Beberapa pekan yang
lalu jagat maya dihebohkan dengan kampanye #DeleteFacebook yang menjadi
trending sosial media. Perusahaan besar pun merespons hal
tersebut dengan menutup akun Facebook milik mereka karena khawatir dengan
gelombang tersebut, seperti yang dilakukan oleh Space X dan Tesla milik Elon
Musk.
Penyebab utama
adalah kebocoran data pelanggan yang kemudian disalahgunakan oleh konsultan
kampanye Donald Trump, Cambridge Analytica dalam kampanyenya di tahun
2017. Hingga akhirnya berhasil memenangkan Donald Trump sebagai Presiden USA ke
45.
Muncul
pertanyaan, data pribadi apa saja yang disimpan oleh Facebook dan bagaimana
data tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab?
Baiklah... Bila
Anda punya atau pernah punya akun Facebook. Silakan Anda masuk ke laman utama Facebook
dan pilih setting/pengaturan. Kemudian masukkan password serta download a
copy of your Facebook data.
Tak berapa lama
kemudian Facebook akan mengumpulkan data Anda secara keseluruhan, memang bagi
yang belum pernah download data pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Akhirnya
data yang terkumpul berhasil dihimpun dan jumlahnya cukup besar yaitu mencapai
124 MB. Walaupun saya pribadi sangat jarang menggunakan Facebook (bisa hitungan
minggu atau bulan).
Saat data sudah
berhasil di download, semua data tentang Facebook. Mulai dari kapan Anda
membuat akun Facebook, email yang pernah digunakan, segala status, percakapan
dengan siapa saja, like yang pernah Anda berikan hingga komentar ada di akun
lainnya. Facebook juga menyimpan nomor ponsel dari teman-teman Anda, jelas ini
sangat detail tersimpan rapi.
Selain itu,
Facebook juga mengaitkan iklan-iklan yang Anda like dan kemudian
dikunjungi di Timeline termasuk perusahaan yang punya kontak kita. Terakhir
adalah aplikasi pihak ketiga yang terhubung dengan akun Facebook kita. Ia akan
tahu segala tentang Anda karena kebiasaan dan kegemaran Anda. Sedikit
menakutkan memang, apalagi jatuh ke tangan pihak yang salah.
Bagaimana data pengguna bisa bocor?
Skandal
bocornya data pengguna Facebook berawal dari bocornya aplikasi pihak ketiga
yang sering berseliweran di Timeline Anda. Semua itu berawal di tahun 2014,
seorang peneliti bernama Aleksandr Kogan membuat aplikasi bernama This is My
Digital Life. Aplikasi seperti kuis-kuis Facebook ini tidak hanya mengambil
data 270 ribu data penggunanya saja, akan tetapi mengambil data teman-teman si
pengguna tanpa perlu meminta izin.
Inilah yang
menjadi alasan bocornya 50 juta pengguna Facebook dan 1,26% datang dari
Indonesia. Data yang bocor sebanyak itu kemudian digunakan oleh Cambridge
Analytica untuk membantu kampanye Donald Trump. Tujuan utamanya menyebarkan
konten-konten yang tepat kepada penduduk USA dan global sesuai data pribadi
yang mereka dapatkan. Supaya nantinya mereka memiliki Trump di tahun 2017
kemarin. Hasilnya Trump menang, mengalahkan kandidat tunggal Partai Demokrat,
Hillary Clinton.
Analogi
sederhananya seperti ini..
Seseorang pria
rahasia mengagumi seorang wanita di dunia maya berawal dari begitu cantiknya
wanita tersebut. Alhasil ia berupa sekuat tenaga mencari tahu informasi si
wanita serta segala tindak tanduknya di dunia maya. Mulai dari temannya,
percakapannya, hobi, dan kegemarannya. Mungkin si wanita tidak sadar bahwa di
luar sana ada orang yang mencuri fotonya, mengoleksi videonya, lokasi
nongkrongnya hingga mengetahui alamat rumahnya.
Hingga akhirnya
si lelaki misterius bisa mengirim bunga atau makanan kesukaannya supaya si
wanita bisa tertarik dengannya. Hingga akhirnya ia mengajak ketemuan sebagai
bukti cinta. Jelas ini sesuatu yang sangat risih dan mengganggu bagi seorang
wanita. Orang asing yang tiba-tiba datang, tahu segalanya dan seakan mengganggu
privasi. Memang bisa jadi lelaki misterius itu mencinta secara tulus, tetapi
ini sudah melanggar batas privasi di dunia maya.
Hampir sama
dengan kasus Cambridge Anaytica, bisa saja banyak pengguna Facebook yang
digunakan datanya mendukung Trump. Namun cara yang mereka gunakan salah karena
melanggar privasi pengguna. Korban akan risih dan awalnya suka malah menjadi
benci karena aksi menguntit yang terlewat batas.
Belajar dari pengalaman Facebook
Segala yang ada
di dunia maya tidak semuanya aman, pasti ada celah (bug)....
Itulah mengapa
kita semua harus berhati-hati dalam menggunakan sosial media. Ada pihak jahat
yang mencoba mencuri atau bahkan perusahaan tersebut yang menjual aset pengguna
kepada orang lain.
Di zaman saat
ini data sangat berharga, apalagi menggunakan aplikasi yang cuma-cuma (gratis).
Untuk bisa menghidupkan sebuah perusahaan, mereka mencari cara termasuk menjadikan
data penggunanya sebagai mesin uang.
Saya pun ingat idiom
yang dipopulerkan oleh Koran New York Time tahun 1872: Tidak ada makan siang
gratis (There No Aint’t Such Things as a Free Lunch). Saat itu Bar di
daerah Crescent City (New Orleans) memberikan makan siang gratis, namun mereka
harus bayar untuk minum. Jelas saja, pengguna akan minum lebih banyak
dibandingkan makan.
Sama halnya
dengan perangkat sosial media dan mesin pencari yang kita gunakan saat ini.
Memang kita tidak membayar saat menggunakannya, tetapi kita memberikan banyak
informasi data pribadi kita yang punya nilai jual begitu berharga bagi mereka.
Kemunculan era
baru bernama Blockchain
Era baru
dimulai pada millenial jilid 2 (2010-an) saat Blockchain mulai hadir melalui
kemunculan fenomenal mata uang kripto bernama Bitcoin. Blockchain yang
transparan dan tidak ada data yang disimpan secara sentralisasi seakan kita
tidak bisa menyalahkan sebuah perusahaan atas keteledorannya.
Namun ia hadir
dengan konsep baru yaitu desentralisasi, pengguna punya tanggung jawab
masing-masing atas data yang mereka buat di jagat maya. Segala catatan digital
berada di tangan kita, baik dan buruk akan terlihat jelas dari tindak tanduk
Anda.
Adanya Blockchain
seakan pencurian data pengguna sangat sulit dilakukan, karena semua pihak punya
tugas mengawasi jaringan dan tindakan mencurigakan lainnya. Itulah mengapa
kehadiran Blockchain menghadirkan Smart User dan Smart Content adalah modal
utama, khususnya membuat Anda punya catatan digital yang baik.
Inilah yang
membuat banyak media desentralisasi morat-marit akibat gebrakan Blockchain. Tak
tertutup kemungkinan mereka harus beralih atau bahkan kalah dengan media yang
sudah murni memakai konsep blockchain, memberikan data penuh pada pengguna
sedangkan media saat ini hanya khusus menjaga jaringan saja.
Dan pelajaran
penting yang kita petik, segala sesuatu yang gratis kita gunakan pastinya Anda
memberikan akses data Anda untuk dijual oleh perusahaan tersebut. Pengguna
ibarat barang yang dijual dalam kemajuan perusahaan tersebut atau bahkan ada
pihak-pihak tak bertanggung jawab yang mengintai data pengguna. Sehingga
membuat apa yang dahulu Anda anggap rahasia, kini jadi konsumsi publik dan
pengembang.
Bagaimana pendapat Anda dan semoga tulisan ini menginspirasi
0 komentar:
Post a Comment