Sinar bendera media cetak bahkan buku mulai
meredup, ia tak setenar di era sebelumnya. Sangat sulit melihat media cetak
saat ini, satu persatu beralih ke media digital. Nasibnya kini sudah berada di
penghujung jalan akibat disrupsi besar. Minat masyarakat sudah beralih ke
digital karena dianggap praktis dan mudah diakses.
Bacaan digital seperti e-reader, kini sudah
jadi model baru yang mengubah stigma dalam membaca. Tidak terpaku lagi dengan
buku atau majalah, media e-reader dianggap sebuah revolusi baru dalam
pengembangan arah baca. Membaca jadi lebih mudah, tidak harus membalikkan
halaman atau menenteng buku. Bahu pun tidak pegal karena memikul begitu banyak
beban di atas pundak.
Semua itu diawali dari gebrakan besar yang
dilakukan oleh Amazon, Perusahaan e-commerce. Raksasa asal Paman Sam tersebut
di bawah komando Jeff Bezos mengeluarkan produk unik bernama Kindle di
akhir tahun 2007 tepatnya pada tanggal 19 November. Waktu itulah adalah waktu
yang tepat setelah sebelumnya mereka hanya fokus menjual buku.
Keberhasilan dari iPod dan iTunes sebagai
produk andalan Apple seakan membuat Amazon mencoba inovasi termasuk membuat
bacaan menjadi digital juga. Salah satunya dengan merilis Kindle, khususnya
dalam mengubah cara membaca yang terlalu tradisional ke arah digital.
Amazon pun melakukan riset yang panjang hingga
akhirnya mengeluarkan produk andalannya, Kindle. Selain itu proses disrupsi dan
revolusi dari buku ke e-reader tidaklah semudah revolusi musik dari kaset/DVD.
Butuh proses panjang yang kini mulai dirasakan ke semua aspek masyarakat.
Bagi banyak orang buku fisik sangat sulit
digantikan dengan digital. Para pecinta buku pun tahu bagaimana bahagianya
mencium aroma buku baru, membolak-balikan halamannya hingga memberikan batasan sampai
mana bacaannya. Sembari berfoto sambil membaca buku dan diupload pada sosial
media.
Kemudian ia punya rak buku yang ada di rumah
jadi salah satu hal yang dibanggakan pemilik buku. Rak yang tinggi dengan
beragam buku tersusun rapi. Memang memakan tempat, tapi buku fisik jadi sebuah
penegasan pecinta buku dan terlihat seperti kutu buku.
Buku fisik kadang sering tidak tahu ke mana
hilang rimbanya, ia bisa saja dipinjam teman sampai tahunan tak pernah kembali.
Belum lagi ia rusak atau kadang tak tahu diletakkan di mana, permasalahan pelik
yang sering dialami pemilik buku. Ia seakan sering kehilangan kontrol terhadap
buku yang ia miliki, bisa saja ia tak pernah kembali ke raknya.
Disrupsi mulai terjadi, konsep minimalis dan
praktis sudah diterapkan banyak orang. Ia mungkin kini tak punya tumpukan buku
di atas meja atau berbagai buku di dalam tas. Hanya ada sebuah benda berukuran
persegi panjang nan pilih. Namanya e-reader, membuat semua yang ia baca kini
ada di dalam genggamannya.
Memang secara kemampuan dan daya serap
menggunakan bacaan fisik jauh lebih baik dibandingkan dengan e-reader. Selain
membuat mata lebih cepat lelah hingga pembiasaan yang jauh berbeda dengan buku
fisik. Kesannya bukan membaca sesuatu yang serius dan benda digital sangat
berbeda jauh dengan buku atau bahkan majalah dan komik.
Amazon memutar otak dan mencoba mempelajari
kelemahan mengapa orang malas membaca dengan e-reader. Salah satu alasannya
adalah paparan cahaya perangkat teknologi yang terlalu tinggi, tidak baik buat
mata dan membuat mata cepat lelah. Alasannya karena umumnya ponsel, tablet
hingga komputer menggunakan teknologi layar seperti LCD, IPS, OLED, dan Amoled.
Sedangkan Kindle menampikan layar tersebut
meskipun terlihat ketinggalan zaman, tapi karena pembaca buku ingin merasakan
membaca buku se-natural mungkin. Pilihan tersebut akhirnya jatuh pada teknologi
e-ink (eletronic ink) yang dikembangkan oleh MIT Media Labs di
tahun 1996 dan sering ditemukan pada ponsel dulu salah satunya adalah ponsel
Motorola Fone 3.
Meskipun sudah cukup usang karena diluncurkan
di tahun 2006, tapi layar e-ink sangat nyaman di mata dibandingkan dengan layar
LCD, Oled, dan layar tipe serupa. Itu karena layar e-ink tidak menghasilkan
cahaya biru dari saturasi warna yang dihasilkan sehingga akan mudah membuat
mata lelah. Warna dari e-ink yang dihasilkan adalah warna hitam dan putih saja
sama halnya kertas buku, ditambah lagi tidak memantulkan cahaya seperti tablet.
Teknologi e-ink yang tampil menawan
Teknologi yang digunakan oleh Amazon tergolong
unik yaitu e-ink, ia memiliki 2 bagian elektroda pada bagian atas dan bawah.
Pada elektroda bagian atas bersifat tembus karena bagian inilah yang mengatur
jumlah pigmen sehingga mampu menghasilkan karakter kata yang bisa dilihat
dengan mata.
Kemudian pada elektroda bagian bawah menjadi
background layar yang menjadi konsep dasar e-ink. Kedua pigmen dari layar
saling sinergis satu sama lain khususnya elektroda yang membutuhkan tegangan
dalam menghasilkan polarisasi. Alhasil pigmen hitam yang bermuatan positif
tertarik ke lapisan elektroda yang bermuatan negatif. Serta pigmen putih yang
bermuatan negatif akan tertarik pada lapisan elektroda yang bermuatan positif.
Kedua elektroda punya tegangan yang sangat
kecil dan hemat daya, sehingga ia bisa digunakan dalam jangka waktu lama tanpa
pengisian daya. Kelebihan inilah sehingga pada layar akan terus menampilkan
karakter tanpa tegangan sama sekali. Itu terlihat saat membeli Kindle, ia tetap
nyala dalam waktu yang sangat lama.
Itu semua karena teknologi e-ink yang sekali
tegangan dialirkan pada setiap titik elektroda, maka pigme-pigme tadi akan
tetap berada pada posisinya. Yakni di permukaan transparan bagian atas layar,
beda dengan layar IPS, Amoled, dan LCD. Layar e-ink tidak terpengaruh oleh
gravitasi karena adanya cairan antara dua elektroda yang memisahkan dua posisi
pigmen.
Tak berhenti di situ saja, Amazon pun
memadukan layar e-ink pada Kindle dengan format tulisan yang ringan. Pilihan
tersebut jatuh pada format MobiPocket yang tampak ringan meskipun halaman
berapa pun kita membuat e-reader.
Proses memindah halaman pun mudah karena dari
kiri atau kanan. Bila umumnya yang kita baca berbentuk pada perangkat elektronik
seperti di ponsel, laptop atau tablet menggunakan format PDF yang lemah. Akan
ada lag yang sangat besar sehingga pengalaman membaca terganggu dan
proses membacanya dari bawah ke atas.
Amazon tahu bahwa ia tidak bisa hanya terpaku
dengan menciptakan produk saja tanpa ekosistem. Ia pun membuat layanan buku
berbayar yang bisa dibeli oleh pembaca. Harganya jauh lebih murah dan pastinya
royalti dan keuntungan dari pembaca semakin besar.
E-reader, Menyelamatkan Pohon dan Nasib penulis
Kebutuhan akan kertas
masih sangatlah besar, salah satunya adalah kebutuhannya
menjadi bahan baku bacaan seperti buku dan majalah. Ada banyak proses yang
melibatkan dalam menghasilkan kertas, mulai dari bahan kimia, air, dan bahan
bakunya dari bubur kayu. Itu belum termasuk dari limbah buangan yang dihasilkan
dari proses pengolahan kertas.
Mengejutkan lagi karena sebuah pohon yang
punya usia 5 tahun yang kemudian diolah menjadi kertas hanya mampu menghasilkan
1 rim kertas atau setara 500 lembar. Sedangkan rata-rata sebuah buku saat ini
200-250 lembar, itu artinya sebuah pohon hanya mampu menghasilkan dua buku
saja.
Itu belum lagi termasuk penggunaan kertas
lainnya untuk dokumen, koran, majalah, katalog hingga brosur yang memakan
banyak kayu. Dibutuhkan begitu banyak pohon atau bahkan kertas olahan yang
tidak sedikit. Cara pengguna beralih ke digital, sedikit banyak mengurangi
konsumsi kertas dan menyelamatkan pohon.
E-reader pun secara tak langsung menekan aksi
pembajakan beragam buku oleh pihak tak bertanggung jawab. Celah untuk menjual
buku bajakan semakin sulit karena bentuk digital dibandingkan buku fisik. Nasib
para penulis pun makin sejahtera dari royalti dan pemasukan dari menulisnya
lebih besar dibandingkan buku fisik.
Alasan tersebut yang kemudian menguatkan banyak
penulis yang menerbitkan bukunya via e-book, cara ini dinilai lebih efektif
karena penulis e-book punya peran besar. Ia bisa bebas memasarkan, menerbitkan,
menjual, dan memastikan harga dari e-booknya.
Pilihan lainnya adalah secara mandiri melalui
blog pribadi atau bahkan memasarkannya via pihak ketiga dengan kesepakatan
harga. Salah satunya yang strategi yang diterapkan oleh Amazon melalui program Kindle
Direct Publishing (KDP).
Nantinya pihak Amazon akan memformat e-book Anda
dalam bentuk Mobi dan mempublikasi di Kindle Marketplace secara
cuma-cuma. Penulis akan mendapatkan pembagian keuntungan yang lumayan besar
yaitu 70% dari setiap e-book yang harganya saat ini berkisar antara US$ 2-99 –
9,99. Serta ada acara lain buat di luar program Kindle dan Amazon buat
menyejahterakan hajat hidup penulis.
Secara tak langsung beralih ke e-reader memang
sangat sulit dibandingkan dengan perubahan lainnya ke arah digital. Semua itu
hanya pembiasaan yang kemudian tak ada bedanya setelah terbiasa. Berkembangnya e-reader seperti Kindle artinya
menekan jumlah kertas dan jumlah pohon. Sekaligus mengurangi pemanasan global
dari pohon yang kemudian diolah menjadi buku.
Sama halnya dalam merevolusi musik yang
dulunya mengandalkan kaset dan sangat mencemari lingkungan. Kini musik bisa
didengarkan dengan layanan berbayar secara streaming. Ini menekan jumlah
plastik dan pita suara yang dibuang ke lingkungan.
Kindle dan segudang kelebihan
Amazon sadar bahwa merevolusi dunia buku harus
dipersiapkan dengan matang, supaya perpindahan tersebut bisa langsung terwujud.
Melalui produknya Kindle punya segudang kelebihan, mulai dari layarnya yang
nyaman karena mengusung e-ink tanpa pantulan cahaya.
Kindle punya kerapatan piksel hingga 300 ppi, saat terkena paparan matahari makin
terlihat terang, mirip dengan buku. Buat yang malas baca, kindle memberikan
opsi dengan pilihan mendengarkan
melalui audiobook melalui headphone atau speaker. Sehingga
lebih fleksibel, termasuk menghubungkan ke speaker Bluetooth agar bisa
didengarkan satu ruangan.
Bicara mengenai daya tahan baterainya sangat
kuat dan hemat daya, karena layar hitam putih khas e-ink mampu membuat e-reader
bertahan berminggu-minggu. Saat proses pengisiannya cukup dengan sejam saja,
sangat efisien digunakan saat bepergian jauh tanpa takut kehabisan bacaan.
Bukan hanya itu saja, kelemahan terbesar buku
adalah tidak tahan air. Siap-siap saja buku baru Anda harus rusak sampul atau
isinya saat terkena air. Kindle punya daya tahan dari percikan air hingga
tenggelam di dasar kolam renang. Itu karena sudah punya sertifikat anti air
khas IPX8 yang sering ditemukan pada ponsel flagship.
Bentuknya sangat pas di tangan dan ringan,
sehingga mudah dibawa, seperti membawa sebuah notes berukuran pergi panjang
pipih. Bukan saja sebagai media membaca e-book saja. Ternyata Kindle bisa
terhubung dengan internet, melahap konten seperti browsing, menonton
film hingga bermain game. Walaupun efeknya baterai lebih cepat habis.
Urusan harga dan fleksibilitas, Kindle memang
mahal di awal tapi murah dikemudian hari. Ibarat berinvestasi sebuah benda
elektronik yang tahan lama tapi punya segudang kemudahan di masa depan.
Harganya jelas jutaan untuk sekali membelinya, beda dengan harga buku yang
hanya puluhan atau ratusan ribu.
Namun harga itu akan murah saat membeli buku
di Amazon atau layanan berbayar lainnya. Bahkan harganya separuh harga buku
fisik dan tak jarang ada buku yang didapatkan cuma-cuma karena sudah melewati
tenggat.
Tingkat praktis lainnya karena Kindle sangat
praktis dibaca saat Kindle ketinggalan di rumah. Ia bisa bersifat lintas
device, cukup menginstal aplikasi Kindle baik via Android maupun iOS. Jadi
tak perlu khawatir karena bisa mengakses di mana pun buat pengganti kindle.
Pilih mana, e-reader vs Tablet
Keduanya punya pangsa yang sangat berbeda
meskipun punya ukuran yang tidak jauh berbeda. Perusahaan kenamaan seperti
Apple, Samsung hingga Huawei punya Tablet dan dianggap punya segmen yang sangat
banyak. Hanya saja pada e-reader Kindle bermain sendiri dengan sejumlah kompetitor
yang jauh di bawahnya.
Kindle diperuntukkan khusus untuk membaca
konten berbasis e-book seperti buku, majalah, hingga komik. Memang bisa
digunakan seperti mendengarkan audio book, mendengarkan musik, menonton film
hingga main game. Hanya saja ukuran penyimpanannya yang kecil serta memiliki
layanan yang kurang nyaman untuk multimedia.
Kita sering salah kaprah karena menilai Kindle
punya kapasitas yang kecil mulai dari 4GB hingga 32GB. Untuk data e-book
berbentuk Mobi jelas sangat besar dan memuat banyak buku hingga ribuan buku,
akan tetapi performanya tetap ngebut. Harus dicatat, jangan samakan konten
e-book dengan file musik atau file video. Lebih baik menggunakan tablet karena
punya spesifikasi layar, penyimpanan, dan kualitas penyajian.
Sedang e-reader lebih pada penggunaan tanpa gangguan
dan sifat multitasking. Membaca di e-reader akan menjauhkan dari
notifikasi mengganggu dan aplikasi pemecah konsentrasi sehingga kualitas
membaca jadi berkurang. Beda dengan tablet yang menyerupai ponsel pintar dalam penyajian
konten. Intinya keduanya punya segmen berbeda dengan pengguna berbeda.
Fitur kekinian yang ditanamkan di dalam Kindle
seakan memudahkan membaca seperti: Instant Dictionary (mengetahui makna
setiap pengertian kata), Vocabulary Builder (menyimpan perbendaharaan
kata sulit tadi sehingga bisa tahu di halaman selanjutnya ada kata serupa),
serta Highlight dan Note (mencatat atau menandai kalimat serupa).
Amazon dan Kindle tak populer di Indonesia
Mungkin bagi masyarakat kita, perusahaan
terkenal dari USA hanyalah Microsoft, Apple, Google, dan Facebook. Tapi ada
satu perusahaan yang memimpin Top Leader dalam bisnis e-commerce yakni Amazon.
Inovasinya dalam pengembangan riset sangat patut diacungi jempol, hampir
keseluruhan mengusung konsep AI. Salah satu mahakarya buatan Amazon adalah Kindle, mengubah cara manusia dalam membaca secara bacaan fisik ke
digital.
Mengapa di tanah air tidak terlalu familiar?
Amazon sangat sedikit beriklan di Indonesia
khususnya di TV atau bahkan Youtube, sehingga namanya masih sangat tak familiar
dibandingkan e-commerce dalam negeri. Otomatis hanya kalangan tertentu yang
mengenal dan menggunakan aplikasinya.
Belum lagi masih hanya mengandalkan Bahasa Inggris yang menjadi kendala
dalam proses berbelanja. Serta termasuk pembayaran yang relatif sulit bagi
masyarakat Indonesia seperti menggunakan kartu kredit dan layanan Paypal. Masyarakat
Indonesia umumnya masih mengandalkan kartu debit dan
bahkan tidak punya rekening bank. Faktor terakhir adalah proses pengiriman
barang yang memakan waktu hingga 2 minggu lamanya. Beda dengan e-commerce dalam
negeri yang hanya menunggu paling lama 5 hari pengiriman.
Inilah membuat Amazon tidak familiar termasuk
produk andalannya, Kindle. Memang Kindle tidak hanya dijual Amazon saja, ada
reseller yang menjualnya di e-commerce lokal dengan harga terjangkau. Mungkin
yang hanya dikenal oleh masyarakat umum Indonesia hanyalah smartphone dan
tablet, tidak pada Kindle.
Kepopuleran dari Kindle nyatanya dipengaruhi
beberapa alasan selain faktor Amazon seperti: rendahnya minta baca sehingga
untuk mencari buku fisik saja sulit apalagi harus berjibaku beralih ke e-book.
Kemudian Kindle seakan kalah dengan saingannya Google yang punya pilihan buku
berbahasa Indonesia. Beda dengan Kindle yang murni berbahasa Inggris, faktor
ini berpengaruh terhadap pada terbatasnya buku berbahasa Indonesia.
Terakhir Indonesia punya kebiasaan sesuatu
yang gratis dan rela melakukan apa pun termasuk melakukan pembajakan. Misalnya
pada PDF yang tidak terikat DRM (Digital Rights Management) sehingga rentan
dengan tindakan bajakan. Sehingga royalti para penulis terancam, lebih baik
saja tidak memasarkan dibandingkan harus jadi korban bajakan dari orang tak
bertanggung jawab.
Kindle dan para pesaingnya
Harus diketahui bahwa dunia e-reader tidak
sepenuhnya dikuasai oleh Kindle, ada banyak pesaing yang mencoba bersaing dari
monopoli e-reader yang Amazon lakukan. Pesaingnya pun beragam, mulai dari Kobo,
Barnes & Noble Nook hingga Boox N96. Hanya saja karena prinsip
ekonomi dan ketenaran, Kindle lebih terkenal. Selain itu, Amazon tidak terlalu
mencari keuntungan dari produk mereka melainkan kenyamanan dalam
menggunakannya.
Ada sejumlah faktor Kindle jadi yang terdepan
selain dari promosi yang Amazon lakukan. Spesifikasi Kindle pun cukup unggulan
dan selalu saja ada perbaiki dari setiap serinya. Misalnya saja Kindle saat ini
punya kerapatan di atas 300 ppi, jauh unggul di atas pesaingnya yang masih di
kisaran 265 ppi.
Terakhir adalah faktor harga, Kindle yang
paling terjangkau adalah Kindle Paperwhite berada di kisaran 1,6 juta. Para
pesaing seperti Kobo Auro H20 mengharuskan merogoh kocek hingga 2 juta-an.
Faktor inilah yang membuat Kindle jadi pilihan utama dibandingkan memilih
e-reader anti-mainstream lainnya.
Berkat strategi yang diterapkan oleh Amazon,
ia seakan menjadi market leader di e-reader dan e-commerce dunia.
Pemilik sekaligus CEO, Jeff Bezos kecipratan pundi-pundi miliaran dolar
dari kesuksesan tersebut, semuanya ia awali dari menjual buku hingga kini jadi
orang terkaya di dunia. Mirip dengan JK Rowling dengan kesuksesan dari
secuel Harry Potter dari menulis. Artinya dunia menulis dan buku sangat
menjanjikan siapa saja yang serius menggelutinya.
e-reader yang siap menggantikan media kertas
Saat ini jumlah konsumsi kertas mulai
ditekankan, konsep Go Green secara tak langsung membuat manusia mulai
beralih ke arah. Bila dulunya dianggap masih belum familiar, kini sudah lebih
banyak e-book yang beredar. Selain mudah dan gampang, e-book dinilai menekan
jumlah kertas.
Walaupun tidak mudah dan perlu waktu,
perlahan-lahan manusia merasa rasa nyaman dan praktis menggunakan cara khas
digital, menggantikan gaya konvensional khas buku fisik. Tinggal bagaimana
menyesuaikan dan mengubah kebiasaan, meskipun tidak sepenuhnya tergantikan
keseluruhan.
Sesuatu yang fisik tetap spesial, kini kita
punya banyak alternatif dalam menunjang proses membaca. Pastinya apa pun
medianya, minat membaca dan mencari ilmu baru jangan pernah luntur. Segala
kemudahan tersebut tujuannya satu yaitu untuk hajat hidup manusia.
Semoga tulisan ini menginspirasi dan
memberikan edukasi, Have a Nice Day guys…
0 komentar:
Post a Comment