Beberapa waktu
yang lalu jagat sosial media dihebohkan dengan seseorang lelaki paruh baya harus
mengakhiri hidupnya disiarkan langsung via sosial media. Sontak membuat heboh
atas perilaku korban. Fitur yang disematkan pada sosial media malah disalahgunakan
oleh penggunanya dalam mengakhiri hidup.
Hal yang lebih
menyesekkan lagi tak ada yang peduli sebelum korban merenggang nyawa. Ada
beberapa kemungkinan, apa karena korban siaran langsung saat orang lain sibuk
dengan pekerjaan atau malah pengguna lainnya apatis sama sekali. Padahal rentan
waktunya cukup panjang untuk temannya atau kolega bisa membujuk pelaku berubah
pikiran tidak melakukan hal serupa.
Kejadiannya
sudah terjadi dan buat kita harus menyadari banyak pengguna yang kebablasan
dalam menggunakan sosial media. Segala fitur yang setiap waktu selalu di upgrade
oleh sejumlah sosial media kadang malah disalahgunakan penggunanya.
Sosial media
seakan memberi sekat akan dunia nyata yang semakin menjauh. Banyak orang tak
merasa diperhatikan atau malah menjauhkan dirinya dengan dunia nyata, ia
kemudian menjadikan dunia maya sebagai dunianya sebenarnya.
Kurangnya
perhatian dari orang sekitar bisa dari
teman dan keluarga jelas membuat sebahagian orang mencari dunia lain yang lebih
diperhatikan. Salah satunya yang paling gampang saat ini adalah via sosial
media.
Bukan hal yang
aneh saat banyak orang yang curhat dan marah-marah tak jelas tujuannya
mendapatkan empati atau perhatian dari orang lain. Kasus korban yang kehilangan
nyawa dianggap oleh koleganya seperti hal yang sudah menjadi santapan setiap
hari. Alhasil banyak yang apatis dan baru mengetahui setelah korban merenggang
nyawa.
Terus buat yang
biasa curhat atau marah-marah di sosial media sebaiknya pertimbangkan
matang-matang. Pertama, sudah pasti orang lain tak peduli dan kedua pelaku akan malu di
kemudian hari. Aibnya ia sebarkan sendiri dan jelas jadi olok-olokan orang
lain, menyesal bukan!
Baca juga: Sosial Media Bukan Sekedar Media Curhat dan Pamer
Mulai dari
curhat hingga pamer aurat, seakan semua terasa lengkap. Bagi sebahagian orang ia
ingin eksis dan dianggap oleh pengguna sosial media lainnya. Akan tetapi itu
malah termasuk aksi yang kebablasan.
Siklus yang
bisa dilakukan pengguna sosial media yang kebablasan fasenya mulai dari:
Merasa tak diperhatikan > Curhat di sosial media > Berharap orang lain peduli > Pura-pura terlihat tegar dan bijak sangat menghadapi > Repeat agains
Setelah
ditelusuri lebih lanjut persoalan yang dihadapi hanya hal recehan tapi merasa
dirinyalah yang dapat ujian serba berat. Sedangkan orang lain yang tak mengeluh
salah satunya di sosial media punya ujian lebih berat, tetapi berhasil
mengatasinya tanpa curhat tak jelas.
Selain itu
curhat di sosial media membuat orang lain yang belum kenal dengan anda bisa
berpikir buruk. Sekarang sosial media ibarat portofolio seseorang di dunia
maya, orang yang baru mengenal anda di dunia maya akan lebih banyak menilai
dari sosial media.
Bahayanya Jejak Digital di dunia maya |
Bahkan
perusahaan saat ini menilai aktivitas karyawan baru dari gelagatnya di dunia
maya. Mereka tak mau menerima karyawan yang doyan ngedumel tak jelas,
nanti saat diterima malah keluh-kesah perusahaan dibeberkan secara gamblang di sosial medianya. Nah.. yang sering kali ditolak asal melamar kerja bisa jadi itu penyebabnya.
Pemerintah pun
tak mau ketinggalan, dengan pemberlakuan UU ITE terhadap pengguna sosial media
yang membandel terutama jempolnya susah dikontrol. Mulai dari menyebarkan
fitnah, berita hoax dan provokasi. Ganjarannya cukup membuat pelakunya
jera, misalnya paginya melanggar UU ITE, malamnya harus tidur di dinginnya
lantai penjara hanya karena jempolnya yang latah. Hati-hati yang guys!
Fitur-fitur sosial
media selalu menambahkan yang terbaru bisa dimanfaatkan buat hal berfaedah misalnya
menyebar hal tak berguna seperti video orang lain musibah dan jadi tontonan
massal.
Baca juga: Media Rela Viral dari Pemberitaan Buruk Orang Lain
Pelaku kadang
menganggap sebuah apresiasi andai berhasil memposting foto atau video dari
musibah orang lain. Padahal ia seakan mengabaikan perasaan korban atau bahkan
keluarganya hanya dianggap orang yang menviralkan musibah orang lain.
Penyebar berita
hoax juga termasuk pengguna sosial media yang kebablasan terutama dalam
menyerap informasi yang didapat. Banyak pengguna sosial media merasa bangga
bisa menyebarkan ke orang lain paling cepat. Kadang ia lupa menganalisis berita
tersebut benar atau hoax, akibatnya begitu banyak yang termakan berita hoax.
Baca juga: Waspada, Jangan Sampai Termakan Berita Hoax
Hampir sama
kasusnya dengan menviralkan berita, pelaku penebar berita hoax ingin
mendapatkan popularitas dan juga mengalihkan isu yang berkembang saat ini. Ini
jelas merugikan masyarakat dan bahkan mencuci otak.
Terakhir terlalu
aktif di sosial media juga punya kesan tak baik, kecuali anda memang bekerja di
bidang tersebut. Setiap saat update status, update stories,
hingga swafotonya hingga memenuhi timeline. Orang lain akan menganggap hidupmu
begitu membosankan dan lebih parah dianggap sebagai pengangguran karena tak ada
kerjaan. Niat eksis malah dianggap narsis dan kegiatan di dunia nyata jadi
terbengkalai.
Selaku pengguna
yang cerdas, mari kita mengevaluasi sebaik mana bersosial media yang baik dan
benar bukan yang kebablasan. Berbagi hal yang informatif dan edukatif itu lebih
baik daripada curhat tak jelas.
Baiklah sebagai penutup, ingatlah!! karena curhat di sosial media tak memberi solusi tetapi malah jadi bahan
tertawaan pengguna lainnya. So.. hati-hatilah bersosial media dan semoga tulisan ini memberikan pencerahan.
0 komentar:
Post a Comment