Bangsa yang besar pasti menghargai ilmu pengetahuan,
menempatkan buku dengan penuh kemuliaan. Menjadikan bacaan sebagai bagian
penting kehidupan, fondasi bagi melesatnya berbagai kemajuan.
Apalagi republik ini didirikan orang-orang yang gila
membaca, tekun bergelut dengan segala ide dan kata-kata. Sudah seharusnya
negara bersikap serius pada literasi, menyiapkan generasi yang mencintai
argumentasi.
Jangan biarkan anak-anak tumbu dalam taklid buta, yang
dididik hanya untuk tunduk begitu saja.Dengan budaya membaca di atas rata-rata,
sebuah bangsa punya modal untuk menjadi istimewa.
Rakyatnya akan berwawasan luas dan terbuka, yang tak
minder dalam menghadapi dunia. Sanggup bersaing dalam penemuan, produktif dalam
penciptaan, bukan bangsa konsumen bak sapi perahan. Ini tantangan yang harus
kita upayakan sepenuh hati, bersama turun tangan untuk gerakan literasi.
Mungkin itu merupakan kutipan
dari Najwa Shihab, seorang jurnalis, duta baca dan pegiat literasi negeri ini.
Ia sadar akan besarnya kemampuan membaca berbanding lurus dengan pengetahuan.
Menebarkan virus-virus membaca khususnya para generasi muda, kemampuan literasi
Indonesia masih sangatlah lemah.
Kemampuan membaca yang baik dan
lahap akan memantik rasa percaya diri dalam menulis dan yakin pada diri sendiri
bahwa menulis adalah sesuatu yang penting. Seorang penulis andal tak lahir
dengan sendirinya, ia punya proses panjang yang dilalui termasuk memenuhi
memorinya dengan bacaan berkualitas. Penulis yang baik adalah pembaca yang
lahap serta modal investasinya dalam kehidupan.
Tak semua itu masih cukup sulit
diwujudkan dalam waktu dekat, menghasilkan penulis yang lahap membaca masih
tergolong sulit. Ada jurang besar yang menganga, lalu data dari Central
Connecticut State University tahun 2016 didapatkan bahwa peringkat minat
baca anak negeri terpuruk di posisi 60 dari 61 negara, hanya kalah tipis dari Botswana.
Bahkan data Perpustakaan
Nasional di tahun 2017 menunjukkan bahwa frekuensi baca masyarakat Indonesia
hanya tiga sampai empat kali setiap minggunya. Serta jumlah buku yang dibaca
hanya lima hingga sembilan buku dalam setahun.
Efeknya
cukup besar, ada begitu banyak literasi yang terabaikan dari kemampuan membaca
yang rendah. Sangat mudah terpapar hoaks, ujaran kebencian hingga teori sesat
pikir tanpa dicari kebenarannya. Terbukti dengan data dari World Atlas tahun
lalu yang menempatkan Indonesia di posisi 107 dari 196 negara dengan tingkat literacy
rate yakni sebesar 92,8%.
Berbicara mengenai jumlah
pustaka dan infrastruktur, Indonesia tidaklah kalah dengan negara lainnya. Bahkan
punya jumlah perpustakaan terbanyak di dunia setelah India yakni 164.610. Hanya
saja minat baca dan jumlah kunjungan ke perpustakaan masih sangatlah kurang. Perpustakaan
dinilai oleh anak milenial sebagai tempat yang tidak terlalu menarik, mereka
lebih senang ke cafe atau kedai kopi dalam menghabiskan waktu dalam belajar.
Menghidupkan Pustaka sebagai Akses Literasi dan Edukasi
Menciptakan bangsa yang kuat dan
berwawasan luas dimulai dari cara menyesuaikan buku bacaan dengan generasi saat
ini. Ada begitu banyak buku yang ada di ruang baca atau perpustakaan yang sudah
ketinggalan zaman. Bahkan buku yang tersedia pun relatif hanya berupa buku
kurikulum dan buku yang sudah ketinggalan zaman.
Bagaimana bisa meningkatkan
minat baca, jika saja konten buku yang tersedia tidak menarik dan dianggap
menjemukan oleh milenial. Makin lengkap dengan suasana perpustakaan serta ruang
baca yang tidak punya nilai lebih.
Apalagi saat ini pengunjung tak
harus datang langsung ke sana karena pustaka kini punya konsep digital dalam
pengaplikasiannya. Zaman semakin fleksibel termasuk dalam proses menyerap dan
mendapatkan ilmu. Akses tanpa batas seperti internet menjadi daya tarik sebuah pustaka.
Pengunjung bisa mengakses beragam buka yang ada di sana hingga mencari
referensi lainnya di dunia maya.
Harus ada perubahan besar, bila
tidak setiap ruang baca dan pustaka harus kehilangan pengunjungnya. Mereka yang
datang mungkin hanyalah mencari tugas atau bahkan terjebak dengan tugas akhir. Pustaka
harus membaca perubahan ini dalam memikat para milenial kembali sekaligus
membangun literasi bangsa.
Membaca, membuka cakrawala dan
koneksi dari dunia luar
Dunia kampus punya sesuatu yang
berbeda dengan dunia kerja, mungkin saja menjadi dunia yang selama ini dicari
oleh para lulusan kampus. Hanya saja jalannya terjal dan bahkan bertolak
belakang dunia kampus. Alhasil ilmu yang didapatkan seakan tidak terpakai sepenuhnya.
Sebagai acuan di tahun 2018, salah satu
lembaga pendidikan yang mengukur skor pendidikan sebuah negara yaitu PISA (Programme
for International Student Assessment) di bawah OECD. Mereka melakukan
proses perhitungan skor dari tiga item pada anak di bawah 15 tahun di sebuah
negara yaitu kemampuan membaca, matematika, dan sains. Alhasil Indonesia hanya
berada di peringkat 70 dari 78 negara yang disurvei oleh PISA.
Sesuatu yang tergolong buruk dan
mengecewakan, ada sesuatu yang salah dari pendidikan di tanah air. Siswa lebih
banyak diajarkan menghafal sebuah pelajaran dibandingkan dengan memahaminya.
Alhasil di bidang industri, kemampuan yang dibutuhkan industri tidak link
and match dengan kebutuhan. Salah satu penyebabnya karena terlalu teksbook
dan tidak mau keluar dari zona nyaman.
Pengetahuan yang kita pelajari di dunia
sekolah kebanyakan tidak terlalu terpakai di dunia kerja dan industri. Di sisi
lain, perkembangan industri berubah sangat cepat dan berakibat banyak lulusan
tidak terserap lapangan pekerjaan. Industri kesulitan mencari calon pekerja
yang ia inginkan, bahkan harus ada pelatihan lanjutan agar pekerja bisa
beradaptasi dengan dunia kerja.
Sebagai contoh, mungkin dahulu pekerjaan
seperti programmer sangat langka, di era Revolusi Industri 4.0 Seakan
pekerjaan tersebut sangat dibutuhkan, kebutuhannya baru ada di masa depan.
Sedangkan di sekolah pelajaran seperti ini tidak ada, alhasil para lulusan
harus belajar sendiri untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri.
Tak hanya dunia kerja saja, di dunia
pendidikan tidak diajarkan berbagai kreativitas dan pengembangan ide di masa
depan. Ada banyak yang dahulunya tidak ada namun kini ada, misalnya saja konten
kreator. Ini mengharuskan banyak kreator terlambat mengembangkan bakatnya, sesuatu
yang tidak begitu istimewa.
Lalu, untuk apa jaminan survei yang
dilakukan PISA terhadap masa depan anak atas pendidikan yang ia dapatkan.
Ketiga elemen yang diukur yaitu kemampuan membaca, matematika, dan sains. Skor
PISA cukup berpengaruh terhadap para peserta didik, apakah nantinya masuk ke
dunia kerja atau industri, bahkan berkontribusi lebih pada masyarakat. Ia pun
dengan mudah beradaptasi dengan dunia digital yang begitu dinamis saat ini.
Pustaka menjadi koneksi ilmu generasi
kita dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu. Bagusnya pengelolaan pustaka
berbanding lurus dengan pola pendidikan dan masa depan generasi. Ada banyak
lahir orang-orang hebat dari pustaka, membuka cakrawala pengetahuan dan
memberikan perubahan pada dunia.
Pesona Pustaka dalam Memikat Pengunjung
Mengembalikan minat membaca memang
proses panjang dan sulit. Tapi arah ke sana memang membutuhkan proses panjang. Tak
hanya dengan beragam buku menarik saja, anak muda butuh hiburan yang bisa
dipadukan dengan edukasi. Ini membuat mereka tertarik kembali, mulai dari
datang ke pustaka dan keranjingan membaca buku.
Stimulus yang diberikan adalah dengan
memberikan warna baru dalam pustaka. Apalagi di pustaka bukan hanya sebatas
membaca buku, ada hiburan, tempat berdiskusi hingga kegiatan kemahasiswaan.
Pesona inilah yang mengangkat harkat martabat dunia literasi, bahkan
menghilangkan awan kelabu yang selama ini bersemayam di langit pustaka.
Gebrakan tersebutlah yang dilakukan oleh
Pustaka Unsyiah. Telah berdiri hampir setengah abad seakan kini transformasi ke arah
digital dan modern berhasil dijalankan. Visi dan misinya bukan hanya sebagai
pustaka terbaik di tanah Aceh saja tapi hingga ke level nasional sebagai Jantong Hatee rakyat Aceh.
Proses
itu mulai diterapkan secara penuh di bawah kepemimpinan Bapak Dr. Taufiq Abdul Gani selaku Kepala
Pustaka Unsyiah. Gebrakan yang dilakukan dengan memodernisasikan Pustaka bukan
hanya sebagai lokasi meminjam dan membaca buku, namun bersifat multifungsi
segala kegiatan kemahasiswaan.
Untuk
meningkatkan kembali mutu pendidikan yakni dengan cara meningkatkan minat baca
dan kunjungan mahasiswa serta dosen ke pustaka. Apalagi Unsyiah yang terkenal
dengan publikasi terbaik tingkat nasional, akan terasa sia-sia bila tidak
didukung dengan perbaikan di pelayanan pustaka. Cara yang dilakukan untuk
menaikkan taraf Pustaka Unsyiah menjadi kompeten dan bersaing di level
nasional.
Langkah awal
dengan memodernisasi pustaka ke arah yang diminati oleh para milenial kembali. Keras
keras dan dedikasi berbuah dengan ganjarannya akreditasi Nasional A dan
sertifikasi ISO 9001:2008 mulai dari tahun 2013 dari Lembaga
Perpustakaan Nasional RI. Ini bukti bahwa UPT. Perpustakaan Unsyiah telah bertransformasi
sesuai zaman dan standar mutu tinggi.
Yuk
Kenalan dengan Pustaka Unsyiah
Nah…
setelah tahu sekilas mengenai perpustakaan Unsyiah, mari kita cari tahu sejarah
panjangnya hingga kini berhasil jadi perpustakaan terbesar di Aceh. Ada jalan
panjang yang harus dirintis untuk bisa mencapai tahap tersebut.
Mulai berdiri
di tahun 1970. Awal mulanya masih menggunakan gedung Fakultas Ekonomi untuk
sementara waktu. Barulah April tahun 1994 memiliki gedung sendiri sesuai dengan
Keputusan Rektor No. 060 Tahun 1994 sekaligus menyatukan semua perpustakaan di
lingkup Unsyiah dalam satu wadah UPT perpustakaan Unsyiah.
Lika-likunya
tak berhenti di situ saja, Gempa bumi dan Tsunami yang
sempat melanda Aceh di tahun 2004 jadi saksi Gedung Perpustakaan Unsyiah tetap
berdiri kokoh. Walaupun menerjang kampus Jantong Hatee rakyat Aceh, sejumlah
beberapa koleksinya berhasil selamat dari amukan bencana tersebut.
Sejak
dulu pustaka Unsyiah cukup terkenal, ada begitu banyak koleksi buku yang
tersimpan di dalamnya. Memiliki 3 lantai yang dapat digunakan sesuai kebutuhan
pengunjung ingin. Ada begitu banyak koleksi buku di Perpustakaan Unsyiah,
menurut data dari Onesearch, sedikitnya ada sekitar 116.683 koleksi buku
yang tersedia.
Jumlah
totalnya ada 81.805 katalog pustaka, 22.973 berupa ETD dan sisanya sebanyak
11.905 berupa katalog dan jurnal dari sejumlah kampus di Unsyiah. Angka
tersebut membuat Pustaka Unsyiah adalah pemilik koleksi pustaka terbanyak nomor
7 di Indonesia dan di peringkat ke 3 untuk level universitas.
Proses
pencariannya pun mudah karena sudah adanya UILIS (Unsyiah Integrated Library
Information System). Terintegrasi dengan OPAC (Online Public Acces
Catalog), yaitu dengan adanya komputer pustaka yang terhubung dengan jaring
tersebut.
Ini
memudahkan para pengunjung mencari buku atau bacaan yang diinginkan hanya
dengan pencarian kata kunci. Pengunjung dalam mengakses sejumlah pencarian
buku, katalog, dan dokumen yang tersedia. Aksesnya OPAC bukan hanya melalui
komputer di pustaka, tetapi juga dengan perangkat pribadi. Praktis dan keren
pastinya, sesuai dengan Revolusi Industri 4.0.
Kini pun
sudah tersedia aplikasi UILIS Mobile dalam mengetahui pencarian OPAC,
historis peminjaman dan proses perpanjangan peminjaman. UILIS Mobile dapat
menghemat waktu dan tenaga dari pengunjung pustaka karena cukup dengan
memasukkan kata kunci yang diingin, pengunjung dengan mudah menemukan apa yang
dicari. OPAC mampu terintegrasi secara langsung dengan segala macam mesin
pencarian.
Selain
itu, di pustaka Unsyiah terdapat komputer yang terhubung secara langsung ke
UILIS. Ini memudahkan pengunjung yang tidak membawa gadget dalam mengakses
dengan komputer yang tersedia. Cukup dengan memilih OPAC dan memasukkan kata
kunci pencarian. Apa yang pengunjung butuhkan tersedia di sini.
Apa yang Istimewa
Pustaka Unsyiah Tawarkan?
Sesuai
dengan konsep yang diusung pustaka Unsyiah yaitu: More than Just a Library
ternyata memberikan banyak perubahan pada pengunjung Pustaka Unsyiah. Seakan
memberikan sebuah dimensi baru dalam revolusi pustaka.
Salah
satunya adalah proses peminjaman buku lebih modern tanpa harus mengandalkan
pihak pustaka karena telah ada mesin peminjaman otomatis bernama Self Loan
Station. Sesuai dengan Revolusi Industri 4.0 yang mengandalkan teknologi.
Pengunjung
yang memiliki kartu pustaka dapat dengan mudah meminjamkan buku dengan maksimal
3 buku. Waktu pengembalian buku berlangsung selama 14 hari dengan sekali masa
perpanjang lanjutan. Sangat praktis dan tidak memerlukan waktu antre yang lama.
Tak hanya
itu saja, ada banyak fasilitas kekinian yang ada di setiap sudut pustaka. Mulai
dari cara mengembangkan jiwa kewirausahaan dan berbagai kerajinan khas
mahasiswa. Tersedia gerai khusus yang menawarkan itu semua dengan nama Library
Gift Shop (LGF).
Pada gerai LGF
ada beragam kerajinan tangan khas mahasiswa mulai dari gantungan kunci, syal
hingga pakaian. Karyawan yang bekerja di sana bertugas bergantian menjaga dan
mengelola LGF secara mandiri. Bagi pengunjung yang jarang datang ke pustaka
Unsyiah, pernak-pernik di LGF sangat cocok dibawa pulang sebagai cendera mata
khas pustaka Unsyiah.
Bila
dahulunya pustaka identik dengan suasana yang formal dan senyap, kini konsep
ini coba diubah dengan sedemikian rupa untuk kenyamanan pengunjung. Pengunjung
rela menghabiskan banyak waktu saat berada di sana. Waktu yang digunakan jadi
lebih optimal, larut dalam lamunan buku yang seakan memupuk pikiran.
Pustaka
pun tak seperti tempo dulu, ada banyak hiburan yang mengasah edukasi dan
kreativitas mahasiswa. Selain menarik animo pengunjung serta kecintaan pergi ke
pustaka. Mulai dari Kelas Literasi Informasi yang menghadirkan pemateri
berbobot, Kegiatan Harmoni Kampus, dan Acara Relax and Easy.
Ada begitu
banyak talenta dari mahasiswa yang muncul, seperti kemampuan bernyanyi, bermain
music, membaca puisi hingga kemampuan drama. Pustaka Unsyiah seakan menampung
bakat-bakat terpendam itu agar terus unjuk gigi.
Gaung
yang paling sering dilaksanakan setiap tahunnya adalah Unsyiah Library Fiesta
2020. Ini menjadi ajang tahunan yang rutin dilaksanakan. Untuk tahun ini
melibatkan sebanyak enam perlombaan, semuanya mengasah kemampuan peserta. Ada
banyak bakat yang lahir dari kemampuan menulis, membaca puisi, memainkan alat musik,
bernyanyi, public speaking hingga kemampuan berpikir cepat.
Satu hal
yang tak boleh terlewatkan begitu saja adalah kontes pemilihan duta baca Unsyiah.
Melahirkan pada duta baca yang mampu memberikan edukasi, koneksi, dan pesona
dari sebuah buku hingga rasa cinta pada pustaka. Tak ada yang tahu, bisa saja
mereka bisa menjadi The Next Najwa Shihab lainnya atau bahkan penulis terkemuka
negeri ini berawal dari semangat berliterasi.
Konsep yang
diadopsikan oleh Pustaka Unsyiah adalah dengan menawarkan sejumlah makanan
ringan bagi pengunjung yang ingin mengganjal perut atau melegakan tenggorokan. Harganya
juga relatif terjangkau yang ramah buat kantong mahasiswa. Konsepnya sangat
milenial yang diberi nama Libri Café dan dikelola secara langsung oleh
mahasiswa.
Mengenai jadwal
berkunjung ke Pustaka Unsyiah, pengunjung tak perlu khawatir. Menerapkan buka setiap harinya dan pada malam
tertentu, sehingga memudahkan siapa saja mencari bahan dan lokasi belajar.
Selain itu bisa mengganti milenial yang bisa ke café atau kedai kopi, menjadi
lebih tertarik datang ke pustaka. Gimana, seru bukan?
Akhir
kata, dengan sejumlah alasan mengapa Pustaka Unsyiah bukan sekedar pustaka
biasa. Dengan konsep dan animo dari pengunjung yang terus meningkat, tak
tertutup kemungkinan Pustaka Unsyiah jadi model role pustaka modern
bukan hanya di Aceh saja tetap tingkat nasional. Bahkan mampu mengedukasi,
memikat, dan menghubungkan segala lintas usia dalam melek literasi dalam
balutan More Than Just a Library.
Semoga tulisan ini memberikan inspirasi dan Have a Nice
Days…
"Ada sesuatu yang salah dari pendidikan di tanah air. Siswa lebih banyak diajarkan menghafal sebuah pelajaran dibandingkan dengan memahaminya."
ReplyDeleteSetuuujuuu... bagus tulisannya, Bal.
Btw, minat baca orang Indonesia itu kuat lho, daya bacanya aja yang lemah.
Buktinya tuh grup WA selalu ramai, dan skroling lini masa enggak putus-putus.
Tapi kalo baca jurnal, sci-fi, riset, masih malas kita ya. Padahal banyak yang asik. Semisal bukunya Yuval Noah Harari.