Minggu ini jadi minggu yang tak terlupakan
oleh semua pihak, mulai dari kerusuhan yang merenggut korban jiwa hingga pembatasan
layanan platform sosial media. Platform kenamaan seperti Facebook, WhatsApp,
dan Instagram. Keputusan itu bulat diambil oleh pemerintah di bawah Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai motor penggerak utama.
Alasan keputusan tersebut diambil adalah
karena menghindari peredaran hoaks baik dalam berupa konten teks, gambar
hingga video. Hingga kondisi benar-benar kondusif setelah huru-hara yang
terjadi beberapa hari silam. Dampaknya sangat terasa karena ketiga platform
tersebut sangat akrab dengan masyarakat Indonesia.
Bisa dibayangkan bagaimana resahnya sang ibu
saat ia tidak mendapat balasan chat anaknya di rantau sana atau para istri yang
menunggu kabar suaminya pulang. Sosial media bak penyambung lidah dan penyambung
rindu buat kebanyakan orang, ada juga penghubung rezeki buat para konten
kreator yang menunggu balasan klien.
Bila mengalami gangguan server atau jaringan
dibatasi, jelas banyak pihak yang dirugikan di jagat digital. Apalagi dengan
dalih konyol seperti ada pihak yang dianggap pemerintah menyebarkan berita
hoaks hingga aksi yang tidak dibenarkan secara hukum.
Satu sisi baik karena bisa menekan penyebaran
tersebut tapi di sisi lainnya mampu menghambat komunikasi hingga menghambat
roda ekonomi. Efeknya bersifat domino karena di era Industri 4.0, peran digital
dan sosial media jadi tonggak perubahan besar.
Pemblokiran dan pembatasan bukan hal baru di
jagat internet
Mari kita putar kembali beberapa tahun lalu saat
sejumlah platform menjadi korban pemblokiran. Alasannya karena ditemukan
mengandung konten pornografi dan tidak senonoh yang bisa merusak generasi muda
hingga faktor lainnya. Alhasil nama seperti Vimeo, Reddit hingga Tumblr (kini sudah
dibuka blokirnya) harus rela tidak bisa diakses secara normal setelah
pemblokiran tersebut.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
menurut saya sangat protektif terhadap platform yang dinilai berpotensi
mengandung konten hoaks. Memang niatan pemerintah sangat bagus khususnya
memerangi hoaks dan memprovokasi masyarakat, meskipun terkesan berlebihan dan
tak masuk akal.
Hanya karena sebuah media mengandung konten
pornografi, semua postingan baik lainnya dianggap sama. Ibarat gara-gara nila
setitik, rusak susu sebelanga. Bisa saja akan banyak konten kreator yang harus
kehilangan wadah berkreasi karena media yang ia gunakan tidak bisa lagi diakses
secara normal.
Di jajaran platform ada nama Reddit dan Vimeo
yang pernah menjadi korban pemblokiran oleh pemerintah beberapa tahun silam.
Situs tersebut dianggap pernah menampilkan konten berbau pornografi dan
pemerintah melalui Kominfo mengambil tindakan tegas dengan memblokirnya.
Padahal semua platform di internet punya konten pornografi yang bisa diakses
siapa saja.
Memblokir sebuah media bukan cara bijak
mengambil langkah, tapi mendidik bagaimana user di platform tersebut menggunakan media
tersebut dengan bijak.
Memang saat ini pemerintah sudah menyaring
sejumlah konten yang mengandung pornografi, perjudian, hingga hoaks dengan
membeli mesin filter khusus. Tetap saja konten itu bisa ditemukan dan diakses
dengan mudah. Ini semua bukan salah platformnya, tapi salah penggunanya yang
tidak tepat menggunakannya. Tujuan semua platform baik, tapi selalu ada celah
buat melawan hukum di dalamnya.
Apa sih Reddit dan Vimeo tersebut?
Konsep Reddit serupa dengan forum berbagi
segala informasi mirip dengan Kaskus atau Kompasiana di tanah air. Anda bisa
menemukan begitu banyak pengetahuan yang dibagikan penggunanya di Reddit dari
berbagai Bahasa termasuk Bahasa Indonesia sendiri. Namun hanya karena nila
setitik dari pengguna yang menyebarkan konten pornografi, Reddit diblokir
hingga saat ini tidak bisa diakses sampai saat ini.
Nama lainnya ada Vimeo, berupa platform video
sharring menyerupai YouTube. Anda bisa melihat sejumlah video menarik yang
kadang tidak dibagikan di Youtube ada di Vimeo. Namun karena dianggap
melanggar, nasib Vimeo tak jauh berbeda dengan Reddit. Hingga kini tidak bisa
diakses lagi.
Para konten kreator yang bermain di media
tersebut jelas gigit jari, konten yang menarik dan informatif sepi pengunjung.
Pemblokiran membuat viewer dari tanah air jadi sedikit. Memang banyak cara mengakali dengan
menggunakan Virtual Private Network (VPN) hingga mengubah kode DNS (Domain Name
System). Hanya saja, media atau platform yang digunakan para konten kreator di
sana harus kehilangan pengunjung dari tanah air.
Namun tetap saja itu ilegal, bagi pengguna
internet pemula seakan kehilangan media sosial tepat ia berselancar atau bahkan
berkarya di platform tersebut. Meskipun bisa diakali, akan banyak yang tidak
tahu mengaksesnya hingga mereka malas atau tak mau repot datang ke sana harus
mengganti DNS atau menggunakan VPN.
Para investor dan konten kreator harus mundur
berkarya di platform tersebut karena sudah pasti tidak menguntungkan lagi.
Mereka menganggap pemerintah lebih bertujuan mencari konten yang tidak baik
salah satunya pornografi namun mengabaikan begitu banyak konten baik di sebuah
platform.
Bila ditarik garis lurus, hampir semua
platform punya konten seperti itu, namun kini bukan memblokir platform tersebut
tetapi mendidik penggunanya jadi smart user. Padahal bila dirunut semua
media punya konten visual atau audio tersebut hingga mesin pencari Google bisa
menemukan konten tersebut.
Nah… ibarat tindakan preventif dalam menangani
sebuah studi kasus. bukan medianya yang dibatasi hingga diblokir. Tapi
bagaimana menciptakan smart user yang melek teknologi dan menggunakan
dengan cara yang benar.
Seberapa besar Pangsa Pengguna
Facebook-WhatsApp- Instagram di Indonesia?
Saat ini ketiga platform tersebut jadi media sosial
yang paling besar digunakan di dunia termasuk di Indonesia. Kini mereka menjadi
satu direksi setelah akuisisi yang dilakukan oleh Facebook beberapa tahun lalu.
Kedua platform tersebut seakan jadi lumbung uang buat Facebook sendiri,
mengingat kini pengguna Facebook turun jauh dan bahkan kalah dengan platform
akuisisi miliknya.
Dimulai dari Instagram di tahun 2012 yang kala
itu dianggap sangat fenomena dan menjadi pesaing Flickr punya Microsoft. Dana
sebesar US$ 1 Miliar jadi mahar yang dibayarkan Facebook pada akuisisi tersebut.
Si Founder Instagram, Kevin Systrom dan koleganya Mike Krieger mendadak jadi sultan setelah akuisisi tersebut. Kini Instagram jadi media paling tinggi
pertumbuhan penggunanya.
Tak berhenti di situ, Facebook kemudian
mengakuisisi salah satu Instan Messaging besar yang sedang tumbuh, WhatsApp
dengan harga menggiurkan yaitu US$ 14 Miliar. Jan Koum kecipratan hasil akuisisi tersebut dan kini tidak berada lagi di direksi WhatsApp sama dengan Kevin
Systrom. Kekuasaan penuh mentok dipegang oleh Facebook oleh CEO-nya Mark
Zuckerberg.
Alhasil bisa dilihat kini semua fitur yang
dimiliki ketiganya sangat identik, hanya berbeda dari tampilan warna saja. Bahkan
di masa depan akan menawarkan koneksi lintas platform. Efeknya juga menghampiri,
ketiganya akan sering mengalami masalah yang identik, Seperti salah satunya
layanannya tumbang (down) baik itu gangguan server global atau lokal,
ketiganya akan tumbang dalam waktu bersamaan.
Salah satu yang mengganggu adalah Facebook
tunduk pada pemerintah di sebuah negara termasuk pemerintah Indonesia. Sehingga
akses layanan bisa kapan saja bisa dibatasi, bahkan obrolan privasi antar pengguna.
Bagi saya tak salah, karena setiap platform harus mengikuti aturan main sebuah
negara termasuk membeberkan data privasi pengguna yang dianggap mengancam. Tapi
tidak harus mengorbankan dan bahkan mencurigai semua orang, karena semua
manusia punya batas privasinya termasuk di dunia maya.
Mungkin kita pernah mendengar kasus Cambridge
Analytica yang mengguncang negeri Paman Sam beberapa tahun lalu. Inilah
awal noda hitam bahkan Facebook tidak lihat menjaga data penggunanya. Skandal
bocornya data pengguna Facebook berawal dari bocornya aplikasi pihak ketiga
yang sering berseliweran di Timeline Anda. Semua itu berawal di tahun 2014,
seorang peneliti bernama Aleksandr Kogan membuat aplikasi bernama This is My
Digital Life. Aplikasi seperti kuis-kuis Facebook ini tidak hanya mengambil
data 270 ribu data penggunanya saja, akan tetapi mengambil data teman-teman si
pengguna tanpa perlu meminta izin.
Inilah yang menjadi alasan bocornya 50 juta
pengguna Facebook dan 1,26% datang dari Indonesia. Data yang bocor sebanyak itu
kemudian digunakan oleh Cambridge Analytica untuk membantu kampanye
Donald Trump. Tujuan utamanya menyebarkan konten-konten yang tepat kepada
penduduk USA dan global sesuai data pribadi yang mereka dapatkan. Supaya nantinya
mereka memberikan hak pilih Trump di tahun 2016 silam. Hasilnya Trump menang
secara mengejutkan dan mengalahkan kandidat tunggal Partai Demokrat, Hillary
Clinton.
Analogi sederhananya seperti ini..
Seseorang pria rahasia mengagumi seorang wanita
di dunia maya berawal dari begitu cantiknya wanita tersebut. Alhasil ia berupa
sekuat tenaga mencari tahu informasi si wanita serta segala tindak tanduknya di
dunia maya. Mulai dari temannya, percakapannya, hobi, dan kegemarannya. Mungkin
si wanita tidak sadar bahwa di luar sana ada orang yang mencuri fotonya,
mengoleksi videonya, lokasi nongkrongnya hingga mengetahui alamat rumahnya.
Hingga akhirnya si lelaki misterius bisa
mengirim bunga atau makanan kesukaannya supaya si wanita bisa tertarik dengannya.
Hingga akhirnya ia mengajak kopi darat sebagai bukti cinta. Jelas ini sesuatu
yang sangat risih dan mengganggu bagi seorang wanita. Orang asing yang
tiba-tiba datang, tahu segalanya dan seakan mengganggu privasi. Memang bisa
jadi lelaki misterius itu mencinta secara tulus, tetapi ini sudah melanggar
batas privasi di dunia maya.
Hampir sama dengan kasus Cambridge Anaytica,
bisa saja banyak pengguna Facebook yang digunakan datanya mendukung Trump.
Namun cara yang mereka gunakan salah karena melanggar privasi pengguna. Korban
akan terganggu dari awalnya suka malah menjadi benci karena aksi menguntit yang
terlewat batas.
Akibat kasus lawas tersebut, Facebook
kehilangan kepercayaan dan belum lagi Facebook dan WhatsApp dianggap sebagai
media yang paling sering digunakan menyebarkan hoaks. Pelarangan di sejumlah
negara jadi alasan termasuk pembatasan karena proses penyebarannya menggunakan
media sangat cepat.
Mengapa hanya WhatsApp, Facebook, dan
Instagram saja?
Ada banyak aplikasi dan mengapa hanya menitik
berat ketiga platform tersebut? Alasan utama karena literasi digital dari
masyarakat yang sangat rendah dan kaitannya dengan kemampuan baca masyarakat
kita. Jadi semakin mendukung karena ketiga platform ini punya penyebaran yang
sangat cepat, tanpa saring sebelum sharing berakibat konten hoaks
berkembang dengan cepat.
Pengguna yang punya literasi rendah sangat
berpengaruh apalagi kondisi genting kemarin, hanya dari sebuah postingan yang
hanya dibaca judul, screen shot gambar, atau video. Tanpa berpikir
panjang apakah ini benar atau tidak, bahkan layak dikonsumsi oleh orang lain.
Alhasil hoaks berkembang dengan cepat dan bisa memancing kekhawatiran hingga pecahnya
huru-hara
Kemudian karena algoritma Facebook yang buruk,
kini mereka mencoba memperbaikinya. Kasus kebocoran data hingga media penyebar
hoaks sering dialamatkan pada Facebook. Kini mereka mulai berbenah dengan
memperbaiki algoritma, meskipun masih setengah matang dan butuh banyak
pengujian.
Instagram juga pun mengacu pada algoritma yang
digunakan Facebook yang rentan menyebarkan hoaks. Akibat itulah, pemerintah
mengambil langkah tegas dengan membatasi Facebook dan platform yang berada di
bawahnya (WhatsApp dan Instagram). Dibandingkan membiarkan dan punya dampak
yang sangat luas.
Apalagi berdasarkan data dari WeAreSocial,
WhatsApp, Facebook, dan Instagram jadi media paling sering digunakan di
Indonesia masing-masing di posisi, 2, 3, dan 4. Hanya kalah dari Youtube saja
di posisi puncak. Itu wajar banyak yang kelabakan karena ketiga media ini yang
paling sering dibuka saat proses online.
Untuk peluang bisnis pun seperti itu, saat ini
sudah ada 150 juta pengguna tanah air yang terpapar akses internet dan sebagian
besar terganggu karena pembatasan tersebut. Bahkan dari setiap pengguna,
minimal punya satu aplikasi yang dibatasi oleh pemerintah tersebut. Kegiatan
yang dilakukan pun beragam, mulai dari 96% mengirim pesan, 95% menonton video,
83% bermain game hingga 61% untuk aplikasi mobile banking.
Ada aspek bisnis dan ekonomi yang terganggu,
terlepas lebih banyak aspek komunikasi dan hiburan. Mungkin saja, aspek hiburan
bisa berkurang karena pembatasan tersebut. Namun itu jadi kendala besar kalau
itu sudah berhubungan dengan komunikasi dan transaksi.
Baiknya, hanya ketiga platform tersebut yang
mengalami pembatasan, sedangkan akses bisnis berita hingga hiburan tidak (salah
satunya Youtube). Jadi tidak terlalu dipusingkan, alih-alih bisa mengurangi
toxic dari sosial media dan berita hoaks yang mempermainkan emosi serta
pikiran.
Mengapa YouTube dan Twitter tidak dibatasi?
Sebagai platform berbagi video terbesar di dunia, YouTube dianggap bisa menyebarkan video dengan cepat dan ditonton dengan
penonton yang relatif besar. Apalagi kini ia menjadi platform paling banyak
diakses pengguna di Indonesia.
Tapi ia punya algoritma yang berbeda dengan
Facebook dan mengacu pada algoritma Google. Selain itu, setiap video yang
melanggar dan punya tingkat kekerasan akan langsung di Take Down oleh
pihak Google. Jadi tidak sampai viral dan bahkan ditonton oleh jutaan orang.
Sekarang bagaimana dengan Twitter, Trending
Topic-nya jadi santapan renyah di sana dan paling update. Mengapa
pemerintah tidak membatasinya atau bahkan memblokir sejenak?
Alasan menurut saya beragam, mulai dari
Twitter yang tidak bekerja sama dengan pemerintah Indonesia hingga jumlah
penggunanya yang tak sebesar Trio Skuad Milik Facebook, yaitu diperingkat 6. Umumnya
pengguna yang ada di Twitter berusia lebih dewasa dan punya kemampuan literasi
yang sedikit lebih tinggi.
Menurut data WeAreSocial, pengguna Twitter Indonesia yang
aktif hanya ada di angka 6,43 juta. Tidak sebesar platform lainnya. Otomatis
pemerintah menanggap penyebaran berita hoaks antar pengguna tidak terlalu masif
dan berbahaya. Apalagi Twitter tidak diakses oleh semua orang dan hanya
kalangan tertentu yang masih setia dengan platform tersebut.
Ke depan yang saya baca, Facebook akan
menggunakan algoritma baru termasuk menggunakan AIS (Artificial
Intelelligence System) berbasis Machine Learning dalam mempelajari
kata yang masuk. Bila tidak, siap-siap saja akan banyak pengguna yang beralih
ke platform tetangga.
Wah… Saya bisa berbisnis dan berkomunikasi
menggunakan platform tersebut, jelas bisnis saya terganggu?
Memang ada konten kreator, Buzzer hingga
pelaku bisnis yang menjadi korban. Mau tak mau mereka harus mencari jalan tikus
untuk bisa mengirim foto atau gambar di platform tersebut. Ada sejumlah cara
yang dilakukan, salah satunya melalui DNS dan VPN.
Harus diingat ya… pemerintah hanya membatasi
tiga platform dalam beberapa hari hingga kondisi kondusif. Pemerintah pun tahu
masyarakatnya mengakses via VPN dan DNS, tapi tidak semua masyarakat tahu
caranya karena kembali ke poin sebelumnya yaitu rendahnya literasi digital dan
niat mencari tahu.
Tujuan akhir dari DNS dan VPN hampir serupa
yaitu bertugas menembus layanan ISP. Tapi cara kerjanya sedikit berbeda. Misalnya
saja DNS punya peran dalam mencari IP address berdasarkan pada domain/URL yang
dimasukkan pengguna seperti layaknya buku telepon. Otomatis prosesnya jadi
lebih cepat tanpa membutuhkan server luar.
Beda halnya dengan VPN yang bertujuan
melakukan proses enskripsi data yang kita kirim atau transmisikan ke sebuah
layanan/situs. Tak hanya itu saja, si penyedia membuat server perantara (proxy)
sehingga IP address yang digunakan adalah punya penyedia web server.
Sederhananya VPN menghubungkan internet yang
kita gunakan ke server negara lain, saat itulah kita mendapatkan identitas baru
berupa (IP Address). Seolah-olah kita nantinya berada di negara tersebut,
misalnya saja kita menggunakan IP address di Singapura, otomatis kita mengakses
situs yang tidak diblokir pada pemerintah tersebut.
Selain itu VPN menawarkan sebuah jalur
virtual, mereka menyebutnya dengan (tunneling) atau jalur koneksi ke proxy
sehingga dapat melakukan bypass secara virtual pada keseluruhan
infrastruktur. Apakah itu termasuk client dan proxy hingga server
dan DNS milik ISP. Tapi harus diperhatikan, jangan sering menghidup atau
mematikan VPN dalam waktu cepat, karena itu membuat IP address yang kita
gunakan diblokir. Proses log in akan memakan waktu lebih lama lagi.
Mana yang lebih baik dari keduanya?
Secara garis besar keduanya punya sisi positif
dan negatif, pada sisi positifnya adalah bisa mengakses situs atau melakukan
transfer data ke situs yang diblokir atau dibatasi oleh pemerintah. Sedangkan
sisi negatif adalah kesempatan buat VPN dan DNS abal-abal buat meraut untung.
Mulai dari pencurian data, mengirim malware hingga aksi siber lainnya.
Untuk itu, saya menyarankan untuk mempelajari
atau bertanya pada yang lebih ahli terhadap VPN dan DNS tertentu yang
digunakan. Misalnya saja melihat reputasinya, komentar pengguna setelah
menggunakan aplikasi tersebut, membaca dan memahami user agreement
sebelum proses instal atau pengubahan DNS. Serta bagi yang terlanjut kadung
cinta dengan VPN, bisa dengan menggunakan layanan premium. Selain lebih aman,
juga punya koneksi cepat di berbagai kota dan bahkan negara yang ingin Anda
gunakan servernya.
Bagaimana bila akses internet dibatasi dan
diatur pemerintah?
Saya mencoba berandai-andai bila Indonesia
melakukan pembatasan aplikasi internet dari luar negeri. Ada sejumlah negara
yang melakukan cara tersebut, umumnya mereka punya paham sosialis sehingga
negara punya peran besar dalam aktivitas warganya. Tiongkok, Korut, Vietnam
hingga Kuba melakukan hal seperti itu.
Negara yang paling besar dan maju dari keseluruhan pastinya Tiongkok, ia sudah mengembangkan dan punya arsitektur teknologi sangat baik,
berbeda dengan ketiga negara lainnya. Berbicara mengenai teknologi, Tiongkok
sangat maju dan punya segalanya. Mulai dari aplikasi sosial media dan mesin
pencari lokal. Urusan perangkat teknologi, mulai dari perangkap elektronik
seperti ponsel hingga layanan jaringan mereka punya.
Layanan miliki Google, sosial media kepunyaan
Facebook (WhatsApp dan Instagram) bahkan sampai penjualan iPhone sangat sulit ditemukan
di sana. Layanan yang masyarakat kenal seperti Weibo (menyerupai Facebook),
Wechat (menyerupai WhatsApp dan Instagram), Sina Weibo (menyerupai Twitter)
hingga QQ. Urusan hiburan dan mesin pencari, sudah ada Youku Tudo (menyerupai
Youtube) dan tentu saja Baidu Tieba selaku Google Made in Tiongkok.
Andai saja hal serupa terjadi di Indonesia,
pastinya berdampak ekonomi yang sangat besar di awalnya. Selain rugikan para
pengguna hingga konten kreator yang bermain di sana, sedangkan penyedia layanan
tersebut juga mengalami kerugian. Alasannya karena Indonesia bak lahan basah
dari pengguna layanan mereka. Saat itu baru 150 juta pengguna Indonesia yang
menggunakan internet, masih 40% pengguna lainnya belum tersentuh internet dan mendapatkan akses
internet secara kontinu.
Sisi lainnya bila internet Indonesia dibatasi
dari layanan asing berdampak pada layanan milik anak negeri. Mungkin saja ada
anak negeri yang membuat mesin pencari sendiri, instant messaging
sendiri hingga layanan musik dan video sendiri khas lokal.
Bila masih pengguna yang sulit beralih, VPN
dan DNS jadi pilihan meskipun harus rela mencari jalan jauh buat sebatas akses.
Tidak masalah karena kebebasan internet milik semuanya, asalkan tidak melanggar
hukum dan punya efek buruk bagi penggunanya.
Cara menjadi Smart User di jagat maya
Punya gadget dan akses terbatas tak menjamin seseorang
jadi smart user, tidak gampang terpancing dan dipolitisasi oleh pihak
tak bertanggung jawab. Alur penyebar berita hoaks yang sering terjadi
yaitu:
Iseng tak ada kerjaan > buat
berita hoaks > masyarakat percaya > masyarakat ikutan menyebarkan > si
penyebar terkenal dan punya banyak follower.
Banyak hal seperti yang sering terjadi dan dipercayai oleh khalayak orang.
Mencari keuntungan dari beragam berita hoaks yang meresahkan masyarakat.
Harusnya yang bikin berita hoaks dapat ganjarannya seperti ini:
Isengan tak ada kerjaan > bikin
berita heboh > masyarakat skeptis dan tak peduli > masyarakat mengadukan
ke pihak berwajib > si penyebar masuk bui
Cara ini dianggap tepat dalam memperlakukan pada pelaku hoaks, malah sanksi
tegas, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui UU ITE
(Informasi Teknologi Elektronik) pada pasal 28 ayat 1 dan 2. Bunyinya seperti
ini:
1.) Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian kepada konsumen dalam transaksi elektronik.
2.) Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golong (SARA).
Bila itu datang dari sahabat, kolega atau
bahkan Grup keluarga adalah menasihati. Serta tidak menyebarkan lagi berita
tersebut. Itu semua buat kebaikannya dan juga membuat sahabat atau kolega Anda
selamat dari pelaku penyebar hoaks.
Seandainya
saja terbukti itu berita hoaks yang tersebar sangat meresahkan orang lain.
Siap-siap saja pelaku harus mendekam di balik jeruji besi dengan hukuman
maksimal yakni 6 tahun dan denda maksimal adalah 1 Miliar. Pihak yang menerima
merasa dirugikan tak terima dan melaporkan ke pihak berwajib, malamnya pelaku
harus merasakan tidur di dinginnya lantai penjara.
Makanya
ada baiknya pikir-pikir dulu sebelum menyebarkan ke orang lain, karena
informasi yang gampang didapatkan kini membuat kita harus makin jeli menyaring
mana yang layak dibagikan dan mana yang layak dibuang.
Akhir
kata, memerangi hoaks itu dimulai dari bawah yaitu budaya akar rumput. Mulai dari
budaya literasi di jagat digital, budaya kritis dalam menanggapi setiap
informasi, budaya berdiskusi dengan pikiran sehat. Bila semuanya sudah tergapai
berhasil diterapkan, sudah pasti setiap individu akan skeptis terhadap hoaks
yang datang.
Semoga postingan ini menginspirasi kita semua
dan silakan komentarnya di kolom komentar.
0 komentar:
Post a Comment