Suasana senja di Alue Naga begitu menarik dengan panorama desir
ombak, bak lokasi pelepas penat bagi sebagian orang. Lokasinya tak jauh dari kampus
dan permukiman warga, sembari menjauhi hiruk-pikuk keramaian Banda Aceh kala
senja. Terlihat jelas berbagai jenis perahu merapat di bibir sungai Krueng
Aceh yang terkenal dengan sejarahnya, kegigihan masyarakat Aceh dalam
mengusir penjajah kala itu.
Senja hari ini tak ada aktivitas
nelayan. Kapal-kapal nelayan merapat dan jaring tergulung rapat di dek perahu. Hari
itu ada pantangan besar, 26 Desember jadi peringatan Gempa bumi dan Tsunami. Sudah
15 tahun peristiwa dahsyat itu berlalu. Menyisakan memori desa yang
porak-poranda dihantam bencana alam gempa bumi dan tsunami tanpa sisa.
Gempa dan Tsunami 15 tahun silam mengubah topografi Desa berubah
drastis, tambak warga terendam air. Mata pencaharian warga sebagai pencari
tiram sempat terganggu beberapa saat dan desa mereka jadi Desa Tibang terasa gersang
di siang hari dan angker di malam hari. Masih segar ingatan dan luka mungkin
masih membayangi, Desa Nelayan di Ujung Negeri harus luluh lantak.
Tapi kini warna-warni denyut kehidupan kembali terasa, ada banyak
kapal nelayan yang tertambat kala petang di sana. Hiasan pohon pinus berjejer
di sepanjang jalan, Desa Alue Naga dan Tibang jadi destinasi baru sembari
melihat pantai yang indah beradu dengan muara Krueng Raya yang
melegenda.
Perlahan tapi pasti terus berbenah menjadi lebih cantik, aksesnya
ke sana pun jadi lebih mudah. Khusus Desa Tibang memberi sensasi bahwa
sebelumnya berdiri ratusan hektar lahan mangrove. Pemerintah pun
menyulapnya menjadi Taman Hutan Kota dan penyerap buangan karbon dioksida.
Musibah besar tersebut telah berlalu satu setengah dekade, menata
kembali hidup baru kembali. Membangun desa yang sudah porak-poranda setelah
saksi bisu gempa tsunami. Alue Naga dan Tibang berbenah dengan pembangunan
kembali, menghidupkan kembali sentra ekonomi masyarakat yang bertopang pada
hasil laut.
Geliat ekonomi dan semangat masyarakat terlihat jelas. Para kaum
lelaki yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan siap menyalakan mesin, mencari
gerombolan ikan hingga ujung pulau. Kaum wanita tak mau kalah, mencoba
meringankan beban hidup suami mereka dengan mengumpulkan tiram.
Menjual atau mengolahnya menjadi sumber makan kaya protein di
dalamnya. Mengembalikan roda ekonomi khas masyarakat pesisir. Bagi mereka hidup
itu terus berjalan meskipun ada banyak hal getir yang sudah terjadi sebelumnya.
Semangat yang lahir dari masyarakat pesisir.
Petang jadi waktu yang begitu ramai, di sepanjang jalan dipenuhi
pedagang tiram di setiap kedai kayu. Harganya yang terjangkau menarik perhatian
penggemar tiram. Sejak dulu desa pesisir seperti Alue Naga dan Tibang menjadi
desa sentral produksi tiram yang ada di Kota Banda Aceh.
Tak dipungkiri bahwa jumlah konsumsi ikan masyarakat Aceh cukup
tinggi. Selama ini kita mengenai makanan laut kaya protein hanyalah ikan dan
mengabaikan tiram. Jumlah yang melimpah bisa jadi alternatif saat harga ikan
mahal atau nelayan tak pergi melaut. Bukan hanya itu saja, lezatnya tiram
begitu menggugah selera.
Tiram menawarkan kelezatan tiada tara, mengandung banyak nutrisi
yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang selama ini sulit ditolak lezatnya,
apalagi kuah tiram berbalut racikan gulee tirom (kari tiram) khas Aceh
Besar.
Saya pun tak bisa menolaknya, belum lagi nenek saya tak pernah
absen memasaknya saat saya pergi ke rumah beliau. Kandungan dari tiram
mengandung mineral penting dari zat besi, kalium, dan kalsium namun rendah lemak.
Menyusuri Potensi Terpendam Tiram di Desa Tibang
Para wanitanya bukanlah para wanita lemah, ketangguhan perempuan
Aceh sudah harum namanya sejak Laksamana Malahayati. Seorang wanita yang mampu
memimpin pasukan Aceh melawan penjajah dari Portugis. Aura keberanian dan
pantang menyerah masih bergelora pada wanita pesisir Aceh.
Kini pun sama, wanita Aceh pesisir rela berpeluh keringat dan
bermandikan lumpur. Mencari koloni tiram yang mengendap di dalam lumpur, seakan
wajah hitam legam dibakar terik matahari. Semua itu sebagai penyambung hidup
masyarakat nelayan Desa Alue Naga dan Tibang, Harga jualnya begitu tinggi dan jadi pekerjaan
sampingan para ibu-ibu selepas asar dan ketika para suami pergi melaut.
Keesokan harinya, Tiram yang sudah didapatkan kemudian dikupas dan
dijual dalam plastik di persimpangan Jembatan Krueng Cut. Lokasinya berada di
pintu masuk desa mereka, sangat jarang ada yang membelinya langsung ke desa
mereka. Selain itu harga jualnya relatif murah, berkisar dari 7-12 ribu setiap
kantongnya. Tidak setara dengan usaha dalam mengumpulkan tiram seharian.
Para pencari tiram yang mayoritas wanita menghabiskan waktu hingga
4 jam sehari di dalam genangan air, jelas ini tak baik bagi kesehatan pencari
tiram. Para wanita pencari tiram bisa terkena berbagai risiko dari kutu air,
gangguan reproduksi hingga bisa mengarah ke kanker serviks.
Ancaman lain datang dari cemaran sungai Krueng Aceh yang
mengancam konsumen tiram dan kerang. Berdasarkan riset yang telah diteliti,
kadar kandungan logam Kadmium sudah melewat ambang batas. sifat filter
feeder pada tiram punya mampu menyaring partikel organik setelah
terakumulasi di dasar sungai. Bila konsumen mengonsumsi dalam jumlah banyak dan
lama, berdampak pada gangguan kesehatan serius seperti stroke bahkan kanker.
Potensi besar ini jadi berkah andai saja dioptimalkan melalui
teknologi tepat guna. Hingga akhirnya salah seorang Dosen Fakultas Kelautan dan
Perikanan Unsyiah, Ichsan Rusydi mencoba terobosan baru dalam mendapatkan tiram
dengan mudah higienis.
Kegundahan Ichsan dan Mahasiswanya, Berbuah Ide Cemerlang
Setiap harinya Alue Naga dan Tibang selalu saja lokasi yang Ichsan Rusydi
lintasi sendari pulang dari kampus. Pemandangan pencari tiram yang berpeluh
keringat dan bermandikan lumpur di siang hari membuat hati beliau gundah. Profesi
yang sudah dijalankan secara turun temurun warga di Desa Alue Naga dan Tibang,
Dua desa nelayan yang tergolong miskin di Kota Banda Aceh, selama
ini sering terabaikan. Hati beliau terketuk sembari pikiran mencari solusi
terbaik untuk kedua desa tersebut. Profesi tersebut seakan tak manusiawi, kini
beliau coba memanusiakan manusia dengan teknologi terpadu.
Cara pertama yang Ichsan lakukan adalah dengan melakukan temu-ramah
dan wawancara warga yang berprofesi sebagai pencari tiram. Berbagai keluh-kesah
dan kendala meluncur dari mulut pencari tiram, mereka selama ini kesulitan
mencari tiram ditambah lagi harga jual tiram seakan tak cukup memenuhi
sehari-hari.
Artinya ada dua masalah yang harus Ichsan hadapi, kendala dan
tantangan tersebut coba dipecahkan, beliau tak sendiri dalam bekerja. Mengajak
partner dari mahasiswa FKP Unsyiah dalam mewujudkan konsep rumah produksi tiram
yang diidam-idamkan masyarakat.
Awal mulanya Ichsan bersama tim melakukan sosialisasi terhadap masyarakat
dalam mendapatkan tiram harus di sungai atau pinggiran hutan mangrove.
Kebisaan itu sudah turun-temurun dulu, awalnya masyarakat banyak yang merasa
tak setuju ide tersebut.
Menurut beliau, penolakan itu adalah hal wajar karena sebagian
masyarakat masih beranggapan jumlah tiram di alam lebih banyak dibandingkan di
lokasi budidaya. Masyarakat merasa tak basah dan bergumul di dalam lumpur seharian,
bukanlah mencari tiram.
Kemudian Ichsan bersama tim melakukan edukasi dan pelatihan
dilakukan dalam mekanisme budidaya tiram menggunakan penerapan teknologi
floating culture. Selain memangkas waktu berendam di dalam air, masyarakat
punya lokasi sendiri dalam mengambil tiram dan mengurangi persaingan antar pencari tiram.
Konsepnya dari rumah tiram yang Ichsan tawarkan menggunakan pola
kemitraan. Selama ini bantuan barang jadi yang pemerintah berikan, saat rusak
masyarakat tidak bertanggung jawab terhadap barang tersebut. Masyarakat tak
diberikan barang jadi ataupun uang tunai, melainkan dibuatkan secara
bersama-sama. Otomatis cara ini dinilai akan menghidupkan rasa bermasyarakat
dan saling memiliki terhadap teknologi yang ditawarkan.
Kendala berat lain yang dihadapi adalah perasaan iri hati dari
masyarakat. Ketika satu orang tak mendapatkan bantuan, yang lain merasa risi
dan kecewa. Solusi yang Ichsan lakukan adalah dengan melakukan pendataan dan
pemberian secara bertahap. Semua masyarakat yang layak, berhak mendapatkan
bantuan karena Program Astra dilakukan secara berkelanjutan hingga tahun 2022.
Solusi Memindahkan Pencari Tiram ke Rumah Tiram
Kehadiran Astra di Desa Tibang barulah seumur jagung dan
menancapkan kakinya sejak 2017. Sesuai dengan MoU selama 5 tahun dengan pihak
Astra. Mata batin Ichsan seakan terketuk saat mendengarkan pemaparan Astra
terhadap pengembangan kreativitas masyarakat. Ini membuat beliau memberanikan
diri melakukan inovasi sekaligus aplikasi ilmu kelautan dan perikanan selama
ini.
Tujuan dari Ichsan Rusydi, menjadikan Desa Tibang dan Alue Naga
sebagai Desa Sentra Pembudidayaan Tiram yang ada di ujung daerah ibu pertiwi. Berbekal
dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah, tercetus ide penerapan
budidaya tiram dengan menggunakan material ban bekas. Media ban bekas dinilai
aman sebagai lokasi melekatnya tiram.
Inovasi
dilakukan dengan teknologi floating culture atau lebih dikenal dengan
budidaya tiram secara terapung. Selama ini floating culture yang
digunakan masih mengandalkan material sederhana yaitu penyangga berbahan bambu.
Digantikan dengan pipa paralon HDPE yang sudah diisi material semen padat,
supaya proses penanaman di dasar perairan berlangsung mudah dan pipa tidak
bengkok diterjang arus pasang surut di bendungan.
Alhasil setelah proses pemindahan, kandungan ambang batas logam berat pada tiram turun. Tiram yang berhasil panen pertama kali di rumah produksi tiram langsung di uji laboratorium. Hasilnya cukup melegakan, angka Timbal yang sebelumnya ada di angka 0,04 menjadi 0,01 dan Kadmium dari 0,98 turun menjadi 0,01. Angka tersebut sudah berada di batas aman konsumsi dan higienis untuk dikonsumsi konsumen penggemar tiram.
Alhasil setelah proses pemindahan, kandungan ambang batas logam berat pada tiram turun. Tiram yang berhasil panen pertama kali di rumah produksi tiram langsung di uji laboratorium. Hasilnya cukup melegakan, angka Timbal yang sebelumnya ada di angka 0,04 menjadi 0,01 dan Kadmium dari 0,98 turun menjadi 0,01. Angka tersebut sudah berada di batas aman konsumsi dan higienis untuk dikonsumsi konsumen penggemar tiram.
Setelah proyek ini berhasil, masyarakat yang sebelumnya skeptic pun
tertarik dengan konsep tersebut. Dinilai lebih efisien terutama menggunakan pipa
paralon. Selama ini masih mengandalkan batang bambu yang rentan rusak. Selain
konsepnya terlihat futuristik bagi siapa saja yang melintas ke desa mereka.
Konsep Futursitik dari Rumah Tiram Karya Ichsan
Tercetus ide di pikiran beliau membuat rumah tiram yang modern dan
enak dipandang dari kejauhan. Selama ini rumah tiram yang berdiri berbahan
material bambu. Warna tak lama menguning dan kemudian perlahan rapuh terendam
air payau.
Awal mula estimasi usia bambu bisa bertahan 2 tahun, nyatanya 6
bulan sudah mulai tak layak. Rumah tiram yang baru saja panen seakan perlahan
mulai lapuk karena pendeknya usia bambu. Belum lagi untuk mendapatkan bambu pun
tergolong sulit. Harganya pun hingga Rp40.000 setiap batangnya dan masyarakat
harus mencarinya hingga ke Blang Bintang, Aceh Besar.
Material bambu pun kurang kokoh beban ban yang digantung di
atasnya. Pada beberapa sisi mengalami penurunan drastis bahkan cenderung
ambruk. Tak jarang kata masyarakat sekitar, serpihan bambu bisa saja menusuk
anggota tubuh pencari tiram. Bila dihitung-hitung, biaya menggunakan pipa
paralon HDPE tak jauh beda.
Beliau pun berpikir keras dan solusi yang beliau tawarkan adalah
konsep rumah tiram berbahan pipa paralon HDPE yang sudah diisi material beton
padat. Biayanya memang lebih mahal, tapi dijamin bisa tahan hingga 5-6 tahun
sebelum diganti. Sebelumnya beliau memperlihatkan bagaimana mekanisme pembuatan
proyek rumah tiram. Warga pun terperangah dan ingin mencobanya, menggantikan
bambu-bambu kusam yang ada di lokasi rumah tiram milik mereka.
Proses pembuatannya pun tergolong mudah, terlebih dahulu memilih
lokasi pembuatan rumah tiram. Lokasi pilihan ada di bendungan Desa Alue Naga
yang berbatasan dengan Desa Tibang. Ichsan pun menjelaskan bagaimana mekanisme
pembuatannya. Awal mulanya pipa paralon yang sudah diangkut menggunakan sampan.
Ada sejumlah pekerja dari masyarakat sekitar, pada proses
pemasangan membutuhkan 4-5 orang dewasa. Mereka siap menanam pipa beton ke
dasar bendungan. Waktu yang dipilih umumnya jelang petang hari. Saat air di bendungan
mulai surut dan proses pemasangan relatif mudah. Tugasnya mulai dari menyedot
air di sekitar lokasi tiang pancang, memasukkan pipa ke dasar bendungan serta
membawa pipa menggunakan sampan.
Proses pengerjaan kata beliau memakan waktu hingga dua hari,
tergantung hingga fondasi sudah cukup kuat. Lalu tinggal bagaimana
menyambungkan antara setiap tiang dengan tiang lainnya. Ini harus cukup kuat
dan presisi, nantinya di setiap ruang tiang akan disangkutkan rumah tiram dari
ban bekas.
Proses menggunakan ban bekas juga dibagi, apakah memakan bagian
luar dari ban atau bagian dalam. Media ban nantinya akan melekat koloni tiram.
Butuh waktu sampai enam bulan hingga masa panen tiba. Waktu yang cukup lama
tapi menurut Ichsan, andai saja ada begitu banyak rumah tiram. Proses panen
bisa dilakukan setiap harinya.
Warga pun tak perlu lagi mencari tiram di sepanjang Krueng Aceh
atau areal lainnya, Cukup dengan naik sampan, tiram bisa langsung diangkat dan
dipanen kemudian dibawa pulang ke rumah. Bahkan menurut Ichsan, ukuran tiram
adi lebih besar hingga 7 cm dan sudah melebihi standar ekspor tiram. Kini
tinggal memanen lezatnya tiram di rumah produksi dan mencarikan yang layak
untuk para pencari tiram.
Sesuatu yang sangat diperhatikan oleh Ichsan pelaksanaan pilot
project adalah meningkatkan ekonomi masyarakat. Asumsinya bila dalam satu
unit rumah tiram terdapat lebih dari 4.000 unit ban bekas lokasi koloni tiram. Modal
yang dikeluarkan setiap ban kisaran Rp10.000 yang berarti 40 jutaan. Setiap
harinya dilakukan proses pemasangan 10-15 ban bekas, dalam setahun total ada
4.000 unit ban yang terpasang.
Saat musim panen, siklusnya pun berputar karena setiap ban akan
panen. Asumsinya bila di dalam satu ban mampu menghasilkan empat kaleng susu
(setara 250 gram) dengan harga jual Rp10.000. artinya masyarakat mendapatkan
Rp40.000/ban dan itu sudah cukup menguntungkan karena setiap 1.000 ban sudah
mampu mengembalikan modal peternak tiram.
Ichsan Rusydi Permata Aceh di SATU Indonesia Award
Segala dedikasi yang dilakukan dengan tulus selalu berbuah manis
dan apa yang dilakukan Ichsan Rusydi patut diapresiasikan. Melalui Program Satu
Indonesia Award, beliau berhasil memadukan teknologi tepat guna dalam meningkat
ekonomi masyarakat. Mengalahkan ribu proposal lainnya yang datang dari penjuru
negeri.
Selama ini teknologi perikanan untuk bisa direalisasikan tergolong
mahal, tapi Ichsan bersama tim mampu berkolaborasi menghasilkan rumah produksi
tiram berbiaya rendah tapi efisien. Bermodal barang loak terpakai seperti ban
bekas yang selama ini hanya jadi barang olahan di bengkel atau bahkan jadi
sarang jentik nyamuk.
Ban bekas disulap menjadi media optimal si tiram hidup dan
membangun koloninya secara teratur. Pencari tiram pun tak harus meraba-raba
tiram di dasar sungai lagi dan mempersingkat waktu mencari tiram hanya pada
satu titik saja. Pemerintah pun tertarik dengan program tersebut dan memberikan
program khusus untuk terus mengembangkan Desa Alue Naga dan Tibang menjadi
sentra produksi tiram.
Ide brilian tersebut seakan berdampak besar, bermula dari
kegundahan dan pengaplikasian konsep pengembangan budidaya seakan berbuah
manis. Ichsan bersama tim berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi Semangat
Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award di tahun 2016.
Tak berhenti di situ saja, itu baru jalan kecil dalam merajut sentra
pengembangan ekonomi tiram melalui Rumah Produksi Tiram. Kini rumah tersebut
dalam proses pembangunan dan akan rampung akhir tahun ini. Bahkan Walikota Kota
Banda Aceh berjanji akan membangun Jembatan Alue Naga yang selama ini terputus
pasca tsunami. Mendongkrak dan menghapus Alue Naga dan Tibang yang sebelumnya
hanya desa pesisir miskin, berubah menjadi desa produktif.
Kemudian melalui kerja sama Astra Indonesia dengan Rektor
Universitas Syiah Kuala, lahirlah sebuah kesepakatan dalam pengembangan yang
lebih. Bukan hanya sebatas kelompok usaha tiram saja, tapi segala aspek
kampung. Melalui Program Kampung Berseri Astra (KBA) di Alue Naga.
Bila di Alue Naga sudah termasuk di dalam Kampung Berseri Astra
(KBA) menjadi desa yang asri dari lingkungan, masyarakat yang cerdas, sehat,
dan punya sentra ekonomi yang mumpuni. Tibang tak mau kalah dengan membangun
Yayasan Pendidikan Kemaritiman Indonesia, Penggagasnya adalah Ichsan Rusydi.
Ada empat pilar yang dibangun dari CSR Astra yaitu sentra
pendidikan, UMKM, lingkungan, dan kesehatan. Elemen tersebut akan terus
dilakukan semenjak awal mula Astra berpijak di Desa Alue Naga pada September
2017 silam. Serta di tahun 2018 menunjuk pihak Filantra sebagai mitra KBA di
seluruh Indonesia.
Petani Tiram Merasakan Manisnya Teknologi Rumah Produksi Tiram
Pendapatan
peternak tiram pun ikut meningkat drastis setelah teknologi budidaya tiram floating
culture menggunakan ban bekas. Salah satu penelusuran warga setempat yang
berada di dekat lokasi rumah produksi. Mak Salbiah adalah salah satu wanita
tangguh yang merasakan manisnya teknologi budidaya tiram.
Awal
mulanya masyarakat sedikit skeptis penerapan teknologi bisa diaplikasi pada
tiram. Sejak kecil beliau setiap harinya bergumul di dalam dinginnya air
sungai. Mungkin hanya hujan deras dan sakit yang menghalangi beliau turun
mencari tiram. Waktu tersebut tidak baik kata beliau, ukuran tiram menyusut
akibat jumlah air tawar yang meningkat.
Profesi
mencari tiram sudah beliau lakukan sejak kecil, ingatan lama beliau seakan
bermain. Ia menceritakan saat masa konflik DI/TII di Aceh medio 60-an, beliau
sudah mencari tiram. Membantu tugas orang tuanya kala itu. Kini sudah lebih
setengah abad profesi ini beliau jalani, tak terlihat tanda penurunan fisik.
Mak Salbiah dan Profesinya mencari tiram lebih setengah abad |
Dedikasi
mencari tiram mulai berbuah manis, beliau mengatakan pendapatannya meningkat drastis.
Selama proses pembangunan rumah tiram, omzet yang didapatkan mulai dari 100-200
ribu/hari. Dulu butuh beberapa hari untuk bisa pendapatan sebesar itu.
Mak
Salbiah mungkin tak perlu repot-repot lagi berendam di dasar bendungan. Kini
beliau hanya sibuk bagaimana mengupas kulit tiram dari cangkangnya,
membersihkannya dan membawanya ke pasar. Senyumnya merekah, ekonominya membaik
dan beliau bisa mempersiapkan tabungan hari tuanya hanya dari memanen tiram.
Sama halnya dengan pasangan suami istri Asnawi dan Mulyana. Kala
itu hari mulai petang, saya pun menyempatkan waktu datang ke lokasi rumah
produksi tiram. Matahari mungkin ingin kembali ke peraduannya. Mata saya pun
tertuju pada beberapa petani tiram yang berhasil ditemui. Salah satunya
pasangan suami istri, Asnawi dan Mulyana.
Petang itu Pak Asnawi sedang mencari kerang hijau yang kemudian ia
letakkan di rumah produksi tiram miliknya. Ia bercerita panjang lebar setelah
naik darat, saat ini omzet dari mencari tiram meningkat drastis. Dari
sebelumnya hanya berhasil diharga Rp10.000 – Rp15.000 saja, kini harga tiram
diharga lebih tinggi hingga Rp20.000. Jumlah yang dihasilkan lebih banyak dan
beliau bercerita setiap harinya, minimal ada empat mug tiram yang didapat.
Khusus Ibu Mulyana, beliau termasuk dalam 106 peserta pelatihan
mengenai budidaya tiram menggunakan ban. Pihak yang terlibat terdiri dari 60
petani tiram, 16 nelayan, dan 30 santri dayah. Para peserta nantinya akan
diberikan sertifikat bahwasanya mereka sudah kompeten dalam proses budidaya
tersebut.
Tak hanya proses budidaya, di Rumah Produksi Tiram masyarakat diajarkan
berbagai keterampilan pengolahan tiram menjadi makanan olahan seperti nugget,
kerupuk tiram, dan dimsum. Ichsan menilai harus ada kemandirian warga
dalam membangun sentra UMKM yang berkelanjutan.
Tiram mampu menjadi sentra UMKM berkualitas dengan berbagai produk,
salah satu pencari tiram sukses banting stir ke bisnis kuliner adalah Kak
Maryati. Bermodal dari uang tabungannya, ia memberanikan diri mengolah tiram
menjadi lebih berharga. Caranya dengan mengolah tiram jadi kerupuk.
Bahan baku seperti tepung terigu, garam, dan jeruk nipis jadi
pendukung keripik tiramnya. Setelah proses itu, saatnya Kak Mar membentuk hasil
olahan tiram menjadi ukuran bundar. Sebelum akhirnya dijemur di terik matahari,
hingga menghasilkan kerupuk yang renyah saat digoreng.
Kerupuk tiram Kak Mar sudah memiliki branding dan kemasan
yang sangat baik. Seakan tidak menggambarkan itu adalah usaha rumahan yang
dibuat secara kecil-kecilan. Kak Mar adalah salah satu contoh wanita Alue Naga
yang berhasil mengubah peluang tiram menjadi bisnis UMKM menjanjikan.
Ada banyak ibu-ibu serupa yang cara serupa, nugget dan dimsum
yang semula berbahan baku sapi. Kini sudah tersedia dengan bahan baku tiram. Harga
jualnya sudah pasti lebih mahal dibandingkan hanya menjual secara mentah.
Salah satunya kerja sama pemerintah bersama Astra sedang membangun
Rumah Produksi Pengolahan Tiram yang terletak di Desa Alue Naga. Pembangunan
rumah produksi tiram akan membantu masyarakat dalam proses pengolahan tiram
menjadi lebih baik lagi.
Tergambar dari potensi pengembangan kuliner, semuanya begitu
kentara karena Desa Alue Naga dan Tibang begitu dekat dengan Pulau Weh. Hanya hamparan
lautan yang memisahkan mereka berdua. Pemandangan matahari terbenam di ujung
pantai Alue Naga menarik hati banyak pengunjung dalam menghabiskan waktu
sorenya, masyarakat sadar ini adalah peluang bisnis yang menjanjikan.
Mulai berdirinya cafe dan warung dengan pemandangan pantai, sekaligus
membuka peluang objek wisata baru yang Desa Alue Naga dan Tibang tawarkan.
Investor pun tak ragu melihat potensi tersebut seperti mendirikan restoran atau
cafe dengan menu olahan tiram milik masyarakat. Otomatis masyarakat sangat
terbantu, tak hanya tiram yang dihasilkan menggunakan teknologi. Serta
masyarakat mampu menjual olahan tiram dengan harga terbaik.
Sekaligus membangun kerja sama dengan sejumlah rumah makan dan
berbagai pusat makanan di Banda Aceh. Khususnya dalam menjajakan tiram dan
kerang hijau. Ada banyak konsumen tiram dan kerang di Kota Banda Aceh dan
sekitarnya.
Ichsan Rusydi dan inspirasinya para desa di ujung negeri |
Cita-cita yang selama ini Ichsan Rusydi seakan mulai terwujud,
berawal dari kegundahan berbuah jadi inovasi untuk masyarakat sekitar.
Berdirinya Yayasan Pendidikan Kemaritiman Indonesia jadi salah satu dari sekian
banyak wujud pengabdian dedikasi dan kontribusi beliau terhadap masyarakat.
Astra pun tak salah memilih putera-puteri terbaik negeri dalam menyebarkan
semangat Astra dalam menginspirasi negeri. Mewujudkan enam pilir utama
membangun negeri, Ichsan Rusydi jadi garda paling barat Indonesia membangun Desa
Alue Naga dan Tibang melalui teknologi tiram tepat guna. #KitaSatuIndonesia #IndonesiaBicaraBaik. Semoga postingan ini menginspirasi dan Have a Nice Day.
0 komentar:
Post a Comment