Pagi itu hampir 10 tahun jadi hari yang sibuk,
itu karena semalam ada laga sepak bola akbar mempertemukan klub unggulan. Semua
tidak bisa menonton karena tim tersebut bermain terlalu larut malam. Belum lagi
hidup di asrama, pengalaman yang saya apalagi yang bermain tersebut adalah klub
kebanggaan saya.
Akses TV hanya bisa dinikmati di pos penjagaan
atau ruang guru, sesekali melihat informasi berjalan yang ada di berita. Itu
pun kalau beruntung. Semua anak asrama hanya mengandalkan informasi dari luar
yang berasal dari koran. Ia sudah terpampang di mading berbingkai kaca yang
sudah dikunci rapi oleh petugas penjaganya.
Inisiatif ingin cepat dapat informasi tersebut,
mau tak mau harus rela pergi ke pos jaga. Sambil bergantian antre membaca
bolak-balik koran yang sudah terpencar ke mana arahnya. Halaman depan mulai
terlihat kumal, kadang ada rasa kecewa saat melihat bagian halaman belakang
yang hilang entah ke mana rimbanya. Bisa saja dia sudah dibawa guru Pembina ke
dalam ruangan, sial hari ini ketinggalan berita ketus di dalam jiwa.
Saat itu koran masih sangat melekat ke semua
orang, lemparan koran pagi di halaman rumah atau abang loper koran di
persimpangan jalan sembari menampilkan halaman muka koran ke pengendara. Membolak-balik
lembaran koran sembari segelas kopi begitu syahdu, ciri khas yang tergambar. Kini
nyaris tak tersisa, sadar bahkan koran bukan sebuah informasi vital saat ini.
Semua bisa mendapatkan informasi yang ia inginkan dengan cepat dari sosial
media atau website yang khusus mengulas topik yang kita sukai.
Di era modern terjadi fleksibilitas, bukan
hanya di koran, tapi pada radio atau bahkan TV. Semua itu produk lama yang kena
disrupsi. Sifatnya yang tidak up to date serta pembaca yang ketinggalan
informasi andai tidak sempat membaca berita hari tersebut. Sifatnya off
demand service seakan tidak bisa baca di mana saja serta tak praktis.
Belum lagi bacaannya yang terlalu dan sulit
dicerna. Sangat minim gambar dan membuat pembaca tidak pernah tamat membacanya.
Hanya para tetua yang tertarik dengan koran saat ini, jumlah kadang makin sulit
ditemukan bahkan di kedai kopi. Melihat halaman pertama dan kemudian
meninggalkan begitu saja. Bagi generasi sekarang, koran sudah mulai padam
tergerus digital news.
Sudah pasti ada banyak pihak yang menjadi
korban, para penulis kolomnus kenamaan koran yang punya nama besar seakan harus
dirumahkan, mereka tidak bisa berbuat banyak lagi. Usianya yang beranjak menua
sembari menunggu masa pensiun, sama halnya dengan koran yang mulai terdisrupsi.
Saya masih ingat saat ada rubik khusus
pertanyaan pembaca, balasannya butuh beberapa minggu. Saat dulu informasi yang
datang hanya dari para pandit. Wikipedia masih sebuah nama yang masih sangat
awam. Nantinya akan dijawab oleh pemilih redaksi beberapa minggu kemudian di
sebuah rubik tanya jawab.
Saya pun berlangganan berbagai jenis majalah olahraga dan ponsel kala itu,
ada kesenangan tersendiri saat melihat pose pemain idola menjadi poster edisi
minggu ini. Hasrat melihat dan membaca koran, meskipun si pemilik mulai gerah
dan memberi kode untuk membelinya.
Mungkin dahulu ada yang banyak berlangganan
koran, salah satunya saya yang berlangganan pada salah satu tabloid olahraga.
Beritanya begitu nendang dengan banyak rubik dan ulasan yang kekinian.
Akan tetapi makin ke sini ulasannya makin ketinggalan tanpa perubahan yang
berarti.
Kemunculan digital news yang lebih cepat dan
lebih mudah diakses seakan membuat saya berpaling. Tidak perlu lagi
berlangganan koran yang sudah memenuhi kamar. Mengabaikan informasi fisik yang
memakan tempat dan ruang ke informasi digital.
Saat itulah saya tidak lagi mengandalkan
berita olahraga yang punya ulasan sangat ketinggalan zaman. Konten yang harus
mengikuti cara lama, beralih ke cara tak bisa. Di digital news saya seakan bisa
melihat ulasannya lebih detail dengan infografik dan statistik yang sulit
ditemui di media cetak.
Belum lagi ulasan yang up to date
bahkan saat pertandingan berlangsung, tanpa perlu harus menunggu koran yang
esok harinya tayang. Bahkan ulasan taktikal kenamaan yang dahulunya hasil
terjemahan tak utuh dan separuh-paruh dengan mudah bisa ditemukan. Nikmat mana
yang tidak bisa didustakan oleh digital news.
Bukan hanya itu saja, saya pun mulai beralih
ke berbagai hal digital, termasuk di dalam membaca buku. Bila dahulunya masih
mengandalkan buku cetak dengan harga mahal, kini beralih ke kindle
yang praktis. Meskipun awalnya butuh biaya besar untuk
investasi, namun seiring dengan berjalannya waktu biaya itu akan lebih murah
saat membeli e-book. Harganya bisa kurang dari separuh dibandingkan
harga buku fisik, sekaligus kita bisa mengurangi jumlah penggunaan kertas dan
membangun konsep go-green.
Baca juga: E-Reader, Sensasi Baca Buku dengan Cara Berbeda
Koran, TV, dan Radio, para korban disrupsi digital
Media seperti Koran, TV, dan Radio mungkin
saja menyelamatkan sekaligus membunuh bosan. Namun kini masih mereka sudah ada
di masa senja. Tergerus karena disrupsi karena lahirnya berbagai layanan baru
dengan inovasi baru. Semuanya berawal
dari disrupsi dan persoalan lainnya, mulai dari mutu yang menurun hingga tidak
fleksibel. Sesuatu yang sangat sulit buat era digital saat ini,
Hadirnya media digital yang fleksibel dan bisa
diakses di mana saja seakan jadi pesaing serius. Itu terlihat jelas seperti acara
televisi lokal selain mutunya menurun dan
melambat, segmennya mulai tergerus sebagai yang paling terdepan dalam
memberikan informasi. Itu terlihat semenjak internet dan sosial media
berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir. Beda dengan koran yang terus
melambat dan seakan tidak ada inovasi.
Kini pangsa pasar televisi hanya menyisakan 36% saja, artinya
hanya sepertiga yang masih memperhatikan TV. Bukan tidak mungkin televisi hanya
sebagai barang elektronik pajangan di rumah kita. Hanya waktu yang bisa
menjawab bahwa TV jadi barang antik salah satu ruangan rumah.
Radio mengalami hal serupa, dia seakan terlalu
banyak iklan dan playlist musik. Acara dengan mengundang pemateri khusus
jumlahnya terbatas, sedikit silap karena
pindah ke siaran sebelah. Siap-siap saja kehilangan topik. Seakan on demand
service adalah jawabannya, segudang channel yang berbasis digital khas
Podcast mampu menggantikan Radio yang seakan ia sudah layak di museum.
Di dukung kemajuan smartphone dalam
memudahkan segala hal dan terkoneksi secara langsung dengan internet, membuat
penggunanya bisa mengakses sesuai keinginannya. Selain irit waktu, pengguna smartphone
atau laptop lebih mudah dibandingkan televisi yang tidak bisa di bawa ke
mana-mana.
Mengakses segala berita secara online jadi
lebih gampang melalui gawai seperti smartphone dan laptop. Bermodal
kouta internet, Anda bisa menonton atau tahu berita yang dimau tanpa harus
menunggu lama iklan atau menonton acara yang tak disuka terlebih dahulu.
Faktor lain khususnya acara di TV lokal begitu
monoton hingga mereka kalah bersaing. Sejumlah tayangan menarik mengharuskan
pemilik banyak pindah ke televisi berbayar. Hasilnya televisi lokal hanya
menyisakan acara yang kurang menarik dan bermutu. Saya pribadi menganalogikan
dalam bentuk daerah akan jumlah menonton TV. Daerah itu terbagi tiga yaitu A, B
dan C sesuai dengan menghabiskan waktu di depan televisi.
Pertama adalah daerah A, ialah daerah yang mulai meninggalkan waktu menonton televisi, menggantinya
dengan sosial media sebagai sumber informasi. Daerah tersebut umumnya daerah
urban perkotaan yang memiliki akses internet cepat. Masyarakat hanya ingin
mengakses informasi tanpa harus menonton televisi cukup dari gawai pribadi
mereka.
Masyarakat di daerah A hanya memilih apa yang
mereka tonton dan tidak, bukan sebagai sebuah skala prioritas. Misalnya
pertandingan sepak bola atau acara lain seperti sulit diabaikan seperti Headline
News, selebihnya cukup diakses melalui gawai masing-masing.
Kedua ialah daerah B, segmen daerah yang berada di tengah-tengah antara televisi dan internet
lumayan berimbang. Masyarakat masih menganggap peran televisi bisa tergantikan
namun tidak menyeluruh dan sebahagian masyarakat sudah menjajaki internet serta
aktif di sosial media.
Daerah kota kecil menganut konsep ini, karena
masih begitu terbatas sehingga mereka menggabungkan keduanya. Kalangan anak
muda di daerah tersebut mulai melirik internet sebagai akses informasi
sedangkan kaum tua yang masih mendewakan televisi.
Ketiga ialah daerah C, pada daerah ini masih menganggap televisi sumber informasi segalanya. Apa
saja yang ditonton langsung mudah ditelan mentah-mentah, mulai dari bangun tidur
hingga tidur lagi. Tak heran anak-anak kecil dan ibu-ibu mendewakan semua idola
yang mereka tonton di layar kaca setiap hari.
Bukan hal aneh saat anak-anak di daerah
tersebut hafal percakapan sinetron yang tonton semalam, atau gaya tokoh
idamannya untuk ditiru di sekolah. Sejumlah jargon iklan yang berseliweran yang
diputarkan saat jeda, secara tak langsung itu membekas di otak khususnya
anak-anak.
Urusan koneksi internet jangan pernah diharap
banyak. Kadang hilang, namun tak tahu kapan muncul lagi. Berbagai program
pemerintah seperti internet masuk desa seakan membuat masyarakat yang di daerah
C mulai melirik tontonan selain di TV di masa akan datang. Andai pihak televisi
lokal khususnya harus tidak berbenah, bisa saja televisi harus kehilangan
pelanggan setia mereka.
Memang bukan berarti acara di televisi buruk
semua atau yang ada di internet semuanya bagus. Itu lebih bagaimana konsep yang
dirancang, bukan hanya mementingkan rating dan hiburan semata. Namun
menanamkan nilai-nilai edukasi di dalamnya setiap acara.
Sama halnya dengan koran, penikmat koran
memang maki n menipis oleh anak muda, mereka yang terlahir di generasi milenial
dan generasi Z sudah menganggap koran buat sebuah opsi terbaik dalam bacaan. Bacaan
yang memenuhi lini masa di sosial media atau web andalan mereka menjadi jawaban
rasa dahaga mereka. Dengan bahasa yang lebih dipahami dan ngena jadi
alasan mereka mengabaikan media sebelumnya yang hanya di baca bapak di kursi
depan teras.
Media cetak yang tersisih oleh para milenial
Meskipun saat ini ada beragam cara mencerna
informasi, Mungkin dahulu media hanya tiga macam, koran berupa media tulis,
radio media audio, dan TV sebagai media visual. Di era digital kita bisa
mendapatkan satu paket dalam sebuah postingan.
Kayak akan informasi jurnalisme di dalamnya,
punya kemampuan visual yang membius hingga video dengan resolusi yang baik.
Semuanya dikemas jadi satu sesuai link informasi yang ingin dicerna.
Sesuatu yang mungkin dulunya mustahil dilakukan ketiga media terdahulu.
Harus diingat bahwa informasi dan literasi
bukan hanya sebatas tulisan saja, kemampuan media digital bisa melihat pangsa
anak muda yang suka dengan visual dan gabungan kata yang ngena buat
mereka. Siap-siap saja media seperti itu akan kebanjiran trafik setiap harinya.
Strategi yang harus diterapkan |
Mungkin saat ini sering ada stigma yang datang
misalnya saja, mendapatkan informasi hanya dari koran saja atau dari media
tulisan. Nyata kini semua informasi yang didapatkan asalkan dipahami dengan
jelas dan sampai ke pengunjung itu artinya si pembuat konten berhasil.
Hanya saja kelemahan media online adalah
beritanya yang kadang mengejar kata up to date. Kadang harus membuat
pembaca simpang-siur. Bisa saja apa yang ditulis kembali diralat hingga
akhirnya menjadi kepingan utuh. Masyarakat digital pun dipenuhi ketergesa-gesaan
informasi yang belum menjadi sebuah berita utuh. Jangan heran ada banyak berita
hoaks atau bohong yang menyebar atas dasar ketergesa-gesaan.
Semua itu berdasarkan pada kode etik
jurnalistik yang dipegang teguh. Sebuah media cetak mengulas sebuah berita
dengan sangat detail dan terperinci. Kualitas sebuah tulisan harus melalui
proses ketat orang-orang yang sudah makan asam garam dalam jurnalistik. Mulai
dari wartawan, penulis, editor, pimpinan hingga direksi. Sebelum akhirnya
terbit dan dibaca oleh pembaca setianya.
Kecepatan jadi kunci keberhasilan media
online, masyarakat pun merasa tergesa-gesa terhadap suatu topik tanpa
mencernanya dengan jelas. Akibatnya sering terjadi miskonsepsi atau salah
kaprah, selain itu ada banyak informasi yang dicerna dalam waktu singkat. Mau
tak mau kemampuan membaca skinning atau melihat sekilas cara cepat
mendapatkan berita. Kemampuan daya cerna jelas berkurang dibandingkan dengan
membaca koran.
Para milenial memperlakukan koran seperti anak
tiri, mereka paling rela dibiarkan atau mengabaikan koran. Bagi mereka itu
sungguh tidak praktis dan beritanya terlalu berat. Mungkin berita koran mungkin
hanya terpakai saat pengumuman kelulusan yang mungkin saat ini mengandalkan
koran. Selebihnya acuh pada itu semua.
Pihak percetakan pun mulai banyak beralih dan
bahkan sudah sepenuhnya tutup buku di percetakan koran. Mengembara ke dunia
digital yang jelas jauh berbeda. Tapi saya pribadi malah menganggap media cetak
yang turun ke pangsa digital seakan kehilangan jati dirinya. Dari awalnya
menulis dengan bahasa yang teratur dan mengikuti kaidah jurnalistik, kini
mengejar pundi-pundi adsense dari judul clickbait.
Ini seakan membuat para anak muda punya media
tersendiri menjadi andalannya. Ia pun sekarang bisa memilih beragam informasi
khusus yang benar mereka butuh. Beda jauh dengan era sebelumnya yang masih
mengandalkan keragaman informasi. Pengguna harus mencari rubik berita yang
sesuai dengan bidangnya. Saling berbagi halaman buat membaca, sedangkan berita
yang tidak menarik siapa peduli itu semua.
Hingga akhirnya berbagai pemain baru muncul, sangat
hijau di dunia jurnalistik tapi mampu menjual dibandingkan dengan para pemain
lamanya yang kenyang asam garam. Konsep yang ditawarkan khas anak muda dan
mudah dicerna.
Infografis yang baik dan gambar yang
berhubungan seakan memberikan warna baru. Bukan hanya bermodalkan judul
bombastis saja, tapi gambar yang mendukung serta faktor lainnya mampu
mengalihkan para milenial kembali melirik nama tenar koran yang kini hanya pemain
baru di internet.
Kelemahan dan stigma yang melekat dari media
digital
Tidak bisa dipungkiri bahwa media digital
dianggap setengah bercanda. Berbagai stigma melekat olehnya seperti kekurangan
seperti sumber daya listrik, namun kini banyak perangkat yang punya daya tahan
seharian. Tidak perlu kesulitan terhadap daya yang habis saat diakses atau
tidak ada colokan. Akses internet jadi salah satu hal yang mendasar dalam
mendapatkan informasi, akan tetapi bisa diakali dengan membaca secara offline
atau diunduh kemudian dibaca.
Permasalahan lainnya yang sering datang ada
rusaknya memori penyimpanan yang bertugas menyimpan data. Tapi tak perlu takut
karena penyimpanan sudah sangat beragam, salah satunya dengan cara cloud.
Faktor lainnya media digital sering dianggap dapat mengganggu kesehatan mata
karena pancarannya.
Inovasi dilakukan seperti yang dilakukan oleh Kindle
dengan layar e-ink yang tidak memantulkan cahaya, karena katoda yang ia
gunakan. Serta pada perangkat teknologi kini sudah ada fitur bluelight filter
yang melindungi mata saat membaca di dalam gelap.
Permasalahan lain yang skeptis mengenai media
digital adalah kemampuan fokus terhadap gangguan dan notice mengganggu.
Semua itu bisa dihilangkan atau menggunakan perangkat khusus bebas gangguan notice
dengan Kindle, membaca jadi fokus tanpa sedikit pun distorsi.
Terakhir adalah segala sesuatu yang ada di
internet sangat tidak lengkap, hanya sebagian atau bagian kecil yang
dipilah-pilah menjadi halaman. Nyatanya tidak, banyak penulis atau website yang
memberikan tulisan yang sama lengkapnya. Bahkan sejumlah website memberikan
akses berlangganan untuk pembaca premium dalam tulisan yang ia buat.
Blogger tidak mau kalah, gebrakan pada media
tidak membuat ia gentar, dengan gaya Bahasa dan informasi yang ia berikan
seakan mampu menarik pembaca setiap. Ini membuat media cetak yang tidak
persiapan matang di dunia digital harus ketar-ketir.
Apakah media pilihan generasi masa kini?
Saat ini informasi bisa datang di masa saja,
era digital melahirkan sejumlah platform yang mampu menjawab rasa penasaran,
menghubungkan persahabatan, eksistensi hingga ilmu pengetahuan. TV, koran, dan
radio seakan tidak memilikinya secara utuh. Kesannya yang jadul sudah sering
dijauhi oleh para milenial dan generasi Z.
Sebagai gambaran, saat ini 28,8% generasi Z
yang ada di tanah air, mereka adalah generasi yang lahir setelah generasi
milenial. Mereka tumbuh dan berkembang dan memanfaatkan media pilihan mereka
dalam mendapatkan informasi. Akses mereka dapatkan bukan lahir dari media
seperti koran, TV, dan radio tetapi dari sosial media yang mereka punya. Para
masa mereka, media tadi seakan sedang menunggu hari senjanya.
Mereka tidak kenal lagi artis yang sering
berseliweran di TV, penyiar radio terkenal di kotanya hingga penulis kenamaan
di kotanya. Di kepala mereka yang tergambar hanya para Youtuber, Podcaster,
Blogger hingga Instagramer andal. Mereka selalu menghadirkan konten segar
setiap pagi hari menyalakan ponsel. Tinggal memilih melahapnya sekarang atau
selepas pulang sekolah atau kuliah.
Peran para influencer di era saat ini lebih besar pengaruhnya |
Rasa ingin tahunya sudah bisa diarahkan sesuai
dengan aplikasi yang mereka sukai. Misalnya saja segala info yang hangat bisa
dilihat pada trending Twitter, berita dari Line. Kemudian yang tergila-gila
mengenai komik sudah ada Mind blow, menyukai tontonan sudah ada Netflix hingga
situs bertanya segala hal yang ada di Quora.
Baca juga: Quora, Aplikasi Penjawab Segala Rasa Penasaran
Alasan utama mereka memilih menginstal atau
berselancar di platform tersebut karena sifatnya yang praktis. Mengonsumsi
konten tidak harus repot-repot datang ke tempat penjualan koran, duduk di depan
TV sampai memencet dan memukul punggung remote. Atau mengatur frekuensi
radio yang kadang tidak sesuai dengan kesukaannya.
Semua itu karena fleksibilitas yang
ditawarkan, itulah yang melahirkan beragam platform. Artinya setiap segmen
dipegang penuh oleh sebuah platform yang fokus. Sehingga pengguna tinggal
datang ke platform tersebut dan menikmati konten, tanpa harus mencari segmen
atau informasi yang tidak ia perlukan.
Serta pastinya mereka makin protektif dalam
menyaring informasi. Jumlah para generasi Z yang termakan informasi hoaks lebih
kecil dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka yang tidak mengonsumsi
sebuah informasi dari satu info saja.
Berita yang clickbait dan serba
tanggung sangat diabaikan oleh mereka, ibarat gelembung angin di dalam bungkus ciki.
Kemampuan mengolah informasi datang dari banyak sumber, ibarat mengumpulkan
kepingan puzzle yang akhirnya jadi sebuah gambar. Rasa lega ada di
pikiran mereka, setelah rasa penasaran terjawab.
So… apa pun medianya, tidak ada yang salah.
Tapi semua bagaimana pasar melihat perubahan dan disrupsi besar tersebut. Andai
saja telat dan salah langkah, siap-siap saja pemain baru datang dan
menghipnotis generasi saat itu sebagai pengunjung setianya.
Semoga saja postingan ini menginspirasi, dan
have a nice days.
Artikel yang sangat menarik untuk dibaca. Sebagai generasi yang lahir dan dibesarkan di era pra digital yang mengalami masa keemasan media cetak semacam koran,majalah dan tabloid. Saya kadang ingin bernostalgia ke zaman itu dengan nembaca loran.
ReplyDelete
ReplyDeleteSungguh ini sebuah artikel yang sangat menarik untuk dibaca. Sebagai generasi yang tumbuh besar di era pra digital. Saya mengalami kejayaa dan masa keemasan media cetak. Kini saat saya ingin bernostalgia ke masa itu sungguh membaca koran pisik bisa mengobati kerinduan saya ke masa lalu.