Kini segala lini industri yang ada di dunia
dalam ancaman hebat tak terkecuali dunia teknologi. Efek domino dari COVID-19
sangat terasa secara global dan dunia teknologi cukup terpukul dalam hal ini.
Pandemi yang berlangsung selama tiga bulan tersebut memberikan efek jangka
pendek dan jangka panjang.
Semua produsen yang bergelut di dunia
teknologi seakan ketar-ketir dibuatnya. Berawal dari China, imbasnya kini
merambat ke seluruh dunia. Pandemi tersebut berdampak besar buat banyak
manusia, sejumlah kantor, toko, dan pabrik tutup total. Pasokan teknologi dunia
makin terpuruk karena ada larangan terbang dari dan ke China.
Awan kelabu di tahun 2020 seakan belum usai,
hampir tiga bulan pertama jadi sesuatu yang pelik. Bila sebelumnya perang
dagang sudah mempengaruhi ekonomi dunia, pukulan itu berlanjut dengan pandemi
virus. Ini ibarat peperangan sebenarnya dan bahkan di luar dugaan banyak orang.
Alhasil ada begitu banyak ekonomi negara yang tertekan dan mengalami resesi.
Tahun 2020 jadi era dekade baru termasuk dalam
perkembangan teknologi, ada begitu banyak penemuan besar yang terjadi. Itu
dimulai dengan telah diuji cobanya teknologi 5G pada sejumlah negara, ini
pertanda dunia sudah memasuki dimensi baru. Tapi petaka di awal tahun seakan
mengacaukan skenario tersebut, virus misterius datang dan semua jadi tak sesuai
rencana.
Berbagai pagelaran teknologi di awal tahun
jadi yang terakhir diadakan, sedangkan yang lainnya harus ditunda dari jadwal.
Virus yang awalnya hanya di China mendadak menyebar ke seluruh dunia, memang
pada awal bulan pertama hanya ada di China daratan. Tapi kini hampir semua
negara tak luput dari serangan tersebut.
Semua dunia sudah bahwa China menjadi tempat
para produsen teknologi dari dalam dan luar negeri membuat dan merakit
produknya. Para tenaga di sana begitu terampil dan punya kualifikasi kerja yang
sangat bagus tapi punya biaya miring. Bahkan gadget yang kita gunakan hampir
sebagian besar dirakit dan diproduksi di China. Saat COVID-19 menyerang, itu
artinya ada begitu banyak stok produksi yang berhenti.
Perusahaan teknologi besar seperti Apple,
Samsung, Tesla, Google hingga Foxconn mulai mengumumkan penutupan kantor
korporasi, pabrik manufaktur hingga ritel yang ada di China. Dampak begitu
besar, alasannya karena China menjadi pangsa yang begitu besar buat perusahaan
teknologi. Ada ceruk yang begitu besar tak dipunyai negara lain. Selain
produsen dan perakit, mereka juga target besar perusahaan teknologi dunia.
Saat ekonomi China dirongrong oleh virus,
otomatis seluruh dunia panik. Banyak pekerja pabrik yang harus dirumahkan
hingga virus mereda. Apalagi Provinsi Hubei dari beberapa Provinsi satelit
lainnya jadi daerah industri China. Selama dua dekade terakhir China mampu
mengubah setiap provinsi dari sentra pertanian ke industri.
Wabah tak kalah menakutkan dari perang dagang
Selama ini penduduk bumi sering menakutkan
perang dagang dan perang nuklir di masa depan. Negara adikuasa Amerika seakan
menabuhkan perang pada pesaingnya. Ini yang paling ditakutkan, ketegangan dan
bahkan saling serang yang berujung kehancuran.
Saya pun seakan mengembalikan memori setelah
menonton salah satu TED Talk. Pemateri utama yang mengisi seminar kala itu
adalah Co-Founder Microsoft, Bill Gates. Ia bercerita banyak mengenai bahaya
wabah yang mengintai banyak umat manusia. Bahkan yang selama ini masyarakat
dunia takuti adalah perang nuklir atau bahkan krisis global.
Nyatanya virus misterius bisa mengancam, tanpa
adanya vaksin akan ada 60 juta korban yang terjangkit di era modern. Ketakutan
tersebut seakan semuanya jadi De Javu, kini muncul virus yang sebelumnya belum
ada. Sama-sama menyerang sistem pernapasan dan mengancam banyak manusia hingga
menjadi pandemi global.
Semuanya mengacaukan berbagai bidang, hubungan
panas USA dan Iran mendadak hilang, sengketa China dengan banyak negara lainnya
di Laut China Selatan seakan tak digubris lagi. Setiap negara kita fokus dalam
proses penghentian penyebaran virus dan himbauan masyarakatnya melakukan Physical
Distancing.
Cara ini tergolong efektif dalam proses
pemutusan penyebaran virus COVID-19. Sesuatu yang belum diketahui atau bahkan
populer seabad silam. Berbagai cara ini dinilai bisa menekan angka korban yang
terjangkit jadi lebih luas. Hingga akhirnya vaksin berhasil diuji para pasien
yang sudah terpapar.
Wabah dan Efek Jangka Panjang Terhadap Dunia
Teknologi
Nyatanya wabah dan pandemi lebih mengancam
dari itu semua, COVID-19 yang baru hadir 3 bulan terakhir membuat segala bidang
mendadak berhenti. Ekonomi berhenti, dunia hiburan, dan tentu saja produksi dan
peluncuran beragam teknologi terbaru harus ditunda dari waktu yang dijadwalkan.
Bahkan jumlah produk yang ingin diproduksi
terhambat, sudah pasti berpengaruh pada animo masyarakat dalam membeli
perangkat baru. Pandemi seakan membuat masyarakat lebih memprioritaskan
logistik dan kesehatan dibandingkan teknologi. Tidak upgrade gawai
terbaru bukan masalah, inilah yang dipikirkan oleh produsen teknologi. Menunda
lebih baik dibandingkan harus menanggung rugi penjualan di akhir tahun nanti.
Tapi dapat ini tidak terlalu dirasakan oleh Indonesia
karena negara kita sudah cukup mandiri dalam perakitan produk teknologi dari
luar negeri. Semenjak kebijakan dari kementerian Perindustrian di tahun 2016
mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Otomatis tak berpengaruh pada
produksi luar negeri khususnya China, sehingga tak ada kelangkaan produk. Hanya
saja pergerakan dolar yang terus meningkat berpengaruh terhadap daya beli
masyarakat.
Perkembangan Teknologi Kini Kurang Menggigit
Adanya lockdown dan karantina membuat
perusahaan teknologi melakukan karantina dalam teknologi. Selama ini teknologi
selalu begitu saja. Misalnya pada smartphone dan laptop hanya mengejar
ketipisan layar dan menaikkan sedikit performa tanpa perubahan berarti. Waktu
pandemi membuat para insinyur berpikir out off the box, sembari work
for home mampu menginspirasi ide baru di dunia teknologi.
Selama ini di dunia teknologi sangat dikenal
dengan istilah gimmick atau teknologi baru yang tak terlalu diperlukan
pasar. Perusahaan teknologi seakan berlomba untuk melakukan hal tersebut untuk
menarik pelanggan. Adanya pandemi seakan perusahaan teknologi bisa lebih jeli
dan matang dalam mempersiapkan sebuah produk. Waktu karantina karyawan dan
perusahaan memberikan inovasi baru setelah pandemi mereda.
Para pekerja perusahaan dari direksi, insinyur,
pekerja pabrik hingga seller bisa sedikit meluruskan kakinya di rumah.
Tak harus mengejar target pembuatan, perakitan, dan tentu saja penjualan. Kini
saatnya mereka kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga yang selama ini sulit
ditemukan akibat beban pekerjaan.
Perusahaan Teknologi Dunia yang Merana Akibat
Corona
Saat pertama kali melanda, ada begitu banyak
imbas yang dirasakan. Di awali dengan turunnya minat masyarakat dalam membeli ponsel
barunya, diperkirakan hingga 12% bila pandemi berlangsung hingga tengah tahun. Bahkan
akan lebih turun bisa terus berlangsung hingga akhir tahun.
Di pabrik hal serupa juga terjadi, untuk
menghasilkan sebuah komponen teknologi. Ada beragam komponen yang dibutuhkan
dari beragam perusahaan distributor. Bila saja pasokan komponen saja terganggu,
sudah pasti proses produksi akan terhambat. Bila lebih masif lagi, sudah pasti
pabrik utama akan tutup total.
Itulah yang terjadi di Foxconn selaku
perusahaan komponen terbesar di dunia. Mereka miliki 8 pabrik yang tersebar di
seluruh dunia, salah satu terbesar ada di China tepat kota Longhua Town,
Provinsi Shenzhen. Meskipun tak terlalu berdampak parah di China daratan, tapi
karyawan perusahaan dirumahkan untuk mengurangi persebaran COVID-19. Meskipun
sudah banyak menggunakan robot, tetap saja pengoperasiannya membutuhkan tenaga
manusia.
Bisnis perangkat game sangat terpukul
khususnya ponsel gaming dan konsol, di tengah permintaan tinggi tapi produksi
minim. Mulai dari ASUS ROG Phone 2 yang terbatas jumlahnya di pasaran dan tak
tersedia dalam waktu dekat.
Perusahaan konsol game terkemuka dari SONY dan
Oculus seakan menunda peluncuran produk mereka. Padahal khususnya SONY sudah berjanji
pada penggemarnya akan meluncurkan PlayStation 5 pada tengah tahun ini pada
acara Game Developers Conference (GDC), Pax East dan Sony e3 2020.
Lalu teknologi yang paling ditunggu-tunggu
pastinya jaringan 5G, China dianggap pelopor untuk internet super cepat
generasi kelima. Hanya saja proses itu harus molor karena pemasok perangkat
fiber optik umumnya berbasis di Wuhan, China. Mengejutkannya adalah Wuhan punya
kontribusi mengenai 25% produksi global serat optik dunia. Jadi, bagi yang
ingin merasakan internet 5G harus sedikit lebih bersabar lagi.
Terakhir adalah derita yang dirasakan oleh acara
teknologi dunia, semuanya harus batal atau ditunda hingga tahun depan. Memang bukan
hanya pameran teknologi saja, tapi hampir semua agenda dunia harus ditunda sampai
pandemi mereda. Seperti batalnya acara besar Mobile World Congress (MWC) 2020
di Barcelona. F8 Facebook, Google I/O, dan bahkan Computex.
Cara mengakalinya pun dengan peluncuran secara
digital atau bahkan mengirimkan langsung produk baru mereka pada influencer
dalam mencobanya. Bahkan proses penjualannya pun dilakukan secara online supaya
pembeli tak harus keluar rumah untuk mendapatkan produk teknologi terbarunya.
Ada sejumlah perusahaan besar dunia yang
menanggung rugi dan berbagai kebijakan yang ia lakukan dalam pandemi COVID-19.
Saya pun akan menjabarkan sejumlah perusahaan tersebut, berikut infografisnya.
Kesimpulan Akhir
Setiap musibah yang menimpa pasti ada hikmah
panjangnya bila direnungkan. Berbagai penundaan produksi, peluncuran hingga
pameran teknologi sudah pasti berdampak besar. Perusahaan teknologi bisa rugi
besar, hanya saja faktor kesehatan lebih penting dibandingkan segalanya.
Bila semua elemen orang yang berkecimpung di
dunia teknologi terbebas dari penyakit pandemi COVID-19. Otomatis setelahnya semua
pihak bisa menata kembali teknologi yang tertunda sembari mematangkan inovasi
terbaru di masa depan. Toh bila semua elemen tersebut sakit dan konsumennya
sakit, siapa yang membuat dan membeli?
Semoga postingan ini menginspirasi Stay Clean,
Stay Healty, Have a Nice Days.
0 komentar:
Post a Comment