Pulang-pulang
listrik malah padam, apalagi bila kamu lupa isi bak mandi. Kebayang gimana
tubuh lengket kayak kena kertas perangkat lalat. Alternatif utama yakni belajar
mandi kayak ayam jago yaitu mandi pake tumpukan pasir mirip pelaksanaan
tayamum.
Kalimat sumpah
serapah pada PLN sudah jadi hal wajar. Ada pula yang membuat plesetan unik PLN
misalnya Perusahaan Lilin Negara, Perusahaan Lupa Nyala dan plesetan lainnya
yang lebih kocak. Akibat bukti nyata masyarakat jengah listrik padam tanpa ada
konfirmasi terlebih dahulu.
Keluhan masyarakat
akan krisis listrik sudah begitu lama dan para pimpinan PLN seperti menutup
telinga begitu rapat saat gelombang masyarakat protes. Para pengusaha kewalahan
saat industri tak berjalan maksimal, instansi bekerja tak maksimal, usaha rumah
tangga harus rehat sejenak hingga listrik menyala. Masyarakat bisa hanya bisa
termenung, bila malam hari listrik padam hanya bisa duduk sambil melihat cahaya lilin
dan kerak lilin yang jatuh ke dasar.
Alat-alat
teknologi pada tumbang saat listrik sebentar nyala dan padam lama. Saat
gelombang protes dimuat oleh media serta singggung oleh pemerintah, barulah
pihak PLN berbenah. Siklusnya kira-kira begini:
Siklus Kinerja PLN: Sering Ada Pemadaman > Masyarakat Protes > PLN Meminta maaf > Memperbaiki Kinerja > Masyarakat Mulai Lupa > Padam Lagi > Repeat Agains.
Yang gue bingung
kenapa saat ada penerimaan pegawai PLN banyak banget yang rela mendaftar terutama sekali para pencari kerja. Para pendaftar sejenak menyampingkan bahwa dulu sering
banget mengkritik dan sumpah serapah buat PLN. Mungkin karena gajinya lumayan
dan hidup terjamin, pasti pendaftar serempak menjawabnya: IYA!!
Andai saja saat
tes wawancara para interviewer menanyakan pertanyaan unik kepada para pelamar
kerja:
Berapa banyak jumlah sumpah serapah saat PLN melakukan
pemadaman?
Bila ada yang
jawab pertanyaan seperti ini: Maaf Pak dan Ibu, saya tak pernah sumpah serapah
buat perusahaan negara (Read: PLN), saya kalau mati listrik padam langsung bergegas mencari
korek dan lilin serta sabar menunggu listrik menyala. Bila ada pelamar kerja yang jawab begitu,
berarti bisa langsung diterima dan naik jabatan ke pimpinan perusahaan #IdeNgehe
Gue pun juga
sedikit heran dan banyak bingung, kenapa saat dikritik masyarakat barulah PLN
segera berbenah. Alasan lawas nan klasik berupa kekurangan energi atau krisis listrik yang butuh waktu lama
penanganannya. Ibarat seorang pelatih kesebelasan sepak bola beralasan timnya kalah karena tim
lawan lebih banyak mencetak gol. Yah jelaslah... itu alasan klasik yang bocah
saja bisa menjawab.
Tahap selanjutnya adalah minta maaf terbuka melalui media cetak atau media sosial:
Kami akan segera memperbaiki kerusakan dan pelayanan terbaik hanya pelanggan setia kami.
Hasilnya
masyarakat yang dulunya kecewa pun menerima maaf PLN, kan wajar listrik padam.
Bila PLN ngga ada apakah sanggup beli lilin tiap malam, beli Genset atau bikin
pembangkit tenaga listrik sendiri. Ada yang lebih keras nan ekstrem: Yasudah keluar saja
dari NKRI bila tak terima listrik sering padam.
Ironi banget bila
telat bayar listrik, langsung dapat kartu kuning berupa surat teguran dan bila
dalam hitungan jam ngga bayar kartu merah mengancam, petugas pencabut meteran
listrik datang dengan muka beringas dan ngga banyak ngomong seperti lagi
sariawan.
Maaf... meteran listrik anda kami cabut karena telah melakukan penunggakan, bila mau kepengurusan segera ke kantor kami #DHEG
Saat kinerja membaik disertai pasokan listrik tidak
ada gangguan lagi termasuk dalam kondisi ekstrem sekalipun seperti: badai, gempa
bumi dan banjir namun listrik tak padam. Masyarakat senang dan mulai melupakan
krisis listrik yang pernah terjadi sebelumnya.
Di waktu kinerja
membaik, krisis energi datang tiba-tiba otomatis kinerja PLN kembali memburuk
dan secara tak langsung listrik padam tanpa konfirmasi. Dalam hati masyarakat
selaku pelanggan: ini pasti ada yang tak beres, pasti gangguan kecil. Setelah
didiamkan ternyata lama, hidup dan padam lagi. Di situ emosi dan kesabaran jadi
campur aduk. Andai PLN bisa memprediksi segala kekurangan daya dan krisis
energi jauh-jauh hari seperti pemberitahuan ke masyarakat, mungkin masyarakat sedikit mengerti
dan sabar.
Banyak hal yang
merugikan saat listrik padam, mau mandi harus meraba-raba dalam kegelapan
seperti di dalam goa hantu. Niat pakai sabun cari malah terpakai shampo, niat
pakai pasta gigi malah ke pakai pembersih wajah. Tanggung jawab PLN!
Pemilik usaha
harus tutup lebih awal dari jadwalnya dan kehilangan pelanggan. Pemilik usaha
yang punya kemudahan rezeki mengakali dengan bantuan genset, itupun harus
menambah pengeluaran ekstra lagi. Sungguh ironi, banyak rezeki pengusaha dipatok listrik padam.
Listrik padam
jelang Maghrib sangat mengganggu prosesi salat, banyak jemaah mengira azan
belum berkumandang saat. Dugaan para jemaah yang berleha-leha saat senja
ternyata salah. Salat telah berlangsung dalam keadaan gelap dan mereka harus
masbuq dan ingatlah, tak semua masjid punya penerangan yang memadai. Saat listrik padam, PLN
harus tanggung jawab akan berkurangnya jemaah yang tak mendengar azan dan
masbuq.
Anak-anak yang ingin mengaji lepas pulang dari surau pun sedikit kecewa, padahal pemerintah sudah mencanangkan program maghrib mengaji setelah salat Maghrib. Apa daya, listrik mengacaukan dan membuat banyak anak-anak TPA terlantar. Guru ngaji pun tau mau mengambil resiko dengan mengajar di dalam gelap bermodalkan sinar lilin semata. Murid-murid bisa sakit mata dan salah dalam membaca Al-quran.
Anak-anak yang ingin mengaji lepas pulang dari surau pun sedikit kecewa, padahal pemerintah sudah mencanangkan program maghrib mengaji setelah salat Maghrib. Apa daya, listrik mengacaukan dan membuat banyak anak-anak TPA terlantar. Guru ngaji pun tau mau mengambil resiko dengan mengajar di dalam gelap bermodalkan sinar lilin semata. Murid-murid bisa sakit mata dan salah dalam membaca Al-quran.
Ibu rumah tangga
sedang memasak dengan Rice cooker harus mengelus dada saat listrik padam
beberapa saat sebelum nasi masak. Anggota keluarga harus menunda makan dan
makan semakin tak nikmat bila listrik padam malam hari.
Niat makan nasi + daging ikan tapi tulang pun ikutan masuk dalam kerongkongan. Siapa yang tanggung jawab bila terjadi hal-hal yang ngga diinginkan, siapa yang mau tanggung jawab?
Niat makan nasi + daging ikan tapi tulang pun ikutan masuk dalam kerongkongan. Siapa yang tanggung jawab bila terjadi hal-hal yang ngga diinginkan, siapa yang mau tanggung jawab?
Tengah malam
listrik padam rasanya begitu menyesakkan. Panas bercampur rasa pengap membuat
susah terlelap , pekerjaan dan Deadline kerja esok hari menumpuk di kantor.
Suasana panas buat terjaga setiap saat tak bisa tidur dan esoknya loyo di
kantor. Siapa yang disalahkan? PLN jawabannya.
Anak sekolah dan
kuliah berpacu dengan tugas, ujian, dan tes-tes lainnya. Di malam harinya harus
belajar ekstra agar esok mampu menjawab soal dengan prima. Nyatanya PLN berulah
dengan memadamkan listrik di waktu belajar. Apa daya lilin pun harus menyala namun itu bila tugas
yang tak membutuhkan energi listrik.
Andai tugas
membutuhkan sumber daya seperti perangkat elektronik habislah nasib mereka.
Satu-satunya cara yakni bergantung pada Genset atau nyari daerah tidak kena
pemadaman. Derita kami bertambah, bagaimana generasi bangsa bisa maju bila
waktu belajar kami banyak dihabiskan menunggu listrik menyala.
Pengorbanan dan pengalaman mati lampu ngga selamanya buruk, satu sisi kita sadar bahwa yang hidup pasti akan mati dan yang mati akan
hidup-mati-hidup-mati lagi seperti listrik negeri ini
Gue mau cerita
sedikit tentang cerita apes nan nyesek saat listrik padam beberapa waktu lalu.
Niat ke tempat teman buat berleha-leha sambil mencuri Wi-Fi gratis yang
terpasang di rumah. Enak nih dijadikan rumah kedua ujar dalam hati. Tak berapa
selang kemudian listrik pun padam dan gue bergumam: ini pasti sebentar!!
setelah lama ditunggu ternyata ngga akan nyala dalam waktu dekat. Gue harus
nyari tongkrong (Read: tempat ngopi) karena ada kerjaan yang belum kelar.
Sampai di tempat
ngopi langganan gue, sama seperti di rumah teman gue. Listriknya puun padam,
genset yang nyala hanya mampu menyalakan lampu tapi tak sanggup menyalakan
Wi-Fi. #Nyesek. Sudah pesan dan baru duduk tapi listrik mati, dan gue
cepat-cepat menghabiskan air yang gue pesan untuk bergegas pulang.
Setiba di rumah ngga lama kemudian malah listrik di
rumah gue yang padam. Ini kayaknya gue dikutuk dijauhkan dari listrik biar
hidup kayak manusia jaman batu. Dan gue mengambil inisiati tidur dalam suasana
pengap, bernyamuk dan penuh rasa nyesek di dalam dada.
Listrik padam mengacaukan segalanya, administrasi
kantor berantakan, banyak kerjaan terbengkalai, layanan publik terganggu, lalu
lintas jalan acakadut, dan proses belajar mengajar terhenti.
Menurut gue yang
membedakan zaman batu dan zaman sekarang cuma dua hal:
Pertama: orang-orang berpikir dan membuat inovasi buat umat manusia dan Kedua pemenuhan energi (salah satunya listrik).
Bila masyarakat
dibuatkan survei tentang pelayanan apakah yang nomor satu dan paling terganggu
bila ada gangguan: jawabannya pasti serentak menjawab listrik padam. Air mati
bisa diakali, namun bila listrik mati mengakalinya sulit dan butuh modal yang
cukup mahal. Contoh: air padam, cukup ditampung, nyari sumber air terdekat, dan
inisiatif terakhir adalah buat sumur.
Namun bila listrik
mati harus beli Genset dan harga mahal, tidak semua kalangan mampu membelinya.
Harus diingat pula, segala peralatan elektronik pun tak bisa jalan bila tak ada
listrik. Implikasinya air pun tidak bisa menyala.
Bercermin dari
negara maju, listrik sudah jadi kewajiban hak asasi yang harus dipenuhi oleh
semua kalangan masyarakat. Gue mau kasih contoh negeri tetangga kita yakni
Australia. Pemadaman Listrik jadi kerugian yang sangat besar berbagai aspek, walaupun hanya setengah jam saja. Sebagai gantinya perusahaan listrik mengratiskan listrik sebulan penuh. Kalo tiap bulan mati setengah
jam, well.. jadi bisa pake gratis terus sepuasnya, hehehe.
Perusahaan listrik
dari negeri Kangguru sangat menomorsatukan pelayanan kepada warga dan bila ada
pemadaman, pasti ada surat resmi dari perusahaan listrik setempat bila kegiatan kita terganggu saat pemadaman listrik. Sebagai gantinya perusahaan listrik membayar dalam
bentuk kompensasi. Duh... nyamannya, andai negeri kita bisa begitu.
Alasan negeri kita
kepulauan dan akses medan yang sulit. Menurut gue, Australia malah lebih luas dan punya geografis yang ngga kalah menantang dengan negeri kita.
Yang membedakan mereka adalah punya pemerintahan dan pelayanan sangat baik.
Itulah kenapa banyak imigran gelap rela mempertaruhkan hidup untuk bisa sampai ke sana.
Andai saja PLN ada
saingan dari perusahaan swasta asing seperti halnya maskapai penerbangan dan telekomunikasi. Pasti PLN merasa ada saingan dan terpacu memperbaiki diri agar
lebih baik dari saingannya. Mereka tak mau kehilangan omzet yang sangat besar
dari konsumsi energi penduduk Indonesia yang sangat besar.
Masalah investasi
yang mahal itu wajar, ngga ada yang gratis dalam memulai usaha dan gue yakin
begitu banyak perusahaan asing antri bila pemerintah mengizinkan listrik di
swasta-kan. Jadi masyarakat ngga perlu bingung memilih karena bila kurang puas
pada perusahaan A, bisa beralih ke perusahaan pesaing. Hingga menimbulkan
persaingan sehat dan yang diuntungkan adalah konsumen sendiri.
Well... sambil menutup curhat gue, dijamin krisis
listrik bisa teratasi. Masalah harga gue yakin masyarakat ngga masalah asalkan
kuantitas padamnya berkurang dan pelayanan meningkat. Siapa sih yang mau murah
tapi sering padam atau agak sedikit mahal namun bebas pemadaman.
Sekian gue
mengakhiri curhatan tentang PLN, gue menulis ini dalam keadaan listrik padam
sambil menunggu laptop ikutan padam dan bersegera ikutan aksi “jaga lilin”
(maksud Earth Hour) jangan salah paham kalian.
See You Agains and have a nice day!!
0 komentar:
Post a Comment