Bila gambar ini kamu perlihatkan kepada kakek-nenek atau tetua di lingkunganmu, sudah pasti mereka akan memilih gambar yang di
atas. Saat jelas mereka tidak mau hidup di ruang sempit, kumuh, dan tertutup
seperti penjara. Selain itu, kakek-nenek kamu umumnya ngga familiar dengan
internet. Mereka familiarnya sama minyak urut dan sandal rematik.
Bila kalian tanya
langsung kepada penulis, jawabannya apa?
Saya langsung jawab, walaupun pilihan sulit nan pelik
mengingat penulis hidup di zaman sangat butuh internet kapan saja dan yang
pasti harus cepat. Saya memilih pilihan pertama, penjelasannya sederhana: Cukup
banyak dari pada kita yang mengabadikan moment terutama tempat-tempat yang indah
bercampur eksotik. Sehingga kamu sedikit lupa bagaimana cara menikmati moment
langka yang susah payah kamu pergi ke sana.
Di zaman nomophobia, kita lebih bangga dengan ratusan
atau moment di suatu tempat spesial bagi kamu tapi tidak bangga saat lupa
merasakan dan menikmati moment yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Kembali
ke pembahasan kita tentang pilihan satu yang digambarkan dengan suasana
panorama indah di tengah hutan hujan tropis dan dikelilingi oleh tebing curam
menjulang.
Kamu tinggal di rumah adat khas Jepang, udara yang belum pernah terjamah polusi udara kejam dan sesekali bisa mendengarkan suara kicauan indah burung saling sahut-sahutan tanpa henti. Nikmat mana yang kamu dustakan? Apa karena minus keberadaan Wi-fi? Kamu menganggap semuanya terasa buruk, membosankan, dan akan membuat kamu tertinggal segala informasi?
Kamu tinggal di rumah adat khas Jepang, udara yang belum pernah terjamah polusi udara kejam dan sesekali bisa mendengarkan suara kicauan indah burung saling sahut-sahutan tanpa henti. Nikmat mana yang kamu dustakan? Apa karena minus keberadaan Wi-fi? Kamu menganggap semuanya terasa buruk, membosankan, dan akan membuat kamu tertinggal segala informasi?
Pada gambar kedua, pilihan yang digambarkan dengan
penjara berukuran 2 X 3 meter, sudah termasuk ranjang, lemari, gantungan baju,
toilet dan westafel kecil. Suasana sempit, sumpek dan dibatasi oleh jeruji
besi. Kelebihannya cuma satu, terpasang Wi-fi berkecepatan super cepat yakni 100
MBPS.
Ngga ada masalah apapun saat kamu mengakses segala situs, hanya saja situasi layaknya penjara dan kamu adalah terpidana yang ditangkap akibat kecanduan internet dan mengabaikan segala pekerjaan. Sebagai gantinya kamu dicebloskan ke dalam penjara yang narapidananya adalah manusia-manusia sakaw internet agar tidak mengganggu masyarakat.
Ngga ada masalah apapun saat kamu mengakses segala situs, hanya saja situasi layaknya penjara dan kamu adalah terpidana yang ditangkap akibat kecanduan internet dan mengabaikan segala pekerjaan. Sebagai gantinya kamu dicebloskan ke dalam penjara yang narapidananya adalah manusia-manusia sakaw internet agar tidak mengganggu masyarakat.
Baca juga: Twitter, Masih Paling Seru
Free life sekarang kalah pamor dengan free Wi-fi, bila kita
tahu esensi manusia hidup ke dunia bersahabat dengan alam dan berinteraksi
dengan manusia lainnya. Kita lupa akan tujuan hidup, penulis pernah baca sebuah
renungan yang bercerita tentang seorang guru besar (profesor) sedang memberikan
materi kepada mahasiswa.
Guru besar itu masuk ke dalam ruangan sambil menenteng
sebuah toples besar dan membawa material lainnya berupa bola tenis, kelereng
dan pasir laut kering yang punya ukuran berbeda. Para mahasiswa bingung sambil
bertanya-tanya di dalam hati masing-masing, apa gerangan yang dilakukan oleh
guru besar mereka sedangkan saat itu bukan pelajaran berhitung.
Beliau menaruh benda yang dibawa di atas meja sambil
menghela napas, kalian tahu benda apa saja yang di atas meja saya, tanya guru
besar dengan begitu semangat.
Iya pak, kata para
mahasiswa dengan serempak dan kompak.
Jadi saya ingin menganalogikan hidup ini layaknya
toples besar yang saya bawa jauh-jauh dari rumah saya. Karena saya bawa toples
besar, berarti seperti hidup saya karena di usia yang sudah lanjut saya bisa
melihat dunia ini. Ukuran toples adalah seberapa lama waktu yang Allah berikan
kepada kamu untuk hidup di dunia ini.
Itu adalah bola tenis, saya menganalogikan adalah
tanggung jawab besar yang sudah kalian emban sejak terlahir di dunia yakni
tanggung jawab kepada Allah SWT, kedua orang tua, keluarga, kebutuhan sandang
pangan papan, dan kesehatan.
Ukuran yang lebih kecil itu adalah kelereng dan saya menganalogikan sebagai kebutuhan pengisi seperti pekerjaan, jabatan, kendaraan, pendidikan, dan harta. Terakhir adalah sekantung pasir laut kering, saya menganalogikan sebagai kebutuhan penghias segala kehidupan kamu. Seperti hobi, rekreasi, model pakaian, kendaraan dan gadget serta kebutuhan WI-FI.
Ukuran yang lebih kecil itu adalah kelereng dan saya menganalogikan sebagai kebutuhan pengisi seperti pekerjaan, jabatan, kendaraan, pendidikan, dan harta. Terakhir adalah sekantung pasir laut kering, saya menganalogikan sebagai kebutuhan penghias segala kehidupan kamu. Seperti hobi, rekreasi, model pakaian, kendaraan dan gadget serta kebutuhan WI-FI.
Setelah menjelaskan secara panjang lebar, guru besar
pun mulai memasukkan secara teratur. Di awali dengan memasukkan bola tenis
hingga toples penuh, kemudian disusul dengan memasukkan kelereng hingga
penuh, dan yang terakhir adalah beliau
masukkan pasir kering.
Sang guru besar bertanya kepada mahasiswanya, apakah
toplesnya masih muat?
Sudah penuh pak, teriak oleh mahasiswa.
Kemudian sang guru besar mengambil secangkir kopi di
atas mejanya dan menuangkannya ke dalam toples yang sudah penuh. Sekarang baru
benar-benar penuh terisi sambil melihat sekeliling toples.
Lalu seorang mahasiswanya bertanya, apa maksud
secangkir kopi?
Sambil tersenyum beliau menjawab, secangkir kopi itu
ibarat hidup itu dibawa santai saja untuk melupakan kesusahan yang kamu alami
dan juga sebagai penyambung silaturahmi dengan orang terdekat dan masyarakat.
Nah... dalam hidup itu harus ada keseimbangan, mana
yang menjadi prioritas dan mana yang hanya menjadi pelengkap. Manusia kini
lebih banyak mementingkan pelengkap kehidupan seperti lebih mengutamakan
kelereng dan pasir, akibatnya bola tenis (kebutuhan wajib kita) terabaikan
karena terlebih dahulu kelereng atau pun pasir dimasukkan ke dalam toples.
Konsep hidup yang dijelaskan dari kisah sederhana yang
penulis baca dan kembali review kepada kita semua sebagai bentuk renungan.
Bahwa perkembangan zaman semakin membuat manusia lupa mana yang lebih dahulu di
dahulukan, bijak memilih dan mengaturnya secara seimbang jadi hidup terasa
bahagia. Seperti gambar di atas tadi, gambar di atas membuat kita lebih
menganalogi gambar pertama sebagai free
life yakni bola tenis dan kelereng sedangkan free wi-fi cenderung pasir laut kering.
Jadi akan terasa adil bila free life yang tenang jauh dari segala
hinggar-bingar keriuhan diutamakan dan dibanggakan, tidak selamanya tertinggal
segala informasi membuat kita jadi orang udik tapi terlalu terkekang dan
terpancar wi-fi buat kita rindu melihat hijaunya pepohonan, birunya langit dan
cokelat kekuningannya tanah tempat kamu berpijak.
Aku tetap bersyukur akan hidup di dunia aku sekarang, di tempat terindah, Aceh yang agama dan budaya keagamaan di genggam erat. Masalah wifi dan free life, dimanapun kita tetap butuh keduanya. No limit why the 2nd option on a rushing. Kita butuh wifi tok dapat rumah adat cantik di Jepang, tentu penjara bukan satu2nya tempat untuk "surfing".
ReplyDeleteAs always like you, brilliant idea. Interesting topic and bunch of analysis.
Analogi pasir, bisa seperti ini? Ketika pasir penuh di masukkan, sang bola dan anak gundu sudah hilang tampak di mata, kehidupan dunia membutakan bal...
*we'll meet at speaking 3.
Ini gambaran nyata bahwa kita melupakan dunia nyata yang indah dan berpaling dunia maya yang bila kebanyakan "Surfing" malah bikin boring..
DeleteYoi, saya gabung
Akhirnya kita terlarut dalam teknologi yang kita buat sendiri dan mengacuhkan hal indah yang ngga kaitannya dengan teknologi.
ReplyDelete