Pantai, lokasi yang begitu lekat dalam hidup saya. Puluhan tahun hidup
menjadi anak pesisir, badan lengket dengan pasir laut. Berlarian di pinggir
pantai, bermain sepak bola pantai yang kadang buat mata kelilipan. Setelah
kotor dan berkeringat, saatnya nyemplung bersama-sama di air laut.
Terombang-ambing dibawa ke sana kemari oleh pecahan gelombang.
Matahari mulai ada di ujung tepi, perlahan beranjak tenggelam. Itu tanda pulang
alam sebelum ibu mencari dan meneriaki kami pulang ke rumah.
Bertambah jumlah penduduk di sekitar pesisir pantai dan nilai jual
pantai yang menawarkan angin seakan mempersempit lokasi bermain bola. Pantai
tak selapang dulu, ia mulai padat dengan aktivitas manusia. Bak pasar malam
sesaknya, pedagang datang ke sana. Animo pengunjung jadi lapang para pedagang,
tumpukan sampah menimbun di setiap pojokan pantai. Bau menyengat seakan menusuk
hidung andai melintas di sana.
Kaki lincah kaki harus berhati-hati, lapangan bola pasir kami kini
dipenuhi ranjau yang siap melukai kaki. Bisa saja lidi, pecahan beli, hingga
kaleng karat. Makin pelit lagi masyarakat pesisir yang membuat hajatnya di
tumpukan pasir. Bak kucing yang menggali tumpukan pasir untuk melepas hajatnya.
Siramannya datang dari gelombang pasang pagi atau siang.
Tahun 2004, tepatnya 26 Desember jadi hari yang pilu. Tsunami
dahsyat meluluh lantak desa kami. Di awali gempa yang cukup dahsyat dan air bah
menerjang tanpa ampun, bak pembalasan mengotori pantai. Ulah manusia yang
mencemari pantai dengan aktivitas digantikan dengan pukul balik jauh ke
daratan, menyapu tanpa sisa pesisir.
Saya dan keluarga beruntung jadi orang yang selamat dalam musibah dahsyat
tersebut. Terombang-ambing hingga akhirnya terselamatkan oleh tumpukan puing-puing bangunan tinggi. Menjadi
saksi bencana besar abad ini. Setelah bencana besar itu kami pun harus pindah
dari desa yang dekat pesisir, pindah jauh dari bibir pantai. Trauma dan tidak
layaknya lokasi tinggal seakan tak ada pilihan lain lagi untuk pindah.
Saya seakan tidak pernah lepas laut dan pantai. Menjelang tamat
sekolah, saya bisa perguruan tinggi saya memilih jurusan ilmu kelautan yang ada
di Kota Banda Aceh. Jurusan yang pastinya bersinggungan dengan dunia laut, dari
pesisir hingga lalu dalam yang hanya bisa ditembusi sinar sonar.
Ada pelajaran mata kuliah renang dan selam, mata kuliah wajib yang
menguras tenaga di tengah terik matahari. Belum lagi praktikum yang umumnya di
pesisir dan laut, seakan dunia laut sangat tidak asing. Mungkin pergi ke laut
dan pantai jadi rutinitas bak minum obat.
Pengalaman itu seakan membuat saya tahu banyak pantai yang ada di
Aceh khususnya di daerah Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Aktivitas yang ada
di pantai umumnya sebagai lokasi wisata, tak jarang lokasi perumahan warga.
Setelah bencana tsunami 15 tahun silam, aktivitas, aktivitas di pesisir kembali
pulih.
Masyarakat mulai kembali membangun rumah, lokasi wisata, dan seakan
tidak pernah terjadi bencana. Otomatis dengan meningkatnya aktivitas masyarakat
di pesisir ada banyak sampah yang dihasilkan. Sampah yang dihasilkan beragam,
mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah wisata. Pemerintah sudah punya
segudang cara mengurangi sampah, salah satunya dengan menyediakan begitu banyak
tong sampah. Semua percuma karena masih rendahnya kesadaran masyarakat.
Pantai Ulee Lheu Identik dengan Wisata Khas Pelabuhan
Aura Pantai Ulee Lheu identik sebagai lokasi wisata pantai yang
menawarkan pemandangan pantai. Memperlihatkan jajaran pulau terluar tanah air,
salah satunya Pulau Sabang. Di lokasi jelang petang begitu banyak pedagang yang
berjualan, bak magnet yang menggoda. Melihat Pulau Sabang dari kejauhan sembari
menunggu matahari tenggelam di ufuknya.
Kegiatan mata kuliah renang sering kami lakukan pada Hari Sabtu dan
Minggu. Prosesnya melibatkan banyak asisten dari mahasiswa kelas. Setelah
kegiatan selesai, kami punya tugas yang tak kalah penting yaitu membersihkan
sampah yang tercecer di pinggir pantai.
Itu adalah pelajaran wajib kampus yakni renang untuk semester awal
dan selam di semester selanjutnya. Lokasi kami latihan berada di pantai Ulee
Lheu yang terkenal, saat pemanasan. Ada begitu banyak sampai yang ditemukan di
sekitar lokasi. Mulai dari sampah plastik, hingga lidi tusuk, dan ampas jagung.
Paling sulit terurai jelas sampah plastik. Akan tetapi lidi tusuk sangat
berbahaya bila tertusuk di kaki.
Pagi harinya ada begitu banyak sampah yang tersisa, memang pedagang
diharuskan membersihkan sampah hasil jualan merek, namun tetap saja yang
dibiarkan. Saat kami menyelam menggunakan snorkling, ada banyak sampah
yang tenggelam di dasar laut akibat ulah pengunjung.
Kegiatan sukarela itu kami lakukan sebagai wujud cinta laut dan
jangan sampai laut rusak oleh sampah manusia. Kalau sudah rusak, anak cucu
tidak bisa melihat kembali hamparan pantai indah. Malahan hamparan sampah yang
menggunung.
Menyelamatkan Laut dari hal Terkecil
Masih segar ingatan kita akan matinya Paus Sperma di sebuah pantai di
Wakatobi. Tubuhnya yang lemah, tak ada pilihan lain kecuali mencari perairan
dangkal. Sebelum harus merenggang nyawa. Ada fakta yang mengejutkan, karena ikan
paus tersebut menelan begitu beragam jenis sampah plastik di lambungnya.
Total ada 5,9 kilogram yang berhasil dihimpun oleh peneliti dalam
lambung Ikan Paus. Ada sebanyak 750 gram sampah plastik, plastik keras 1440
gram, botol plastik 150 gram, kantong plastik 260 gram, serpihan kayu 740 gram,
sandal jepit 270 gram, karung nilon 200 gram, tali rafia 3.260 gram (lebih dari
1.000 potong).
Jumlah itu baru ditemukan pada satu hewan laut saja, mungkin ada
banyak hewan laut serupa yang tubuhnya sudah teracuni sampah. Menyusul Paus Sperma malang tersebut, merenggang nyawa dari sampah laut yang tak bisa diurai organ
pencernaannya. Sampah plastik sering dianggap sebagai makanan sejumlah hewan
saat terpapar sinar matahari.
Posisinya yang umumnya mengambang di atas permukaan air kerap
menjebak hewan malang. Mereka mengira itu kumpulan plankton atau bahkan
ubur-ubur. Kita harus mencegah dan itu semua dari niat mengurangi limbah sampai
ke laut.
Peugle Pasie, Cara Membersihkan Pantai Secara Sukarela
Setiap perjalanan ke sejumlah lokasi pantai, saya dan teman-teman
punya program untuk membersihkan semampu kami. Mengurangi keringat sekaligus
bisa mengurangi dampak sampah pesisir. Melalui program Peugleh Pasie
(Bahasa Aceh) yang dalam Bahasa Indonesia artinya membersihkan pantai secara sukarela.
Para pecinta lingkungan yang ada di Aceh melibatkan berbagai elemen
mulai dari mahasiswa, masyarakat, dan relawan punya ide unik. Berwisata sambil
membersihkan pesisir pantai, sekaligus berolahraga. Kegiatan yang dilakukan
secara berkelompok ini sangat membantu kerja tim dan punya banyak kenalan baru.
Kegiatan seperti ini sangat rutin dilakukan setiap bulannya,
memilih berbagai pantai yang terkenal dengan jumlah pengunjungnya. Budaya
masyarakat yang masih rendah akan sampah membuat mereka rela buang sampah
sembarangan. Tugas memberikan sampah hanya pada pengelola saja.
Adanya kegiatan tersebut seakan mendorong masyarakat yang sedang
berwisata terdorong untuk membersihkan sampah yang mereka bawa. Hari yang
dipilih pun adalah akhir pekan, waktu yang paling tepat karena animo masyarakat
berlibur ke tempat wisata.
Sekaligus memberikan sosialisasi bahaya sampai, sebuah sampah yang
dibuang bebas di alam punya proses larut berbeda. Saya pun mencontohnya sampah organik
yang paling ditemukan di pantai seperti sampah sayuran, buah kepala, lidi tusuk
dan kertas. Butuh waktu larut dan hancur di dalam tanah mulai hitungan hari
sampai minggu. Paling lama adalah sebulan karena ukurannya yang besar.
Beda lainnya dengan sampah anorganik, misalnya saja kantong plastik
butuh waktu 12 tahun untuk terurai sedangkan botol plastik lebih dari 20 tahun.
Alasannya karena kandungan polimer yang ada di dalam botol lebih kompleks
dihancurkan alam.
Paling berbahaya adalah styrofoam, bahan yang paling
digunakan untuk membungkus makanan (sekarang mulai dilarang). Butuh waktu lebih
dari 500 tahun untuk bisa hancur sempurna di dalam alam. Artinya, sejak pertama
sekali styrofoam ditemukan di tahun 1947 belum ada yang larut sempurna
di dalam tanah dan air. Ayo hilangkan kebiasaan membuang sampah organik di
alam.
Teknik Ecobrick yang Memanfaat Volume
Saat aksi Peugleh Pasie yang kami menggunakan kantung
plastik yang berukuran sangat besar, tak jarang kantung plastik ini tidak
efisien. Bisa saja pecah dan bahkan sampah yang sudah dikutip tumpah. Proses
membawanya juga sulit, untuk area yang sangat luas.
Menggunakan plastik hitam besar yang mampu menampung dan menyaring
sampah berukuran besar sekalipun. Kemudian sampah diangkut ke truk sampah yang
membawa tumpukan plastik ke tempat penampungan akhir.
Sempat terbesit di dalam pikir saya setelah mengetahui teknologi
kekinian memanfaatkan sampai jadi benda berharga. Kebanyakan sampah plastik
yang paling sering lahir dari botol plastik dan kantong plastik. Minuman yang
sudah habis diminum dibuang saja, menjadi barang tak bernilai.
Tak jarang para pemulung memungut tumpukan sampah tersebut untuk
nantinya dijadikan bahan sintesis olahan berikutnya. Sangat jarang sampah yang
menjadi barang seni yang punya nilai estetika tinggi.
Cara yang baru saya kenal adalah pengembangan Ecobrick, teknik yang
bisa menjadikan barang sampah seperti botol jadi barang berharga. Sampah yang
sudah dikumpulkan tidak harus berakhir di tempat penampungan sampah tapi
mengubahnya jadi bernilai.
Nah.. cara pengembangnya cukup mudah, hanya dengan memasukkan
tumpukan plastik seperti plastik, bungkusan permen ke dalam plastik hingga
padat. Rongga botol plastik akan kuat dan bisa dimanfaatkan jadi berbagai
benda. Coba dibayangkan ada banyak botol plastik, akan banyak ide yang lahir
dari tumpukan botol plastik padat itu.
female network |
Meskipun butuh usaha ekstra memasukkan tumpukan plastik ke dalam
botol setelah mengutipnya di pantai. Hasilnya terbalaskan dari kerajinan tangan
yang dihasilkan. Apalagi zat buang sampah menghasilkan begitu banyak
karbondioksida yang tertahan di atmosfer bumi.
Perubahan iklim salah satu efek dari banyaknya sampah yang
menghasilkan karbondioksida di udara. Dalam menerapkan, teknik Ecobrick mampu
mengurangi buangan sampah tadi dalam rongga botol. Nantinya ia tertahan di dalam kungkungan botol
plastik yang memiliki manfaat beragam untuk manusia.
Apa yang ingin saya buat dari Ecobrick
Melihat inovasi menarik yang bisa dilakukan dari Ecobrick, saya kepincut dan punya
segudang ide yang bisa dilakukan serupa. Mungkin tak asing saat
melihat botol Ecobrick menjadi bahan baku untuk furnitur, barang dekorasi hingga
rakit kecil.
Ada banyak ide yang ingin saya terapkan dalam program salah satunya Ecobrick. Puluhan hingga ratusan botol tadi ingin saya ubah jadi bahan baku
membangun rumah sebagai pengganti batu bata. Alasan utama yang mendasar karena
daerah saya tinggal yaitu Aceh sangat rentan dengan gempa.
Tak jarang gempa renggut nyawa pemilik dari reruntuhan bangunan
yang menimpa korban. Ada banyak sejarah gempa besar yang terjadi dalam 15 tahun
terakhir, mulai dari skala 6 Skala Richter hingga mencapai 9 Skala Richter.
Botol-botol Ecobrick nantinya akan disulap sedemikian sebagai dinding, beratnya
yang lebih ringan dari batako dan batu bata akan mengurangi efek cedera akibat
reruntuhan.
Sumber:spot.ph |
Akan ada nilai estetika dari setiap botol Ecobrick yang
berwarna-warni. Jadi setiap dinding akan mencolok dari warna tutup botol dan
isi botolnya. Jadi kita tidak harus memplaster bagian rumah karena ada nilai
estetika tersebut. Secara kalkulasi, biaya dari batu bata mampu ditekan dari
susunan botol tersebut. Ada satu alasan mengapa rumah dari botol Ecobrick jadi
sebuah pilihan, karena mampu menyerap panas saat suhu ekstrem tanpa harus
penghuninya merasakan panas tersebut.
Pilihan lainnya yang ingin saya kembangkan adalah dengan membuat
rak buku dari bahan-bahan Ecobrick. Ada banyak buku yang saya milik tergeletak
begitu saja ada tempat yang cocok. Saya pun ingin membuat kumpulan Ecobrick
dengan bentuk fleksibel yang ada di dinding kamar. Akan banyak buku yang muat
dan tidak perlu lagi membeli rak buku.
ecobrick.org |
Terakhir ide yang ingin saya terapkan dari bahan Ecobrick
adalah menjadikan botol sebagai hiasan di meja. Ukuran dari beragam botol
produk akan dihiasi dengan cat warna-warna. Buat suasana meja belajar jadi
lebih hidup.
Pekerjaan saya lekat dengan komputer seakan mengharuskan banyak
ide, ruangan setup meja desktop yang bervariasi dengan hiasan akan melahirkan
ide. Tak perlu harus beli bunga buatan atau memajang barang hiasan mewah. Cukup
dengan beberapa botol Ecobrick yang warna-warni. Pikiran yang buntu ide,
mendadak banjir ide saat melihat warna-warni penghias meja setup desktop.
Itulah sejumlah ide yang ini saya terapkan dari masalah sampah,
memberdayakan barang yang tidak berharga jadi barang bernilai seni tinggi.
Ecobrick jadi pilihan terbaik dan melatih jiwa kreatif dan cinta lingkungan, sekaligus memberdayakan
masyarakat pada limbah plastik.
Semoga saja postingan ini menginspirasi kita semua dan Have a Nice
Day
0 komentar:
Post a Comment