Beberapa minggu terakhir mungkin Anda tak
asing dalam membuat platform sosial kenamaan WhatsApp dan Instagram. Ada
penambahan embel-embel tulisan “From Facebook” sebelum proses log in.
Menandakan bahwa Facebook punya andil atas kesuksesan keduanya sekaligus
memberi tahu kepada pengguna: ini mahakarya kami.
Bagi pengguna, ada beragam tanggapan. Mulai
dari yang menanggapnya tidak berpengaruh langsung hingga kesannya Facebook yang
terlalu “Memaksa”. Setiap orang punya pandangan masing-masing dalam
menyikapinya.
Menghapus Masa Kelam Facebook
Beberapa tahun terakhir Facebook seakan
digambarkan punya masa yang kelam. Berbagai kasus dan kegagalan bisnis seakan
menghantui sepak terjang Facebook. Selama ini Facebook dikenal sebagai platform
hoaks terbesar di dunia, platform yang tak menjaga data pengguna hingga kegagalan
bisnisnya dalam membangun mata uang kripto, Libra.
Kampanye #DeleteFacebook yang menjadi
trending setelah kasus Cambridge
Analytica beberapa tahun silam. Ada banyak perusahaan besar pun merespons
hal tersebut dengan menutup akun Facebook milik mereka karena khawatir data
perusahaan bisa saja tersebar.
Ini seakan membuat pengguna seakan mulai
melupakan Facebook. Sebagai contoh di Indonesia, yang masih setia menggunakan
Facebook hanyalah para orang tua dan orang yang baru mengenal dunia internet.
Main Facebook sudah ketinggalan zaman, kata anak muda.
Itu karena fiturnya yang
tak pernah berubah selama satu dekade terakhir ditambah sikap manusia yang
gampang bosan. Namun begitu, jumlah masih sangat besar. Setiap bulannya ada sebanyak 605 juta dengan rata-rata waktu pengguna hingga 10 menit-an.
Kasus di atas semakin membuat banyak pengguna
beralih, sialnya perusahaan hasil akuisisinya malah lebih besar dari perusahaan
induk sendiri. WhatsApp dan Instagram yang dulu bukan siapa-siapa, setelah
dibeli dan dipoles seakan menjadi lebih besar dari pemiliknya. Bagi anak muda,
lebih tertarik dengan sosial media Instagram atau WhatsApp jadi aplikasi sejuta
umat mengalahkan Messenger selaku divisi Facebook.
Kelemahan Facebook yang masih belum dibenahi
Selama ini Facebook punya banyak kendala,
mulai dari jaringan yang sering down, sistem enkripsi pengguna hingga
isu pencekalan di sejumlah negara. Belum lagi banyak orang menilai Mark jadi
orang yang sangat berbahaya, ia memegang data miliar orang penduduk bumi. Andai
saja disalah gunakan, ini sangat merugikan pengguna dan mengancam stabilitas
keamanan sebuah negara.
Ini yang membuat Facebook harus berbenah, bila
tidak Facebook hanya jadi sebuah brand mengalahkan divisi bisnis lainnya. Cara
yang dilakukan beragam, mulai dari mengubah algoritma dari Facebook terkait
ujaran kebencian, hoaks, dan spam. Selama ini tumbuh subur di Facebook dan
membuat pengguna kabur dan beralih platform.
Kendala ini membuat Facebook seakan kehilangan
pengguna, apalagi kini menggunakan penerapan algoritma baru dan sudah
diterapkan serupa dengan Instagram. Contoh lebih mengedepankan post dengan
interaksi dan komentar yang lebih sering muncul di timeline. Serta kegemaran
dan akun yang disukai akan lebih sering muncul, bukan mengedepankan siapa yang
pertama tapi siapa yang paling banyak interaksinya.
Kemudian dalam mengatasi kebocoran data, pihak
Facebook telah berjanji akan memperbaiki sistem penyimpanan cloud mereka
dari aksi peretas dan pencurian. Mulai dari mengajak kepolisian dan polisi
federal hingga menambah data center cloud di sejumlah negara agar mampu
menampung banyak data pengguna.
Teakhir adalah layanan end to end encryption
dalam penerapan layanan chat milik mereka salah satunya di WhatsApp. Selama ini
Facebook bekerja sama dengan pemerintah dalam memerangi hoaks, terorisme hingga
aksi kejahatan siber lainnya. Meskipun satu sisi dapat mengganggu privasi
pengguna, di sisi lain sangat membantu pemerintah.
Strategi Facebook Menjadi Lebih Besar
Membangun company branding, siapa yang
tak kenal Facebook. Hanya saja selama ini Facebook hanya platform sosial media
yang berdiri sendiri. Nyatanya Facebook bukan hanya sebatas platform, semenjak
berhasil IPO 18 Mei 2012.
Nilainya cukup fantastis kala itu saat IPO,
US$ 90 triliun dan langsung membuat Facebook menyandang sebagai perusahaan
teknologi. Sama halnya dengan Google, Apple atau pun Microsoft lakukan di
masanya. Mark Zuckerberg pun didapuk sebagai CEO muda kaya atas keberhasilan
tersebut, wajahnya pun sering terpampang di majalah bisnis dari Silicon Valley.
Setelah itu, Facebook tak pernah berhenti
dalam membuat strategi dan inovasi. Bila hanya mengandalkan Facebook dan
platform sosial media saja, usia Facebook tak akan lama. Di dunia digital ada
banyak disrupsi yang terjadi dalam waktu singkat. Salah satu memperkuat
perusahaan adalah dengan inovasi dan akuisisi.
Tujuan utama dari akuisisi adalah memperkuat
lini perusahaan jadi lebih solid. Sejak berdiri di tahun 2004 dan berhasil IPO
di tahun 2012. Facebook sudah begitu banyak melakukan akuisisi, total sampai
Bulan Desember 2019. Ada 82 perusahaan yang diakuisisi dengan nominal
menggiurkan, apakah dipublikasi ke publik atau tidak.
Setiap bulannya selalu saja divisi bagian
pengembangan di Facebook sibuk melakukan negosiasi terhadap startup mana yang
layak bergabung ke dalam Facebook Inc. Ada yang kemudian berhasil besar dan ada
juga yang seakan tenggelam atau bahkan gagal.
Dari sekian banyak, terlintas nama besar
seperti Instagram, WhatsApp, dan Oculus VR. Untuk ketiga perusahaan tersebut
pihak Facebook harus merogoh kocek sebanyak US$ 22 Miliar. Jumlah yang sangat
besar kala itu, khususnya WhatsApp yang harganya mencapai US$ 19 Miliar. Tapi
itu sebanding dengan kemajuan dan penggunanya, kini layanan buat Jan Koum jadi
media chatting sejuta umat.
Adanya tulisan “From Facebook” membuat
masyarakat tahu bahwa ada banyak perusahaan buatan Facebook. Bahkan yang selama
ini ia gunakan sehari-hari adalah produk milik Facebook. Sehingga masyarakat
awam tahu bahwa Facebook lebih dari sekedar platform sosial media tapi beragam
produk digital berbasis software dan hardware.
Terakhir adalah ide Facebook menyamaratakan
platform yang ia miliki. Persaingan yang begitu keras dari setiap aplikasi
sosial media membuat siapa yang tidak mampu berkreasi dan berinovasi lebih
berarti ia siap-siap mengali kubur sendiri. Namun yang tak mengenakkan adalah
inovasi yang nyaris sama satu sama lain. Ini yang coba Facebook terapkan.
Coba perhatikan, sekarang sudah hampir semua
sosial media besutan Facebook menggunakan Story, apakah itu Messenger,
Instagram, dan WhatsApp. Ada banyak kesamaan konsep yang ditawarkan dan
memperlihatkan sosial media tak punya keunikannya lagi.
Pada mulanya Instagram yang berpatok pada
layanan photo sharing dan WhatsApp yang berpatok sebagai instant
messagging. Setiap pengguna sosial media punya penggunanya sesuai segmen
yang ia inginkan. Tapi Facebook berkata lain dengan menerapkan bahwa menyama ratakan
semua platform untuk lebih kuat di sosial media.
Itu diperparah dengan sikap narsisme dan
arogansi direksi Facebook serta Mark sendiri. Selama ini Facebook dianggap
sangat arogan dalam berbagai hal, karena hampir ¾ sosial media yang digunakan
adalah miliki mereka. Jadi Facebook dinilai cukup jumawa dan membuat harus ada
verifikasi Facebook sebelum masuk ke platform milik mereka.
Sebagai perbandingan adalah Google+ yang sudah
mati, Twitter yang mulai kehilangan pengguna, Snapchat yang terjun bebas dan Ask
FM yang tak terdengar lagi. Mungkin pesaing terbesar adalah Tik Tok, tapi ia
lebih ke ranah music dan Facebook sudah mengantisipasinya dengan sejumlah fitur
musik milik mereka.
Apakah Perusahaan Teknologi Lain Melakukan Hal
Serupa?
Terlepas dari kontroversi yang Facebook
lakukan, nyata perusahaan teknologi lainnya pernah dan lebih dahulu
melakukannya. Hanya saja cara company branding yang dilakukan lebih
dalam penggabungan. Sebagai contoh Google sering melakukan akuisisi dan
jumlahnya lebih banyak dari Facebook.
Sudah ada 231 perusahaan yang dibeli dan
kebanyakan tetap berdiri sendiri. Tak jarang disematkan dalam lini produk
unggulan punya Google. Misalnya saja Waze yang bergabung dalam divisi Google
Map. Motorola dalam layanan produk Android. Hingga PostRank yang digunakan sebagai
layanan analitik terhadap Blogger milik Google.
Lalu Microsoft melakukan hal serupa dan
termasuk pionir Bersama Apple di akhir era 70-an. Sejak era 80-an sudah sangat
getol melakukan akuisisi, dan didanai. Cara Microsoft serupa dengan yang Google
lakukan, ia menambahkan platform tersebut pada layanan utama miliki mereka.
Salah satunya Windows, di dalamnya sudah ada Skype, Linkedin, GitHub, dan
bahkan Beam.
Termasuk membeli Nokia dan membuat software
Windows Phone, meskipun akhirnya gagal dan gagal bersaing dengan Android serta
iOS. Patut diacungi bahwa strategi Microsoft lebih jelas, ia membeli layanan
untuk kemudian mengembangkannya. Bukan hanya mendompleng nama seperti Facebook
seperti yang dilakukan untuk saat ini.
Serta promosi yang mereka lebih banyak
membantu perusahaan lainnya, peran Google dan Microsoft punya andil sangat
besar dalam beragam perangkat. Tanpa harus menaruh embel-embel From Google atau
From Microsoft. Tapi tetap saja, kedua perusahaan teknologi tersebut punya
pangsa yang berbeda dan tetap saja strategi marketing terselubung atau
terang-terangan tetap mereka lakukan.
Jangan salah juga, sebelum ada banyak perusahaan
teknologi dan digital melakukannya. Perusahaan konvensional sudah melakukan hal
serupa. Tren penerepan merk pada sub-merk sudah dilakukan dan sangat trend.
Salah satu perusahaan fashion yang pernah melakukan hal tersebut adalah Moss
Bros company. Ada banyak anak perusahaannya yang berkembang di bidang fashion
dan selalu saja menyertakan nama Moss di setiap sub-merk milik mereka.
Karena dianggap company branding, sekaligus
mengenalkan bahwa merk utama produk punya andil besar dalam berbagai sub-merk
lainnya. Mungkin saja, tanpa Facebook mengakuisisi Instagram atau WhatsApp, aplikasi itu hanyalah aplikasi sekedar numpang lewat di Play Store ponsel Anda.
Semoga psotingan ini bermanfaat dan Have a
Nice Day.
0 komentar:
Post a Comment