Hamparan
pegunungan terbentang begitu luas dan saat itulah Saya mulai merasa sudah
berada di kawasan tengah Aceh. Perjalanan belasan jam harus kami lalui dari
Banda Aceh hingga akhirnya bisa sampai di Gayo Lues.
Perjalanan darat
menyusuri jalur tengah daratan Aceh menempuh waktu 15 jam. Sepanjang jalan
disuguhi dengan berbagai aneka hutan hujan tropis yang begitu rapat, pegunungan
yang luas membentang dan jalan yang begitu berkelok-kelok.
Berangkat di
pagi buta dan barulah tengah malam hari barulah kami tiba di lokasi. Udara yang
menusuk mulai terasa dan hutan belantara yang menutupi pemandangan. Sesekali
terlihat rumah penduduk yang di pinggiran sungai.
Akhirnya kami
tiba di sebuah bangunan balai desa, masyarakat setempat menyebutnya dengan
Kantor Pengulu. Suasana kampung dan cuaca yang dingin jadi sebuah tantangan
saat itu. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya bernama Marjohansyah
menghampiri saya. Ia ditugaskan sebagai pemandu serta menawarkan jasa menginap
di rumahnya.
Jaraknya tak
jauh dari kantor Pengulu dan berada di perkampungan warga Agusen. Suara desir
DAS Sungai Alas terdengar, bak ibarat simfoni. Saya harus mempersiapkan tenaga
karena esok harinya ada segudang acara yang harus diikuti.
Topografi Alam Agusen
Sekilas
mengenai topografi alam Gayo Lues merupakan disebut dengan negeri seribu bukit,
hamparan pegunungan tinggi terhampar. Kabupaten Gayo Lues memiliki 11 kecamatan
yang di dalamnya terdapat 253 desa. Topografi yang hampir keseluruhannya oleh
hutan hujan tropis membuat sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya
dari 55% budidaya pertanian dan 45% Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Desa Agusen
berada berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser, jaraknya hanya 51 dari
puncak Gunung Leuser. Ada lebih dari 200 kepala keluarga yang mendiami Agusen
dengan latar belakang suku Gayo. Medan yang harus dilalui cukup berat dan
berliku untuk bisa tiba di sana.
Agusen berjarak
± 40 kilometer dari ibu kota Blangkejeren, tapi Anda tak perlu khawatir karena
jalannya sudah beraspal dan mulus walaupun sedikit sempit. Pengemudi harus sedikit
waspada dan semua terbayar dengan pemandangan yang menakjubkan.
Catatan hitam rekam
jejak Agusen
Begitu banyak
media dan pihak berwajib yang melabeli bahwa Agusen sebagai desa ganja terbesar
di dunia. Alasan masuk akal. Masyarakat dahulu begitu kesulitan untuk
memasokkan sejumlah komoditi miliki mereka. Harganya jelas tak sebanding dengan
transportasi yang mereka habiskan dan belum lagi permainan tengkulak yang
mencekik petani.
Masyarakat saat
itu melihat ganja (Cannabis sativa) sebagai komoditi yang menguntungkan
walaupun taruhannya adalah nyawa dan jeruji besi. Potensi alam yang sangat
besar khususnya kesuburan tanah membuat sejumlah warga jadi gelap mata dan
melakukan tindakan yang dilarang oleh pemerintah. Biaya yang dihasilkan jelas
sangat besar dibandingkan menjual komoditi seperti tomat dan cabai.
Saat aksi
pemberantasan lahan ganja, banyak warga setempat yang menjadi korban. Menurut
dari data Bupati Gayo Lues, Ir. Muhammad Amru. Ada sekitar 900 warga harus
mendekam di dalam penjara akibat mengedarkan narkoba jenis ganja dan ada ribuan
lainnya yang masih dalam keadaan buron.
Pihak
kepolisian setempat dan BNN sangat rutin melakukan razia ke sejumlah lahan yang
ada di kaki Gunung Leuser. Banyak warga yang memanfaatkannya untuk menanam
tumbuhan haram tersebut.
Ketua BNN saat
itu, Budi Waseso pun rutin datang ke Desa Agusen termasuk meninjau masyarakat
setempat. Tak hanya itu saja, beliau juga rutin menyarankan masyarakat beralih
pada sentral pertanian yang hal sehingga jadi salah satu pencetus desa
ekowisata.
Semua makin
diperkuat dari pengamatan saya dan wawancara dengan Marjonsyah, warga Agusen.
Banyak teman sejawatnya yang harus mendekam di balik jeruji besi karena terlibat
dalam penanaman ganja. Saat ini, ia dan beberapa warga kampung setempat kini
dibina dan dilatih menjadi pemandu untuk para turis.
Bila dahulunya
selalu ada pihak kepolisian yang masuk ke desa mengecek aktivitas warga
setempat. Kini berubah dengan begitu seringnya warga asing yang datang ke
Agusen untuk menikmati keindahan alamnya. Potensi yang besar di dalamnya bisa
dimanfaatkan dengan sedemikian rupa.
Membenahi
Agusen sebagai desa ekowisata
Kini Desa
Agusen ingin menghapus jejak kelam masa lalu, dari desa penghasil ganja nomor
wahid dunia menjadi desa ekowisata. Agusen sudah berbenah, menjadi desa ekowisata
potensial, bukan hanya pada taraf daerah namun internasional.
Sejumlah aspek
begitu dilirik dan pastinya menguntungkan masyarakat sekitar serta
menghilangkan stigma buruk tempo dulu. Banyak pengunjung yang datang dengan
berbagai kepentingan khususnya label ekowisata yang disandang oleh Agusen.
Salah satunya
adalah program dari ekowisata yang digalakan oleh Yayasan Java Learning
Centre (Javlec). Agusen terpilih dari empat desa lainnya untuk berbenah
jadi desa dengan pengelolaan hutan kolaboratif berbasis potensi ekowisata.
Masyarakat
setempat dilatih dan diberdayakan dalam mempromosikan desanya sebagai lokasi
ekowisata potensial di Gayo Lues. Selain itu mengubah lahan yang dahulunya
sering digunakan sebagai menanam ganja ke arah tanaman produktif untuk
kesejahteraan masyarakat.
Saat kunjungan
saya ke Desa Agusen bersama teman-teman INFIS, masyarakat setempat mulai
menanam berbagai tumbuhan produktif seperti tanaman kopi, serai wangi, cabai,
tomat, dan beras merah. Tak hanya itu saja, Javlec melatih masyarakat setempat
akan besarnya potensi ekowisata di Agusen.
Ada beberapa
wisata pilihan yang ada di Agusen dan menjadi pilihan pengunjung. Apa saja itu,
berikut ulasannya:
Wisata alam dan
petualangan, Agusen punya
alam bebas yang menarik dan banyak yang bisa dieksplorasi oleh para pengunjung.
Agusen punya sesuatu yang sangat menawan yaitu petualangan menguji adrenalin dari
DAS Sungai Alas yang begitu jernih. Sangat tepat dalam bermain river tubir.
Bagi mereka
yang menyukai alam dapat melakukan hiking dengan menaiki perbukitan yang
ada di sepanjang. Lokasi yang paling tepat adalah bukit cinta yang ada di
perbukitan Agusen. Dari ketinggian, jajaran bukit menyerupai bentuk hati.
Lokasi ini sangat menarik, khususnya lokasi swafoto.
Kemudian ada
wahana river tubir bagi pengunjung, mereka akan merasakan sensasi
berselancar dengan ban karet mengarungi anak Sungai Alas. Tak hanya itu saja,
pengunjung dapat mandi di sepanjang aliran sungai yang masih sangat jernih dan
dingin.
Wisata
penelitian, beragam satwa
yang ada di TNGL menjadi lokasi yang sangat menarik melakukan penelitian.
Agusen dianggap sebagai desa terakhir sebelum memasuki TNGL, letaknya yang
strategis jadi pilihan para peneliti untuk singgah sebelum atau sesudah
melakukan penelitian di TNGL.
Penelitian lainnya
yang bisa dilakukan adalah dengan sejumlah aktivitas masyarakat. Apakah dinilai
merusak atau mencemari alam. Itu dianggap masuk akal mengingat di Agusen banyak
lokasi wisata yang rentan mengalami kerusakan. Bisa saja dari sampah hingga
aktivitas pertanian yang mampu merusak alam. Pihak peneliti bisa melakukan
konservasi alam serta pemahaman masyarakat sama seperti pelarangan menanam
ganja.
Wisata pendidikan,
Lokasi Agusen yang berada di tengah hutan membuat sejumlah akses
seperti pendidikan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebelum Agusen masuk ke
dalam desa ekowisata yang digalakan oleh Yayasan Java Learning Centre
(Javlec). Sekolah di Agusen berada di sebuah bukit, anak sekolah harus menaiki
bukit yang tinggi dan terjal tanpa jalan sebelum masuk sekolah.
Kini telah ada
sekolah baru yang dibangun dan letaknya berdekatan dengan Kantor Pengulu
Agusen. Tenaga pengajar sudah memadai dan pastinya anak-anak tersebut makin
terampil. Salah satunya dengan penerapan desa Inggris. Anak-anak setempat
dikenalkan mulai dari ejaan, kosa kata, dan buku berbahasa Inggris. Diharapkan
nantinya anak-anak setempat mampu berbahasa Inggris dengan lancar.
Wisata sosial, Merasakan
kehangatan warganya, mungkin bagi sebagian besar masyarakat di daerah
pegunungan punya sifat yang sangat tertutup. Mereka merasa setiap pendatang
adalah orang asing. Namun tidak di Desa Agusen, Gayo Lues. Tamu adalah berkah
bagi mereka sendiri.
Itu sangat saya
rasakan saat berada di sana, masyarakat di sana cukup ramah dan bersahabat.
Bahkan faktor bahasa bukan sebuah kendala, umumnya masyarakat Agusen berbahasa
Gayo dan kurang fasih berbahasa Indonesia. Namun semua itu bukan alasan untuk
saling berinteraksi.
Wisata budaya, Menjaga cagar budaya khas Gayo Lues yaitu Tari Saman. Anak-anak
dilatih mengenal Tari Saman yang sudah mendarah daging. Nantinya mereka bisa dilibatkan
saat tamu-tamu datang ke Agusen dan melihat proses latihan Tari Saman.
Bahkan di tahun
2017, Tari Saman berhasil memecahkan rekor dengan melihat 12.262 ribu penari. Menurut
UNESCO, Tari Saman telah masuk sebagai warisan tak benda. Tahun ini, pemerintah
setempat ingin menyelenggarakan pagelaran serupa pada Hari Saman yang jatuh 12
November. Tari Saman akan terus dilestarikan hingga ke anak cucu kelak sebagai
warisan budaya masyarakat Gayo.
Wisata konservasi,
Agusen memang terkenal dengan hasil pertanian dan perkebunan. Mulai
dari tomat, cabai, seri wangi, dan pastinya kopi. Bahkan sejumlah komoditi
unggulan seperti serai wangi dan kopi mampu menembus pasar dunia.
Alih fungsi
lahan tanpa merusak kawasan hutan terus dijaga khusus menjadikan lahan
pertanian dan perkebunan produktif. Sebagai contoh adalah lahan perkebunan kopi
yang disulap sebagai lokasi wisata konservasi.
Bila dahulunya
Anda hanya bisa menikmati kopi, kini Anda dengan mudah dapat berkeliling di
perkebunan kopi milik warga yang tumbuh bebas di pinggir perbukitan. Minum kopi
langsung dari kebunnya pasti begitu syahdu.
Pengembangan
ekowisata dianggap sangat penting dalam menjaga kelestarian alam dan budaya,
serta meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Nantinya masyarakat mampu
menghasilkan pendapatan yang berkesinambungan berkat alam yang mereka miliki.
Menjaga alam menjaga bukti mampu mendatangkan keuntungan berlipat.
Peluang
Ekowisata, Pemantik Kesejahteraan Warga
Masyarakat yang
ada di daerah pegunungan dianggap masyarakat dengan pendapatan menengah ke
bawah. Mereka masih menilai hasil pertanian dan perkebunan belum menguntungkan.
Tak banyak masyarakat yang pendek akal melakukan pendekatan dengan menanam
tumbuhan terlarang ganja buat memperbaik taraf hidup.
Bukannya
menghasilkan untung malah berakhir buntung. Banyak masyarakat yang harus
merasakan tidur di dalam jeruji besi dengan hukuman sangat berat. Proses
pemberdayaan masyarakat menjadi masyarakat produktif dan kreatif terus
digalakkan.
Setelah proses
pelatihan dan pembinaan yang dilakukan, kini warga Agusen mulai terampil.
Mereka mulai memanfaatkan lahan mereka dengan berbagai sentra menguntungkan.
Itu pun didukung dengan akses jalan yang lancar tanpa perlu khawatir memasok
hasil pertanian dan perkebunannya.
Masyarakat
mulai tahu bahwa sentra kopi dari Agusen dinilai sangat baik dibandingkan yang
dihasilkan di Kabupaten Aceh Tengah. Itu mendorong masyarakat untuk bisa
menghasilkan lahan kopi yang mampu memasok kopi. Kini tinggal peluang besar
ekowisata perkebunan terbentang luas. Masyarakat bisa menata ekonomi lebih baik
dari hasil alam di tanah bak hamparan surga.
Masyarakat
Agusen tidak perlu khawatir andai hasil alam mereka terganggu, mereka punya
potensi lainnya yang bisa dimanfaatkan. Kini gaung dari Agusen menyebar ke
mana-mana, mampu menyihir media cetak dan elektronik untuk menuliskan cerita
tentang desa tersembunyi di kaki Gunung Leuser.
Dari segala
potensi tersebut, ada sejumlah permasalahan klasik yang harus dipecahkan dalam
pengembangan daerah ekowisata di Agusen. Sejumlah catatan ini jadi pertimbangan
pribadi saya selama di sana. Berikut ulasannya:
Penginapan layak, pengalaman saat saya mengingat cukup kurang memuaskan. Memang
belum ada penginapan khusus pengunjung. Umumnya hanya kamar dari rumah warga,
sejumlah pengunjung harus berbagi kamar dengan pengunjung lainnya.
Bila ada penginapan
yang memadai, jelas banyak turis yang rela menginap dan ini jelas menambah
pendapatan masyarakat. Umumnya pengunjung yang datang tidak sampai menginap,
jelang senja hari mereka umumnya langsung beranjak pulang.
MCK kurang
memadai, permasalahan ini cukup pelik, hampir
semua rumah warga belum memiliki toilet. Masyarakat setempat menjadikan DAS
Sungai Alas sebagai aktivitas MCK. Hanya ada dua tempat yang menyediakan MCK
layak, kantor Pengulu dan masjid. Selebihnya masyarakat lebih memilih melakukan
aktivitas MCK di sungai.
Kekurangan ini
harus dibenahi segera, pastinya banyak wisatawan yang kesulitan saat BAB. Serta
harus adanya bak penampung yang memudahkan proses masyarakat tanpa harus ke
sungai, karena pada pagi dan malam hari air sangat dingin. Selain itu mampu
menjaga kualitas air tetap optimal dan masyarakat tidak harus ke sungai.
Adanya toilet
dinilai membantu masyarakat dalam salinitas lebih baik. Serta mengurangi
aktivitas di sungai. Pengadaan toilet saat ini mulai digodok di sejumlah
penginapan, mengingat Agusen sudah
termasuk desa ekowisata.
Manajemen
sampah, tumpukan sampah jelas sangat
merusak pemandangan. Lokasi ini mudah ditemui khususnya setelah pengunjung
datang. Kesadaran yang rendah dari pengunjung dan sedikitnya himbauan membuat
masalah klasik setiap tempat wisata.
Saya beserta
teman-teman sempat melakukan aksi pembersihan sampah, jumlah cukup besar. Bila
dibiarkan, akan membuat Agusen tidak menjadi natural lagi. Langkah yang
dilakukan adalah dengan pemberian himbauan kepada pengunjung dengan sejumlah
plang dilarang membuang sampah. Serta tersedianya tong sampah yang berada di
sejumlah titik wisata.
Pemandu yang kredibel, Sebagai bentuk pemanfaatan SDM setempat, anak-anak muda Agusen
dilibatkan ke dalam pelatihan sebagai pemandu. Tugas utamanya adalah memandu
sejumlah wisata dalam dan luar negeri saat datang ke Agusen. Mereka nantinya
akan dilatih kemampuan berbahasa asing dan sopan santun terhadap tamu. Cara ini
dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan pemuda sekitar.
Akses memadai, Untuk bisa sampai Agusen dibutuhkan waktu ±40 menit dari Kota
Blangkejeren. Salah satu akses yang bisa tempuh adalah jalur darat yang berliku
dan curam. Sangat dibutuhkan pemandu jalan yang jelas untuk bisa sampai ke
lokasi karena jaraknya yang jauh.
Pengalaman ini
sempat kami rasakan saat tersesat jauh hingga ke perbatasan Aceh Tenggara.
Adanya plang petunjuk jalan akan membantu pengunjung yang pertama sekali ke
Agusen. Kemudian secara akses jalan cukup baik, namun pengemudi harus hati-hati
karena jalan relatif sempit. Semua terbayar dengan pemandangan yang
menakjubkan.
Potensi yang
bisa dikembangkan dari masyarakat Agusen
Potensi ekowisata
tidak hanya fokus pada pembangunan alam dan lokasi wisata semata, namun juga
masyarakatnya. Berbagai program digalakkan, ada sejumlah potensi yang sedang
dijalankan dan pastinya akan sangat baik buat Agusen di masa depan. Apa sajakah
itu:
Pelatihan
berbahasa, Datangnya turis dari dalam dan
mancanegara seakan dibutuhkan komunikasi yang baik. Tugas ini diemban dengan
baik oleh para pemandu wisata. Mereka sebaiknya datang dari masyarakat
setempat. Salah satu caranya dengan pelatihan berbahasa asing (Bahasa Inggris).
Anak-anak setempat sudah mulai dikenalkan pada kosa kata, ejaan, dan buku
Bahasa Inggris.
Tujuan utamanya
adalah menjadikan Agusen sebagai desa Inggris yang ramah turis. Dukungan itu
bukan isapan jempol semata, ialah dengan menggaet guru-guru yang punya
kemampuan mumpuni dalam mengajar berbahasa Inggris.
Desa cagar
budaya, Tarian Saman dianggap telah
mendarah daging oleh masyarakat Gayo Lues. Sejak kecil anak-anak Gayo sudah
sangat akrab dengan Tari Saman, mereka berlatih latihan gerak dan syair dengan
rutin setiap harinya.
Terbukti bahkan
Tarian Saman yang dilaksanakan tahun 2017 berhasil memecahkan rekor dengan
melihat 12.262 ribu penari. Jangan heran setiap gerakan punya makna filosofi
mendalam khususnya kearifan lokal budaya dan alam setempat.
Komoditi
unggulan, Begitu banyak komoditi berharga di Agusen, di
mulai dari kopi, serai wangi, hingga cabai dan tobat. Mudahnya akses akan
membantu masyarakat dan tidak sulit dalam menjual hasil alam mereka. Untuk
komoditas kopi dan serai wangi, sudah terkenal hingga mancanegara.
Salah satu
bukti adalah kopi Agusen jenis Arabica punya cita rasa yang kuat dan
mampu menarik minat saat festival kopi di Toronto,USA. Kini kopi Agusen bukan
hanya dijual eceran di warung-warung warga, tetapi sudah menjadi bahan baku coffee
shop di Kota Blangkejeren. Salah satunya adalah coffe shop bernama
Blower yang memasuk beragam jenis kopi khas Agusen sebagai bahan baku mereka.
Itulah sejumlah pengalaman tak terlupakan saat di Agusen, desa di
bawah kaki Gunung Leuser yang menyimpan sejuta cerita. Perjalanan singkat namun
sangat sulit dilupakan, semua ini jadi pengalaman tak terlupakan.
Yuk liburan ke Agusen dan rasakan pengalaman menarik selama di sana.
0 komentar:
Post a Comment