Tahukah apa yang
paling ramai akhir tahun? Yupss.. itulah pelaksanaan wisuda dari berbagai
perguruan tinggi. Setelah melewatkan berapa lama duduk di bangku perkuliahan, akhirnya wisuda itu datang juga. Ibarat penantian panjang setelah sekian lama
bergumul dengan tugas akhir. Permainan emosi dari bercampur dengan sejuta
pengalaman dan pembelajaran, bak oase di tengah padang nan gersang.
Wisuda jadi sebuah
kebanggaan terutama sekali keluarga besar. Andai ada keluarga yang anaknya dari
keluarga kurang mampu dan hanya dirinya saja yang mengenyam pendidikan tinggi,
begitu bangga sang orang tua. Ia bisa menceritakan sukses sang anak hingga
memakai toga kepada tetangganya di kampung.
Pergi ke kota,
menyewa kendaraan, meninggalkan sawah ladang, mengabaikan ternak hanya untuk
menghadiri pencapaian sang anak di kota. Ada sejuta pengharapan yang terpancar
dari raut masing-masing orang tua.
Akhirnya anakku menjadi sarjana, sungguh bahagia membuncah hingga dalam dada.
Saya pun
menganalisa wisuda dalam konteks mahasiswa yang pernah mengenyam duduk di
bangku perkuliahan. Makna itu semakin terasa saat semakin berat cobaan dan
tepat waktunya durasi tamat. Ada yang tepat waktu, terhambat dan hingga para
mahasiswa korban “cuci gudang”. Semua punya kesan tersendiri, hanya dirinya
sendiri yang mampu menggambarkan saat rektor memberikan selamat dan ijazah lalu
disambut sang dekan dengan pengesahan.
Saya menganggap
wisuda hanya ibarat hajatan besar bersama dalam hari yang sama. Pengandaian
hidup layaknya pesta nikahan. Sidang lebih tepatnya sebuah lamaran, yudisium
layaknya ijab qabul dan wisuda ibarat pesta yang semua bisa menikmati. Bagi
diri sendiri sudah sangat senang saat sudah sidang dan yudisium berlangsung,
itulah punya deg-degan terbesar.
Wisuda buat semua
pihak sibuknya minta ampun, mencari tempat sewa atau bahkan beli pakaian khusus
wisuda. Mencari riasan yang cocok dan bahkan sampai rela bangun pagi buta hanya
untuk berdandan untuk terlihat cantik di hari wisuda.
Ini hari khusus
dan belum tentu terulang kembali jadi berpenampilan terbaik untung bisa
dikenang sepanjang zaman terutama kaum hawa. Kaum Adam mungkin bisa sedikit
berleha-leha, ia tak perlu sesibuk kaum wanita. Mau baju, sepatu semua bisa
disewa dan pinjam.
Baca juga:
Wanita dan Paradoks Kedai Kopi
Semua terasa
begitu terlihat gagah dan cantik saat memakai baju toga dan topi segi lima
mengantung seutas tali di tengahnya. Hari wisuda lebih ramai dari biasanya,
semua sanak keluarga dan para wisuda ikut andil memenuhi jalanan protokol
menuju kampus.
Tujuannya hanya
satu, menghadiri prosesi sakral penuh makna. Bagi yang tak dapat undang masuk,
harus sabar menunggu di luar hingga acara tuntas. Saat wisuda usai, mencari
teman, saudara bahkan orang tercinta susahnya minta ampun. Harus putar ke sana
ke mari, itu semua pengorbanan saat melihat yang kita cari memakai baju toga
dan beberapa jepretan foto sebagai bukti.
Saat temannya
selesai wisuda, ada pula teman-teman yang datang dengan pikiran kalut. Mereka
itu teman-teman yang masih tertinggal di kampus. Merasa malu dan kadang salah
tingkah melihat temannya dengan gagah dan cantik memakai toga.
Mereka punya
sejuta harapan yang sama dengan sudah selesai. Tak muluk-muluk, hanya ingin wisuda
dan orang tuanya duduk di rumah pengesahan melihat anaknya mengambil gelar
resmi di podium atas.
Para wisudawan dan
wisudawati merasakan hal yang sama. Saat turun dari podium ia merasa senang bercampur
gundah. Besok harus berbuat apa dan mencari pekerjaan di mana?
Wisuda itu ibarat paradoks menyenangkan antara
bisa lepas dari belenggu kampus dan melihat dunia luar yang penuh tantangan.
Begitu banyak jumlah sarjana intelektual yang hanya penghias kedai kopi karena
mereka tamat tak punya rencana jangka panjang. Lulus saja dahulu, masalah
pekerjaan bisa dicari kemudian hari.
Saat banyak orang
tua menganggap dengan kuliah di jurusan terkemuka akan mudah dapat
pekerjaan. Hmm... itu semua kembali ke
pribadi masing-masing membekali diri dengan kejamnya ekspektasi dan harapan.
Mungkin Rektor
sudah hafal betul akan kata-kata pidatonya kepada seluruh wisuda yang dibacakan
setiap edisi wisuda. Sambil berbuih-buih rektor berharap jangan terlalu berharap
bekerja di instansi pemerintahan
(menjadi PNS), bukalah dan garaplah lahan yang masih luas serta
kembangkan potensi diri. Menjadi anak muda yang kreatif dan inovatif yang mampu
bersaing saat lapangan kerja telah mencapai titik jenuh.
Saya pribadi juga mengharapkan
jangan terlalu berharap lebih dengan predikat lulus dari kampus dan jurusan
mana serta IPK yang besar. Itu seakan bertolak belakang saat terjun ke dunia
kerja yang pilu. Satu per satu harapan gugur karena mengandalkan tameng
tersebut.
Baca juga:
Menjadi Pahlawan Kekinian
Kata orang menjadi
sarjana buat kita selangkah lebih maju. Maju dalam jenjang iya, namun karier
semua kembali ke sepak terjang dan perjuangan. Semua tak bisa diukur dari
selembaran ijazah semata dengan deretan nilai mentereng, banyak hal lain untuk
menggapai tujuan.
Saat harapan yang
besar di pundak harus dipikul, beban itu serasa ringan saat hari wisuda telah
lewat. Tak pernah bingung dan gundah harus melakukan apa ke depan. Apa
bekerjakah, lanjut kuliahkah atau mengikuti passion-kah? Semua kembali
ke pemikiran masing-masing, karena diri sendiri yang menentu ke mana dan jadi
apa ke depan.
Saat apa yang
diharapkan sesuai dengan keinginan saat itulah satu dari sekian banyak harapan
mampu terwujud. Wisuda selesai, dan saat itulah pengharapan tetap menjadi
kenyataan. Wajah dan lingkaran senyum orang terdekat terutama sekali orang tua
tetap terus terjaga. Mereka merasa bahagia harapan anaknya berjalan dan sang
orang tua makin bangga karena kuliah anaknya tak sia-sia.
Semoga tulisan ini menginspirasi!
0 komentar:
Post a Comment