Jelas-jelas hanya
setting-an saat saya beranjak dewasa. Di dunia nyata cukup sekali pukulan,
lawan bisa langsung tumbang atau bahkan mati.
Lawakan basi, rayuan gombal pada acara lawakan atau opera di TV terlihat begitu
sangat dipaksakan. Penonton di panggung yang terlebih dahulu sudah dibayar
untuk tertawa agar lawakan pemain opera tersebut terdengar lucu.
Tak jarang sering
menggunakan fisik lawan mainnya sebagai barang ejekan, penonton yang ada di
panggung juga sudah dibayar mulai dari tertawa, tepuk tangan hingga aksi
teatrikal lainnya. Mereka lebih dahulu dipandu oleh penanggung jawab acara
sesuai arahan. Lumayan masuk TV dan dibayar ujar penonton bayaran.
Berita yang
memprovokasi, akhir-akhir
ini pemberitaan politik sedang panas-panasnya. Semua yang menonton berita akan
dengan mudah tersulut, media yang bertujuan memberikan informasi malah
bertindak provokatif dengan memojokkan pihak yang berseberangan dengannya.
Media bukan
lagi sebagai pemberi informasi terbaik tetapi lebih pemberi rating yang tinggi
dari berita negatif yang mendadak viral. Keuntungan pihak stasiun atau
media didapatkan, sedangkan masyarakat yang dengan mudah akan bermusuhan dan
menimbulkan sejumlah kebencian.
Saran saya
pribadi, sebaiknya anda hindari acara televisi yang memprovokasi dibandingkan
bisa membuat hati panas. Bukan berarti harus mempercayai hanya di sosial media
saja, namun semua sumber apakah informasi yang berkembang benar dan bisa
dipertanggung jawabkan. Apalagi banyak yang memanfaatkan untuk keuntungan suatu
kelompok.
Maksud tulisan
buat mendiskreditkan salah satu pihak TV, namun sejumlah acara TV lokal mutunya
semakin menurun harus ada pembenahan ke arah yang lebih baik. Pihak TV harus mau
belajar akan kebutuhan masyarakat dengan menciptakan acara yang lebih bermutu
dan bernilai edukasi. Agar tak mau pangsa pasar mereka semakin tergerus dengan perangkat
lain yang lebih memudahkan di masa depan.
Semoga memberi
pencerahan dan ayo berpikir jernih, guys.
0 komentar:
Post a Comment