Kebutuhan
masyarakat akan informasi berkembang pesat, mengharuskan setiap media
terpacu untuk semakin menyajikan informasi. Perlombaan seperti ini membuat media
dengan pasukannya (wartawan) saling sikut-sikutan dengan media lain. Jargonnya,
ingin yang paling tercepat dan paling banyak menghasilkan berita.
Sebutan familiar
untuk mereka yakni wartawan satelit, mereka hidup penuh pengolakan dan dilema.
Mau mencari berita jujur dan serius, hasilnya ngga tayang dan ngga
dapat bayaran media tempat ia bekerja.
Alhasil para
wartawan satelit tadi memblow-up berita jadi sedemikian rupa agar
menarik minat pembaca, tak apa kontroversial asalkan tayang. Andai rating
pemberitaan tinggi, pundi-pundi duit mengalir. Masalah benar atau ngga
itu urusan belakangan.
Tayangan berita
yang beragam di satu sisi punya nilai negatif terutama kualitas berita yang
menurun akibat kuantitas berita. Walaupun masyarakat bisa memilih berita mana
yang ia suka, karena isi dan informasi nomor satu bukan beragam namun sebatas
sensasi semata. Sebaliknya saat informasi berita mendadak miskin, media malah
mencari kekosongan berita seperti
pemberitaan heboh yang membuat semua mata tertuju.
Siapa sih yang ngga
tertarik mengikuti pemberitaan yang terus-terusan dan diulas tanpa henti.
Masing-masing media semakin terpacu untuk semakin intens mengupas kasus dari
sudut pandangan masing-masing sekaligus menutupi keterbatasan berita. Dan juga
menaikkan rating khususnya.
Kasus-kasus
seperti ditemui seputar gosip artis papan atas tertangkap tangan melakukan aksi
cabul, pembunuhan berlatar belakang kopi sianida, harta karun terselubung
gembong narkoba, hingga kasus asusila oleh seorang publik figur terkemuka.
Menghiasi rubik tontonan dan bacaan, mengalahkan isu yang lebih layak
ditayangkan.
Sifat buruk media
yakni memberitakan dan menggembor-gemborkan kasus yang sebenarnya
kecil menjadi konteks sangat besar. Tapi malah memalingkan kasus besar yang
masyarakat perhatikan khusus menjadi kasus remeh-temeh, seperti makanan
selingan.
Saya menilai media
seperti tebang pilih antar kasus, apalagi kasus tersebut bisa menaikkan rating
sebuah televisi. Alhasil secara terus-terusan menjadi sorotan, wartawan
menggali-gali semua informasi dan mengaitkan dengan berbagai ahli. Semua ikutan
dapat kerjaan dan diliput media.
Saya menyimpulkan
alur kolosal media yang sering terjadi seakan-akan seperti ini:
Kasus menyeruak >
Tercium media > Pemberitaan tanpa henti > Semua pihak dilibatkan >
Kasus mulai tenggelam hilang > Akhirnya selesai tanpa kejelasan > Muncul
kembali dalam bentuk empati bagi pelaku.
Awal mula kasusnya
menyeruak ke permukaan dan tak lama kemudian terendus oleh media yang telah
sigap menangkap berita. Saat kasus terendus media, kala itulah berduyun-duyun
berbagai penyajian dan klise dilakukan agar masyarakat tertarik menyaksikan
berita tersebut.
Mengetahui berita
ini punya nilai jual yang tinggi, media mengemas sebaik mungkin. Salah satunya
dengan pemberitaan tanpa henti. Hingga membuat tajuk Headline News atau Breaking
News. Memakan waktu berjam-jam dan mengorbankan banyak acara lain yang
layak tayang.
Pelaku (target
media) jadi pesakitan harus menerima cerca atau dihujat habis-habisan oleh media
yang meliput tanpa henti. Pelaku dianggap sebagai orang yang tak benar,
kehilangan akal sehat, terjebak depresi berkepanjangan hingga faktor uang yang
membuat dia melakukan hal tersebut. Semua predikat ia terima atas kasus yang
menimpanya.
Saat kasus
tersebut sedang heboh, segala pakar ikutan terlibat. Mereka mendapatkan job
menggiurkan tanpa henti, dari para saksi, kenalan hingga orang yang pernah
bertatap sekilas saja dengan pelaku. Mereka dapat jatah wawancara dan diminta
keterangan lebih lanjut, dan minimal bisa masuk kotak kacalah (read:
televisi).
Saat berita
tersebut mengalami kehebohan, berita kasus kriminalitas atau politik bisa
ikutan merambah masuk ke ranah infotaiment. Semua pemberitaan tertuju
pada berita tersebut hingga begitu banyak pemberitaan sehingga mau tak mau
terhipnotis untuk sejenak menonton.
Masyarakat ibarat
menonton sinetron ratusan episode, setiap hari tanpa henti-hentinya
ditayangkan. Bila sedikit saja tak mengikuti kabar ter-update ia akan
malu dengan teman-temannya saat saling menyambut lidah.
Mau tak mau ia
terdorong ikutan mengikuti perkembangan kasus pribadi orang lain, berkat
polesan media. Ibarat menonton sebuah drama kolosal, menyaksikan siapakah tokoh
antagonis sebenarnya butuh waktu. Semua duduk manis dengan Popcorn di tangan, pandangan lurus ke kasus yang terjadi.
Bila dipikir
secara jernih, kita semua seperti terbawa oleh kolosal yang terkemas begitu
manis, menguras waktu dan pikiran tak
menentu. Ibu-ibu jadi malas menyiapkan makanan buat suami tercinta dan anaknya
terus merengek kencang minta dibuatkan susu malah terabaikan. Asyik memantau
perkembangan kasus blow up media.
Informasi negatif
yang terus menerus menghampiri kita walaupun sebenarnya terjadi pada orang
lain. Oknum-oknum pemilik media tertawa terbahak-bahak melihat masyarakat
termakan kolosal yang ia sutradarai. Sedangkan pelaku yang terekspos jadi
pesakitan, malu luar dalam.
Waktu berlalu
dengan cepat, kasus sedikit memudar dan hilang tanpa kejelasan akhir dramanya
ibarat sinetron layar kaya yang alur ceritanya meluber ke mana-mana. Alhasil
kasusnya selesai dan dinyatakan tutup buku, bila diibaratkan sinetron sengaja
ditamatkan paksa. Karena ada sinetron (kasus) lain yang lebih heboh yang
menjadi pemberitaan.
Memang sifat kita
yang gampang lupa dan mudah kembali mengingat apa yang pernah terjadi heboh
sebelumnya. Saat semua sudah lupa, media datang dalam bentuk lain. Beralih
mendukung dan mendukung pelaku yang tadinya jatuh tertimba tangga. Meliput dari
sudut pandangan yang berbeda, kini media meliput dari sudut kegagalan, penderitaan dan kasus yang menimpanya.
Rubiknya seperti ini:
Masihkah ingatkah
anda dengan kasus yang menimpa......
Sekarang pelaku beberapa tahun kurungan atas kasus
yang ia alami dulu.
Atau
Kini pelaku menjalani hidup baru telah berhasil
memilih jalan tobat setelah pernah melakukan tindakan asusila.
Masyarakat sekitar menolaknya karena dirinya adalah aib warga
Masyarakat sekitar menolaknya karena dirinya adalah aib warga
Pada saat itu,
media beralih memberikan empati kepada pelaku bila dulunya dicerca habis-habisan
malah memberi dukungan. Bertolak belakang bukan dengan dulunya, persis seperti
drama kolosal.
Saya malah melihat
bahwa koran murahan dengan judul panjang, kocak, dan nyeleneh lebih masuk akal
dibandingkan media terkemuka berjudul manis dan diplomatis tetapi membawa
pembaca pada kolosal yang mereka ciptakan.
Baca juga: Energi Negatif Bisa Menular
Tak dipungkiri
pula, rating tinggi acara tersebut bisa tayang terus-terusan karena masyarakat
suka. Walaupun sebenarnya banyak berita lain yang bersifat edukasi, namun
pemberitaan tak mutu sebuah keharusan dan gaya hidup. Apalagi media pandai
mengemas dengan sedemikian rupa hingga gurih ditonton.
Mengingat sifat manusia itu sangat suka menanggapi hal
negatif, mengancam, dan spekulasi. Daya jelajah manusia dan fokus tertuju saat
melihat kasus tak bermutu layaknya drama kolosal.
Saya mau mencontohkan seperti ini:
Rekayasa:
Mencengangkan, hujan ikan lele dari langit, pertanda Dajjal tak lama muncul ke bumi.
Selamatkan sanak keluarga anda. Hujan ikan lele hingga membanjiri jalanan protokol, pertanda kiamat di depan mata.
(Beritanya hoax, namun judulnya sangat menyedot animo yang membaca, padahal hasil pelintiran media).
Fakta:
Sebuah truk lele milik Pak Mae terbalik di jalanan protokol akibat jalanan yang berlubang (Benar kejadian beritanya tapi tanggapan masyarakat minim).
Baca juga: Jangan Termakan Berita Hoax
Kebebasan media
punya sisi menggerus terutama sekali tak ada tontonan yang beragam terutama
masyarakat yang berada di daerah hanya mengandalkan televisi dalam negeri
(gratis) tanpa bayaran. Alhasil menyerap semua berita yang ia lihat itu-itu
saja setiap hari dari bangun hingga tidur lagi.
Sedangkan tontonan
berkualitas harus berbayar dan mahal, bagi anak muda mereka mengakali dengan
tontonan dari Youtube berdasarkan subscribe yang ia mau dan sosial media
kepercayaannya. Alhasil masyarakat di daerah hanya mengandalkan televisi lokal
yang acaranya banyak tak berbobot.
Mereka paling
banyak merasakan dampak kolosal tersebut ditambah kesibukan masyarakat daerah
yang renggang dibandingkan warga perkotaan. Salah satu membunuh kebosanan
adalah menonton televisi.
Dampaknya tercuci
otaknya setiap hari oleh pemberitaan yang sama secara berturut-turut. Para
petinggi media tertawa lepas saat melihat masyarakat seperti penonton bioskop.
Pembuat skenario untung besar saat melihat kolosal ala media yang membius.
Jadi sampai kapan kita hanya menjadi penonton yang
saya lihat sifat media yang suka tarik ulur?
Cara terbaik
menampik permainan kolosal yang sungguh memikat adalah dengan kurang-kurang
menyaksikan tontonan bernada negatif terutama dari televisi. Semakin banyak
duduk di depan televisi malah lebih mudah frustrasi dan tak produktif.
Malah dengan
berpikir kritis dan logis kita tahu apa itu layak dicerna dan diikuti.
Mementingkan kehidupan pribadi lebih baik diutamakan, karena tontonan dan
suguhan media hanya sekedar bukan malah melebih kadar.
Well... pengalaman
apa sajakah yang pernah anda rasakan dan bagaimana menyikapi blow up
media, Silakan share di kolom
komentar. Semoga tulisan ini memberikan secercah pencerahan.
Betul banget bang wartawan sekarang asal yang penting TERBIT padahal beritanya kebanyakan kaga bermutu semua.Dan kebanyakan beritanya juga TUKANG KOMPORIN..hehhee
ReplyDeleteIya, apalagi yang baca langsung terprovokasi.
DeleteMas.. yang bagus ittu Komporin Mie, lumayan bisa bikin kenyang. :D
makasih infonya
ReplyDeleteiya agan
Delete