Tangisan suara
bayi memecah keheningan di ruang persalinan, seorang bayi berbadan sehat lahir
dari rahim seorang ibu. Kini ia telah berada di ruangan persalinan. Semua yang
menunggu terutama sekali sang ibu, ayah dan keluarganya gugup bercampur bahagia
saat melihat anaknya lahir. Tanpa dosa, putih bersih ibarat kertas tanpa
setitik tinta pun.
Semua dari kita
pasti mengalami fase awal itu, dari tidak tahu apa-apa menjadi tahu segalanya.
Proses tumbuh kembang di usia kecil menjadikan kita tahu apa yang ingin kita
tahu dan tidak kita ketahui melalui kedua orang tua kita dan lingkungan.
Menjadi apa yang ia inginkan di masa depan.
Kita tidak salah
dan orang tua kita pun tidak salah, tapi prinsip dan pola pikir yang mengubah
anggapan kita. Di usia yang begitu belia, ketakutan kedua orang tua kita di
mulai, mereka punya rencana agar anak-anaknya bisa lebih baik dan lebih
dibandingkan anak-anak lain.
Mereka pun
menyekolahkan anaknya ke PAUD walaupun usia baru genap 3 tahun, berbagai alasan
bermunculan dari sibuk kedua orang tua dan ingin anaknya pintar serta punya
teman bermain. Tidak ada yang salah bukan?
Tumbuh kembangnya
baru mulai terganggu saat mencapai usia remaja. Si anak merasa dunianya dari
kecil terlalu sering disuruh belajar. Alhasil malah bosan dan jenuh, niat bisa
sekolah tinggi malah tak tamat sedangkan pekerjaan idaman yang diinginkan
Penulis sering
membaca dan mencari tahu akan sistem di negara maju akan daya kembang sang
anak, orang tua punya peran aktif yang sangat besar dari tumbuh kembang anak
terutama sekali usia 0 – 7 tahun.
Saat sang ibu
melahirkan anaknya, bukan hanya sang ibu yang mendapatkan cuti. Sang ayah
mendapatkan cuti yang lumayan lama bahkan hingga 12 Minggu serta tanpa
pemotongan gaji. Perusahaan juga memberikan bonus atas kelahiran anaknya.
Khususnya
perusahaan besar dan negara beralasan cuti tersebut dilakukan untuk mendekatkan
keakraban sangat ayah dengan sang anak. Kurangnya waktu pertemuan anak dan ayah
mempengaruhi pembentukan chemistry saat anak dewasa.
Berbeda dengan
negeri kita yang sulit sekali sang ayah memiliki waktu cuti mengurus
anaknya. Dan melalui masa tumbuh
kembangnya begitu banyak orang tua karier yang mengabaikan anaknya. Anak di
urus oleh pembantu ataupun orang tua (kakek ataupun nenek).
Di fase ini, orang
tua mengajarkan anak, berinteraksi dan membangun chemistry yang kompleks
serta menjauhkan tumbuh kembang dengan berbagai teknologi yang ada saat ini.
Mereka ingin anak-anak mereka bisa belajar dengan alam serta memecahkan
masalahnya dengan bijak.
Setelah melalui
fase ini, si anak dituntut untuk segera mungkin harus mengenyam pendidikan,
telat sekolah adalah aib. Orang tua menganggap telat sekolah akan berakibat
telat tamat, telat dapat pekerjaan dan telat menikah.
Kecemasan berlebih
dari setiap orang tua adalah kewajaran mengingat kerasnya masa depan bila tak
ada pendidikan pikir para orang tua.
Anggapan bahwa
hidup berjalan dengan semudah itu sering terpatahkan saat pergantian waktu dan
prediksi yang meleset. Pakem alur yang wajib dilakukan oleh masyarakat kita
seperti sebuah alur yang sama antara satu manusia dengan manusia lain.
Selain itu pula,
selain alur hidup itu banyak orang tua yang menginginkan profesi yang digeluti
orang tuanya tetap berlanjut kepada anaknya. Sebagai tali estafet keberlanjutan
dan itu semua wajar walaupun sang anak punya pikiran sendiri.
Alur hidup manusia
kini terpaku seperti ini:
Lahir > Sekolah > Mencari Bekerja > Menikah >
Berkembang biak > Mulai menua > Repeat agains
Masyarakat kita
yang hidup dari dorongan dan desakan kata-kata orang lain. Seperti: sekolah di
mana, kerja di mana, kapan nikah, kapan punya momongan hingga hal lain yang
jadi batu sandungan buat hidup sendiri.
Saya beropini
bahwa pertanyaan itu adalah bentuk pertanyaan yang pernah diterima oleh si
penanya sebelumnya untuk menguji sejauh mana kemampuan dirimu menanggapinya.
Walaupun bernada bercanda tapi saat pedih nan bermakna.
Alhasil karena
tekanan itu membuat jarang dari masyarakat kita bisa keluar dari alur pakem
yang telah ditetapkan oleh pendahulu sebelumnya. Jawaban terbaiknya adalah
menjalani hidup seperti pakem agar bisa menjawab pertanyaan seperti itu.
Setelah sekolah di
usia dini selesai, saatnya bertarung mencari pekerjaan dengan ribuan orang yang
sama. Hasil cetakan yang sama dan mencari tujuan yang sama, akhir sebahagian
tersisih akibat punya kualifikasi kemampuan yang sama.
Semua itu terjadi
karena semua berapa di dalam kotak yang sama, jarang yang out of the box (melawan
arah dan berbeda dari orang lain). Perusahaan mau mencari orang berdasarkan
kualifikasi yang mereka inginkan. Seperti beda dari yang lain dan punya visi
misi yang mereka harapkan. Hasilnya cetakan manusia yang satu arah dan menyari
sama dengan mudahnya menerima penolakan.
Mengapa tidak keluar jalur?
Ibarat keluar dari
zona nyaman, terlihat begitu sulit termasuk dalam pakem alur yang masyarakat
gunakan. Mengapa harus berupa sekolah setinggi mungkin, sedangkan pendidikan
dan ilmu tak harus jalur formal.
Banyak cara lain
yang mampu ditempuh, berbeda dengan yang diharapkan masyarakat khususnya sekali
orang tua. Yang diperlukan adalah menemukan bakat terpendam bukan harus
mengorbankan bakat melalui cara yang bukan minat.
Sistem pendidikan
negeri kita seperti menghilangkan bakat terutama yang mengandalkan otak kanan sedangkan
otak kiri lebih di istimewakan.
Padahal bila
ditelusuri begitu banyak ilmu yang mengandalkan otak kiri yang lebih sukses
dengan mengandalkan beberapa karya atau pencapaian tanpa harus melakukan
rutinitas, keberhasilan bila didapatkan dan sedikit konsistensi yang paling
utama.
Saya melihat dunia
ini sebagai sebuah hitungan pendidikan formal yang jadi landasan semua orang
untuk dianggap lebih. Semua orang terdoktrin untuk kuliah setinggi dan secepat
mungkin tamat. 3 – 4 tahun tamat. Semakin cepat dan punya IPK terbaik menjadi
orang-orang yang terpilih.
Menjadi orang yang
profesional sangat membutuhkan kuliah dan yang pasti IPK mumpuni sebagai
penunjang utama, apalagi yang berniat mempertajam ilmu yang digeluti.
Sedangkan yang tak
bergelut di dunia itu, kuliah hanya penyambung panjang gelar dan bisa menjawab
pertanyaan dari desakan masyarakat dan kelegaan hati orang tua saat anaknya
menjadi sarjana.
Apa yang terpikirkan di benak anak negeri saat selesai
kuliah?
Jelas mereka mau
mandiri, bekerja adalah salah satu cara tercepat menjadi jiwa-jiwa mandiri. Dan
melamar pekerjaan adalah pilihan paling diinginkan oleh begitu banyak. Bila
dilakukan survei, 8 dari 10 freshgraduate pasti ingin melamar kerja
bukan membuat lapangan kerja (wirausaha).
Itu wajar
mengingat mereka terkontaminasi dengan lingkungan yang sangat bangga apabila
diterima pada instansi pemerintahan. Beberapa tahun kemudian setelah diterima
menjadi salah satu pegawai di instansi terkait, kini saatnya mendapatkan hidup
baru yakni menikah.
Bekerja dengan tugas yang sama setiap hari, jenuh dan
bosan sudah jadi makanan. Melawan derasnya macet yang sama setiap hari. Bekerja
lebih dari 7 – 12 jam setiap harinya. Tanpa di sadari sudah di ujung usia,
menunggu uang pensiun yang tak seberapa.
Fase lainnya
adalah menikah dan itu wajar sebagai bentuk memulai hidup baru dan melanjutkan
keturunan. Di negeri ini saat mapan dan umur yang tercukupi ada norma tak
tertulis harus segera mungkin menggapai menjalin tali cinta dan kasih dalam
balutan ikatan pernikahan.
Seperti pemaksaan
melalui kata-kata:
Kapan nikah? Itu umur jalan terus nanti jadi perawan tua dan bujang lapuk
Pekerjaan dan
tekanan yang menumpuk terutama kaum wanita menganggap dengan menikah segala
persoalan akan selesai. Alhasil akan memunculkan beberapa masalah lain di masa
depan.
Misalnya
perceraian terjadi karena ketidaksiapan salah satu pasangan, bisa karena
desakan bukan kehendak pribadi. Melihat teman-teman sudah mendahuluimu
sedangkan dia masih hidup sendiri. Hasilnya ikatan suci harus berakhir akibat
pernikahan hanya sebagai pelarian sesaat saat banyak masalah.
Dan yang terakhir
saat sudah berkeluarga dan mulai menuai tanpa di sadari sudah berada di
penghujung karier serta usia. Mau mewujudkan terkendala usia dan fisik yang
menua. Saat itulah penyesalan mulai datang. Mengapa diri ini tidak keluar dari
zona nyaman alur yang berbeda dari yang lain.
Tak terlalu
memusingkan harus sekolah tinggi tapi ikutan sibuk di organisasi dan kegiatan
positif luar kampus. Membuka usaha bersama teman-teman sejawat yang satu
prinsip, semua baru menyesal saat ide yang dipendam di dalam otak dijalankan
orang lain menjadi sukses besar di masa depan.
Apa yang harus dilakukan?
Semua punya mimpi,
bagaimana bisa melakukan hal positif, sedangkan saat muda hanya terkungkung
dengan si dia dan saat menikah malah dengan orang lain. Berapa banyak waktu
muda yang terbuang dengan kesia-siaan dan drama. Bila melakukan hal positif,
berapa banyak yang sudah digapai.
Ingin jalan-jalan
tetapi asyik dengan kerjaan yang menumpuk dan di akhir pekan harus terduduk
lemas untuk istirahat. Usia terus berjalan dengan cepat tanpa disangka sudah di
ujung fase tadi.
Kini saatnya
menjalani hidup berdasarkan kemauanmu, karena hidup hanya sekali. Impian yang
diinginkan jangan sampai terkubur bersama dengan jasad tertapi harus bisa
diwujudkan walaupun tak sesuai keinginan orang terdekat.
Semua itu kamu
yang menjalani bukan orang lain, asalkan tidak menyalahi aturan dan punya
alasan yang jelas. Silakan terus dilanjutkan. Alur pakem hanya keinginan
masyarakat tetapi banyak cara lain orang menikmati alur hidupnya dengan cara
sendiri.
Karena berbeda itu bukan berarti salah, bisa jadi yang berbedalah yang mengubah yang sama untuk melakukan perubahan yang lebih baik
Sekian ulasan saya
semoga bisa banyak memberikan pencerahan akan pola pikir dan sudut pandang kita
dalam menatap hidup.
0 komentar:
Post a Comment