Bro... Minggu pagi tanding FIFA yok?
Oke, jangan ada alasan kalau kalah ya?
*OTW rental game*
Setiba di sana ada
sesuatu yang tidak mengenakkan, rental PS dipenuhi anak-anak kecil yang datang
bergerombolan memenuhi setiap layar TV. Mereka sudah siap mengantre dan mengisi
setiap televisi di rental hingga petang hari, jelas-jelas harus antre lama dan
para bocah telah menginvasi teknologi.
Baiklah... saya
pun putar jauh ke masa lalu. Saat saya masih kecil, anak-anak mungkin sangat
dengan teknologi khususnya Playstation, Warnet, dan TV. Saat pulang sekolah
pasti anak-anak langsung menyalakan TV dan menonton, apalagi saat itu TV jadi
primadona yang tidak tergantikan. Sedangkan PS dan Warnet pantang pulang
sebelum dipanggil emak pulang.
Zaman sudah
berubah, anak-anak saat ini makin canggih dan Anda bisa saja kalah gaya saat
mengeluarkan ponsel dari saku celana. Saya pun tidak terkejut dengan bocah saat
ini punya gawai yang lebih canggih dan bikin iri.
Harus
diketahui, anak-anak saat ini berada pada generasi Alfa, generasi yang lahir di
tahun 2000-an awal dan sejak kecil mereka sudah akrab dengan teknologi. Penggunaan
gawai khususnya ponsel anak membuat diri sang anak jadi hiperaktif,
apalagi banyak orang tua yang menggunakan ponsel untuk menenangkan anak yang
membandel. Cukup berikan gawai, sang anak langsung duduk diam.
Selain itu
orang tua sering kali mengalihkan pemandangan pada ponsel dan itu jelas membuat
anak-anak melakukan hal serupa. Bapak buka Youtube, Ibu buka Instagram,
pembantu main Facebook dan si anak malah main Bigo.. sungguh terlalu!
Tak perlu
disangsikan, menurut hasil dari Databooks di tahun 2016 didapatkan hasil
penetrasi internet Indonesia di berbagai kalangan meningkat tajam. Tercatat 132
juta dari masyarakat Indonesia dari lintas usia jadi pengguna internet aktif
terutama dalam kegiatannya sehari.
Penetrasi pengguna internet tanah air |
Angka tersebut
hanya kalah tipis dengan yang rentang usia yang lebih matang yaitu kelompok
usia 25 – 44 tahun yaitu di angka 75,8%. Rentang umur yang lebih panjang
melebihi 20 tahun dari mereka umumnya tergolong generasi X dan Y karena lahir
di awal 70-an sampai dengan awal 90-an.
Apalagi
internet yang diakses khususnya anak-anak sangatlah tidak aman. Salah satunya
yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia).
Hasilnya didapatkan dari 1.250 responden yang terlibat didapatkan hasil 76,4 % merasa
anak-anak tidak menggunakan internet secara aman. Hanya 22,9% yang aman
menganggap hal tersebut aman.
Apalagi
banyaknya konten negatif yang bertebaran dan dengan mudah diakses dengan
pesatnya khususnya untuk anak-anak dan remaja tanah air. Alasan yang mendasar
karena aksesnya yang sangat mudah, pemerintah tidak saja diam salah satunya
yang dengan melakukan pemblokiran situs yang sifatnya tidak optimal.
Survei apakah internet aman bagi anak |
Kepintaran anak
saat ini jangan ditanya, mereka mungkin mengetahui celah dalam mengakses “lewat
jalur belakang” bisa dengan menggunakan Proxy dan VPN. Butuh kolaborasi
berbagai pihak mulai dari orang tua, sekolah, dan pemerintah. Agar anak-anak
diberi batasan dalam menggunakan teknologi secara bijak dan benar.
Berbagai efek
pasti dirasakan, anak-anak yang terlalu dekat dengan teknologi pasti tidak baik
dalam tumbuh kembangnya. Selain itu teknologi sudah masuk ke sekolah-sekolah,
anak-anak punya kemampuan belajar yang beragam tidak hanya dari dalam kelas,
seperti adanya kelas belajar online atau mengunduh tugas yang dikirimkan
oleh guru mereka via email.
Saat itulah
peran internet sebagai materi tambahan atau lanjutan saat anak-anak tidak
menangkap informasi secara lebih baik di internet. Makanya banyak anak-anak
yang memanfaatkan mencari minat yang ia sukai.
Mulai dari
tulisan, suara, hingga video mampu diakses oleh anak-anak saat ini. Makanya jangan
heran mereka rela tidak makan hanya karena keasyikan main game dan malas
bergaul dengan anak-anak sekitar karena sibuk dengan gawainya masing-masing.
Ada beberapa
syarat yang membuat anak-anak bisa berinteraksi dengan teknologi. Pengalaman
pribadi saya saat masih kecil yaitu orang tua saya membatasi teknologi salah
satunya game saat itu. Walaupun belum sebanyak dan menarik seperti sekarang,
tetap saja efek candu ada.
Salah satu
pembatasannya ialah dengan penerapan saat di akhir pekan atau dengan peraturan
ketat. Cara ini membuat anak-anak akan terbatasi geraknya dengan interaksi
dengan teknologi dan rasa candu. Apalagi kontrol kuat yang dilakukan oleh orang
tua sangat diharapkan agar anak tidak menyalahi teknologi yang berlebih.
Data yang
dihimpun oleh media analisis, Tirto didapatkan bahwa kecanduan teknologi
khususnya gawai pada gawai anak karena peran orang tua. Ada 61% dari orang tua
yang memberikan kepada anaknya dengan alasan memudahkan asuh anak dan membuat
anak lalai. Dampak berbahaya itu kemudian datang yaitu penyalahgunaan dari
anak.
Persentase
terbesar yang membuat anak gunakan dalam mengakses gawai yaitu dengan bermain
mengambil foto dan menonton video. Angka itu menyentuh 79% dan mengalahkan
angka bermain game yaitu 72 %.
Alasannya
karena akses internet yang menyediakan berbagai siaran video sehingga sang anak
dengan mudah bisa berselancar di dalamnya. Platform tersebut salah satunya
Youtube, sering kali anak-anak lepas dari pengawasan orang tua karena Youtube
yang digunakan bersinggungan dengan konten orang dewasa.
Bagi orang tua
yang Youtube sebagai salah satu media digital pembelajaran anak, jelas cara ini
sangat membantu terutama untuk tumbuh kembang anak anda. Jadi anda tak perlu
khawatir saat anak anda menonton sejumlah video yang ada di Youtube Kids.
Tampilan dari Youtube Kids |
Namun bila
masih tetap anak anda mengakses Youtube konvensional, caranya ialah dengan
memberi kontrol atau menghidupkan fitur Safe offline pada menu Youtube.
Nantinya anak-anak hanya bisa mengakses konten Youtube pilihan dari orang
tuanya dan tidak tersasar ke siaran khusus dewasa.
Selanjutnya
ialah game yang mencapai 72%, nilai ini lebih kecil dikarenakan untuk
bermain game dari level sederhana hingga menengah butuh proses belajar
yang lama. Kebanyakan butuh waktu dan tidak semua anak-anak cukup cakap dalam
bermain game berbeda dengan menonton dan memotret. Cukup kemampuan dasar
saja.
Sebaiknya
batasi anak anda dalam penggunaan gawai, apalagi anak-anak kini sampai membawa
ponselnya ke tempat tidur. Gawai yang paling sering ada di tempat tidur yaitu TV.
Menurut
penelitian terhadap yang dilakukan terhadap 80 anak usia 4 – 7 tahun di
Buffalo, New York. Kehadiran TV di kamar berdampak jumlah menonton hingga 9
jam/harinya. Angka itu jelas berlebihan dan mempengaruhi mental sang anak.
Salah satu
dampak yang langsung terasa ialah efek obesitas dan gangguan tidur yang
terjadi. Apalagi sang anak kurang mendapat kontrol karena di kamarnya telah
tersedia TV, orang tua saja bisa saja luput dalam mengontrolnya.
anak-anak yang sulit lepas dari gawainya |
Selanjutnya
ialah bermain game yang berlebihan, pasti Anda sering melihat anak-anak
yang rela bolos sekolah hanya untuk nongkrong di warnet untuk bermain game
online. Mungkin kini jumlah sedikit karena mereka sudah punya gawai
masing-masing.
Duduk dengan
wajah tertunduk bermain game di sudut sekolah, saat makan, hingga kadang
lupa tidur hanya untuk menamatkan game tersebut. Salah satunya karena
rasa penasaran untuk menamatkan dan hingga menjadi maniak game di usia
muda.
Memang salah
satu manfaat game ialah melatih kepekaan, pemecahan masalah hingga
kemampuan berpikir kritis. Namun tidak berlebihan karena akan banyak dampak
buruk yang didapatkan khususnya untuk anak-anak yang masih belia. Apa sajakah
dampak tersebut, berikut ulasannya.
Daya tahan
tubuh menurun, bermain game
sering membuat lupa waktu termasuk waktu istirahat, makan hingga kadang
interaksi sosial. Efeknya terasa saat turunnya daya tahan tubuh sang anak
karena tidak adanya keseimbangan waktu.
Itu ditambah
dengan efek radiasi dari gawai yang relatif lama, membuat mata gampang lelah
dan tubuh jadi lemas. Untuk tubuh jelas dapat berdampak pada obesitas, duduk
lama akrab dengan cemilan. Sehingga dapat membuat berat badan bertambah dan jempol
juga jadi capek atau cantelan karena terlalu sering buat menekan tuts dari
berbagai gawai.
Pengaruh
mental, bermain game pasti ada
beberapa hal yang tidak menyenangkan, tidak hanya selalu menang bisa saja kalah
atau tidak beruntung yang membuat frustrasi. Selain itu banyak dari game
yang mempengaruhi mental sang anak seperti aksi kekerasan kriminalitas dan
kebebasan.
Tak jarang dicontohkan
dalam kehidupan nyata dan berakibat sangat fatal. Tak cukup sampai di itu,
pengaruh kata-kata kotor dan mengumpat jadi alasan terutama saat bermain dan
menjadi sebuah kebiasaan.
Boros, bermain game memang punya efek boros seperti dukungan gawai
yang mumpuni, bila dahulu uang jajan dihabiskan dengan pergi ke warnet andai
tidak memiliki perangkat yang cukup di rumah.
Mulai dari uang
jajan yang tersisih dan hal lainnya, kini anak-anak lebih banyak mengandalkan
paket data yang habis setiap harinya. Sudah pasti itu sangat menguras kantong
dan tidak jarang sang anak akan menghabiskan uang tabungannya hanya untuk
bermain game.
Sulit Konsentrasi,
di luar jam bermain game sudah banyak anak-anak yang sering
berhalusinasi atau konsentrasinya gampang pecah. Apalagi dengan godaan bermain game
setelah pulang sekolah. Terpenting ialah pengawasan orang tua dalam
pembatasan bermain game untuk anak.
Begadang, waktu bermain game sering memangkas berbagai waktu, tak
hanya waktu belajar, makan, dan bahkan waktu tidur sang anak juga terpangkas
habis. Tidak jarang anak yang kurang kontrol dari orang tua akan rela begadang.
Akibatnya waktu tidur berkurang dan harus bangun kesiangan.
Mengapa
anak-anak CEO teknologi membatasi teknologi?
Mungkin bukan
hal yang asing saat Anda mendengar bahwa CEO ternama teknologi membatasi pengguna
teknologi pada anak-anaknya di kehidupan sehari-hari. Mengherankan bukan,
apalagi mereka dengan mudah bisa mendapatkan produk tersebut.
Saya pun
mencari tahu mencari tahu alasannya mendasarnya, salah satunya ialah efek-efek
negatif yang ditimbulkan dari gawainya tersebut. Malah seperti mendiang Steve
Jobs melarang keras dan pesaing utamanya Bill Gates juga melakukan hal serupa
terhadap anak-anaknya.
Tujuan utamanya
ialah menciptakan interaksi yang kuat antara orang tua dan anaknya. Bukan hal
yang mengejutkan saat ini anak-anak dan bahkan orang tua sibuk dengan gawainya
masing-masing.
Selain itu
karena anak-anak akan menggunakannya secara berlebihan dan berakibat buruk
dalam kehidupan sosial mereka. Walaupun begitu tak semua CEO teknologi setuju
dengan pimpinan CEO ternama dunia tersebut.
Salah satunya
datang dari CEO Twitter yaitu Dick Costolo, cara itu membuat anak-anak tertekan
dan mencari celah untuk menggunakan gawai waktu jauh dari orang tua mereka.
Apalagi teman-temannya memiliki akses yang mudah, jelas akan memunculkan
kecemburuan.
Sebaiknya ada
kompensasi pengguna misalnya di hai libur atau setelah di usia tertentu.
Apalagi kemampuan mengejar melek teknologi tidak butuh waktu yang lama. Malahan
di usia yang sudah cukup matang, anak-anak yang jarang atau tidak bersentuhan
dengan teknologi akan memiliki interaksi sosial yang lebih tinggi.
Itu berdasarkan
pada penelitian yang dilakukan oleh California University, anak-anak tersebut
tidak canggung dalam berinteraksi dengan sosial karena terbiasa hidup tanpa
gawai saat masih kecil khususnya di masa tumbuh kembang. Walaupun awal mulanya
sedikit mengalami depresi temporer akibat sedikit akses dengan gawai.
Namun depresi
itu hilang saat usianya beranjak dewasa berbanding terbalik dengan anak-anak
yang sejak kecil bebas dengan teknologi. Salah satunya kemampuan interaksi
sosial dan komunikasi yang rendah.
Teknologi tidak
selamanya buruk terhadap anak-anak
Masa kecil
membuat tumbuh kembang dan pemahaman jadi lebih mudah paham. Itu didukung
dengan rasa ingin tahu yang sangat besar dari anak-anak makin memudahkan mereka
tahu tentang teknologi.
Mereka tak
kalah kreatif, banyaknya video anak-anak yang viral dan mengundang
banyak penonton karena aksi-aksi yang mereka tampilkan. Tak heran anak-anak
tersebut mampu terkenal dan menghasilkan pendapatan besar di usia yang masih
belia.
Salah satunya
ialah EvanTubeHD, channel khusus anak-anak yang punya puluhan juta viewer dan
jutaan subscribe. Temanya mulai dari ulasan mainan dan game dan
pasti sangat digemari anak-anak seusianya.
Evan
dan beberapa saudaranya masih belia dan belum menginjak usia 10 tahun. Namun pundi-pundi
pemasukannya sangat besar hasil hobi dan kreativitas dari memanfaatkan
teknologi. Semuanya tetap berada di bawah kontrol kedua orang tuanya dalam
mengedit video ke channel Youtube.
Channel Youtube Evan yang digemari anak-anak |
Tak hanya itu
saja, banyak geek (orang yang sangat obsesi dengan teknologi) karena
terbiasa dengan teknologi sejak dini. Hal itulah yang membuat mereka berhasil
mendirikan perusahaan teknologi ternama saat dewasa.
Teknologi tidak
selamanya salah dan atas batasnya, jadi kita seperti harus belajar dengan
membatasi anak-anak dari teknologi. Sering kali teknologi bisa jadi pisau
bermata dua yang sering sekali salah digunakan bukan saja pada anak bahkan orang
dewasa.
Sebagai penutup dan kesimpulan, ayo batasi anak-anak dengan
teknologi. Karena hidup dengan membatasi dari teknologi terasa menyenangkan.
Tidak terkungkung dengan colokan, kouta, hingga baterai melemah.
Semoga tulisan ini menginspirasi dan Have a Nice Days
Semoga tulisan ini menginspirasi dan Have a Nice Days
0 komentar:
Post a Comment