Pandemi global kini sedang marak dan menjadi isu yang sangat
serius. Tahun baru ini punya warna baru dan bahkan sulit dilupakan oleh
penduduk bumi. Pandemi COVID-19 sudah menyerang jutaan orang dari berbagai
bangsa di dunia, bahkan sudah pada level zona merah.
Seakan menjadi sebuah ketakutan yang berkembang saat ini,
ancamannya yang sudah menghantui dunia membuat penduduk bumi gelisah dan panik.
Apalagi dengan bertambahnya kasus dan belum ditemukannya vaksin. Kemudian ada banyak
berita hoaks dan teori konspirasi cocoklogi yang menakuti banyak orang. Dunia seakan
dalam kekacauan besar....
Ada yang mirisnya adalah kesempatan ini menjadi pundi-pundi Adsense
dan popularitas semu. Inilah yang terjadi sekarang, menjadi isu hangat terus
menjadi headline pemberitaan dunia. Kata kunci pencariannya jadi trending
beberapa pekan terakhir di mesin pencari. Bahkan semakin hari pencariannya
terus meningkat.
Tugas paling dibutuhkan saat ini adalah melakukan tes massal dan
melacak pergerakan manusia. Mengingat Indonesia punya begitu banyak masyarakat,
bila terlambat akan jadi bencana besar. Melacak pergerakan penderita COVID-19 saja
tidak cukup tapi juga melacak regional sebuah daerah. Makin spesifik maka
semakin mudah dilakukan proses pengujian. Indonesia tergolong masih ketinggalan
dalam proses pengujian sehingga masih sedikit yang terdeteksi.
Artinya ada banyak pasien yang tak terlacak bahkan berkeliaran
bebas dan rentan menularkan dengan orang lain. Pertanda ini tidak baik karena
akan terjadi ledakan penderita dalam waktu dekat, artinya pemerintah harus
mengantisipasi hal tersebut sebelum menyebar lebih luas lagi.
COVID-19, Topik Utama di Tahun 2020
Tak ada yang menyangka tahun 2020 memberikan kejutan berarti,
pandemi yang awalnya berasal dari di utara daratan China. Tepatnya Provinsi
Hubei, Kota Wuhan jadi episentrum awal hingga akhirnya menyebar ke seluruh
dunia.
Tak ada negara yang luput, semua harus merasakan imbasnya. Saat
pertama kali muncul ke media, Wuhan Peunomia tersebut membuat sejumlah negara waswas.
Itu karena penyebaran dari manusia ke manusia, otomatis siapa saja tanpa gejala
bisa tertular. Apalagi tergolong virus baru dari golongan SARS yang mengalami
mutasi.
Alhasil pencariannya di mesin pencari mendadak meroket, mulai dari
mencari lokasi di mana Wuhan, apa itu virus hingga gejala yang ditimbulkan.
Media sosial pun tak mau kalah dengan menampilkan kondisi di sana saat lockdown
berlangsung. Artinya rasa penasaran membuat masyarakat dunia mencari tahu.
Hingga kemudian WHO menamai virus model baru tersebut dengan nama
COVID-19. Setelah itu, dalam sekejap mampu menyebar ke seluruh dunia. Dunia
yang dulunya hanya sebatas penasaran, kini menjadi waswas. Berbagai informasi
coba digali, memang awalnya sedikit simpan siur. Bahkan jadi ladang hoaks buat mereka yang tak bertanggung jawab.
Setelah trending tersebut, berbagai informasi hadir apalagi di era
internet. Kita bisa mendapatkan informasi yang beragam sesuai dengan apa
inginnya. Karena itulah butuh filter diri dalam menyerap itu semua, karena ada
banyak informasi dari tulisan, gambar, bahkan video. Tak mampu saring sebelum sharing
bisa menjadi ladang hoaks.
Baiklah... setelah kejadian tersebut, trafik dari pencarian Google
meningkat drastis. Pencarian meningkat hingga 3.840 persen. Pastinya ini
lonjakan yang sifatnya global, makin besar daerah tersebut kasus maka makin
tinggi lonjakan trafik tersebut.
Pencarian paling fenomenal seperti cara “penyebaran virus corona”
hingga “cara pencegahan corona”. Artinya saat itu masyarakat mulai
waswas. Cara preventifnya dilakukan dengan mengetahui virus tersebut terdahulu.
Gejala awal, bagaimana penyebaran hingga pencegahan andai saja masuk ke
Indonesia.
Memang awalnya masyarakat kita begitu apatis, ditambah lagi pemerintah
yang menganggap sepele. Saat kasus pertama diumumkan. Saat itulah masyarakat
panik, mulai dari panic buying, berita hoaks hingga konspirasi yang
dibalut rapi oleh orang tak bertanggung jawab.
Pencarian Google mungkin bisa sedikit menjawab keraguan, meskipun
ada banyak informasi yang kurang tepat. Akan tetapi dengan banyaknya konten
yang baik dan dibutuhkan oleh pembaca, informasi bias tenggelam dari halaman pertama
Google.
Ada sejumlah cara memang, pemerintah kini melakukan tes Swab
terhadap orang yang diduga terjangkit COVID-19. Bila sebelumnya proses tracing
dan tracking tergolong gampang, namun kini makin sulit karena mobilitas manusia
yang begitu besar. Artinya pemerintah sudah telat dalam mengantisipasinya, penyebaran
virus sudah pasti sangat cepat dan tak terkontrol.
Alasan itulah yang membuat butuh cara jitu dalam melacaknya. Mulai
dari melakukan tracing, tracking, dan Big Data. Hanya saja cara ini tak
cukup, karena interaksi manusia tidak sepenuhnya berhasil dikontrol. Bayangkan
saja, seorang pedagang yang terpapar. Ia sudah berinteraksi dengan begitu
pelanggannya, kontak langsung hingga akhirnya ia jatuh sakit.
Varian ini sangat sulit dilacak, apalagi si pedagang dan pembeli
sama-sama tidak menggunakan masker. Otomatis penyebaran makin masif, cara
tracing dan tracking seakan makin sulit. Ibarat mencari jarum dalam
tumpukan jerami.
Google Trends, Solusi Jitu Melacak Kebiasaan Pengguna
Selama ini Google Trends mungkin begitu identik dengan pencarian
kata kunci buat konten kreator. Trends yang terjadi bulanan, mingguan atau
bahkan harian jadi acuan mereka dalam membuat konten. Bahkan ia bisa mencari
tahu seberapa banyak orang mencari kata kunci tersebut pada mesin pencarian.
Tak hanya mengacu pada Google saja, sebut saja Youtube selaku
divisi yang membawahi menjadi pencarian alternatif pengguna internet. Semuanya
mengacu pada Google Trends. karena mampu menampilkan beragam topik yang sedang tren saat itu. Bahkan Google
Trends mampu menurut hingga sebuah kota sekalipun dalam jangka waktu tertentu.
Kata kunci pencarian jadi acuan yang bisa dipakai di suatu negara
dan bahasa. Ada banyak yang bisa digali dari informasi tersebut. Bagi para
konten kreator seperti Blogger, kata kunci ini sangat berguna dalam
referensinya dalam membuat konten. Makin banyak pencarian, otomatis makin
banyak pengunjung yang datang di blognya.
Google selaku otoritas tertinggi pastinya punya semua data
tersebut, apalagi kini Google sudah memiliki data center di Indonesia.
Pencarian kunci yang ada di ruang lingkup Indonesia akan diproses dan menjadi
acuan untuk saat ini.
Bahkan data tersebut bisa digunakan dalam melacak persebaran COVID-19.
Pemerintah pun mulai kelabakan karena penyebarannya mulai tak terkontrol,
melalui Big Data dari Google solusi ini bisa lengkap selain mengandalkan
Tracing dan Tracking saja. Sejumlah kata kunci yang meningkat pencariannya
dalam beberapa minggu terakhir:
Seberapa tepatkah Google Trends perannya dalam Pandemi
Memang tidak terlalu akurat, karena pencarian saja tanpa mengacu
data saja tak cukup. Ada banyak orang yang mengalami rasa takut berlebih bahkan
di daerah yang belum terpapar COVID-19, sedangkan yang berada di zona merah
masih merasa aman-aman saja.
Salah satunya apa yang Google terapkan dalam aplikasi bernama
Google Flu Trends (GFT). Aplikasi ini punya peran khusus yaitu dalam mendata
gejala Flu yang ada di masyarakat. Aplikasi ini lahir karena penyakit flu punya
dampak berbahaya bagi masyarakat. Dalam dua dekade terakhir, Dunia sudah empat
kali mengalami endemi hingga pandemi flu. Mulai dari SARS, Swine Flu, MERS, dan
terbaru ada COVID-19.
GFT bertujuan dalam melakukan pemetaan terhadap lokasi flu. Hanya
saja proses pemetaannya malah membingungkan karena muncul istilah lainnya yang
tak ada kaitannya dengan flu tersebut. Apalagi GFT sulit mengelompokkan flu
secara spesifik, ada begitu banyak flu bahkan flu bisa saja punya berapa
turunan. Alhasil data dari GFT hanya digunakan sampel saja tapi tidak bisa
mencari korban yang terpapar. Sama halnya dengan pencarian kata kunci di mesin
pencari.
Metodenya cukup baik menurut saya, karena GFT mampu melacak alamat
IP, volume pencarian sebuah kata kunci. Ini lebih baik angka dasar sebuah wabah
hingga pada puncak pandemi. Hanya saja masih kurang akurat karena cakupannya
begitu luas. Apalagi sangat bila virus sudah ada di tengah masyarakat, setiap
korban yang sakit seakan merasakan gejala COVID-19 padahal hanya flu biasa.
Atau bahkan tanpa gejala.
Nah... hasil tersebut nantinya akan dimasukkan pada Center for
Disease Control (CDC) melalui proses monitoring flu pada
laboratorium. Investasi Google pada hal ini cukuplah besar dan kompleks,
meskipun masih kurang akurat. Ini sama saja pemerintah mencurigai semua
warganya terpapar, sehingga proyek ini hanya sebatas riset ilmu semata.
Meskipun begitu, Google mencoba menyempurnakannya yaitu dengan
menggunakan model ARGO atau AutoRegression with Google Search Data.
Nah... dengan begitu data pencarian akan lebih fokus tanpa gangguan khususnya
terkait pencarian pada penyakit tertentu. Khususnya dalam implementasi dengan
data CDC, sehingga pasien atau bahkan orang tanpa gejala bisa terlacak dengan
jelas. Pemerintah bisa menyiapkan tes di area tersebut atau karantina wilayah
agar memperkecil ruang gerak virus.
Kolaborasi Google
dan Apple dalam Menekan Pandemi
Selama ini
kedua perusahaan ini sangat bersaing di dunia Big Data pengguna. Tapi
persaingan ini coba dihilangkan sejenak khususnya mengenai urusan kemanusiaan
dan kesehatan. Target utama dalam melakukan pelacakan mandiri terhadap riwayat
kontak. Aplikasi ini memang dalam proses pengembangan dan akan diluncurkan di
awal Bulan Mei.
Caranya adalah
dengan menggunakan Bluetooth yang terhubung dengan ponsel pengguna. Pasti semua
sudah tahu bahwa ekosistem terbesar ponsel saat ini dipegang oleh Android dan IOS.
Kini mereka berkolaborasi agar pandemi tersebut bisa segera usai.
Menggunakan
pelacakan internet yang digunakan pengguna, saat interaksi dengan orang lain.
Syaratnya ia harus menggunakan aplikasi serupa, mungkin saja ada anjuran agar
pengguna menggunakan aplikasi serupa. Pelacakan akan dilakukan khususnya mereka
yang saling berinteraksi, internet akan melakukan proses Tracking Key
berupa kode unik melalui Bluetooth.
Nah... data
tersebut akan tersimpan pada cloud ponsel pengguna, internet di sana akan
mengirimkan data dari setiap interaksi. Tiap harinya ada namanya Daily Tracing
Key berupa data berbentuk enkripsi. Google dan Apple selaku penyedia pun sudah
bekerja sama dengan otoritas kesehatan negara tersebut. Ia akan menampilkan
siapa saja si penderita positif COVID-19 melakukan kontak.
Aplikasi
tersebut akan memberikan sebuah arahan bagi pengguna lainnya agar menghindari
pengguna positif. Pemberitahuan serupa pun diberikan pada korban supaya
mengkarantina diri sampai tim medis datang ke rumahnya. Tujuannya agar
memutuskan kontak dengan orang lainnya yang makin memperluas persebaran virus.
Hanya saja
kekurangan aplikasi ini adalah memastikan pengguna menginstal aplikasi
tersebut. Bisa melalui edukasi yang pemerintah berikan dan saat keluar rumah
harus membawa ponsel untuk proses tracing saat interaksi dilakukan. Bila tidak,
hasilnya sia-sia dan bahkan terus meningkat.
Indonesia Menekan
COVID-19 dengan PeduliLindungi
Sejumlah negara
dianggap berhasil melacak persebaran virus dengan aplikasi bluetoot, salah
satunya China. Mereka punya aplikasi yang didesain langsung oleh anak
perusahaan Alibaba yakni AliPay Health Pay menggunakan Big Data yang terkoneksi langsung pada
sistem Alibaba dan pemerintah China. Data ini berguna dalam mengabarkan masyarakat
lainnya dan media mengenai konfirmasi pasien positif di sana.
Bukan hanya Alipay Health Pay saja, ada aplikasi lainnya yang
digunakan lebih luas dalam mengatasi COVID-19 yaitu Jian Kang Bao (sehat itu
harta karun). Aplikasi yang terkoneksi langsung pada pusat data kesehatan di
China. Proses mendaftarnya pun sangat mudah hanya bermodal KTP atau KK setiap
pengguna. Langsung tersambung pada sistem Big Data yang ada di Jian Kang Bao.
Indonesia tak mau ketinggalan, selain sudah meleknya masyarakat
juga ada banyak startup dan pengembangan dari anak negeri. Mereka bisa membuat
aplikasi serupa, menyaingi buatan perusahaan raksasa teknologi dunia. Indonesia
hadir dengan PeduliLindungi.
Secara konsep hampir serupa, hanya saja aplikasi ini ditujukan
dalam hal pergerakan pasien positif, kepada siapa saja ia berinteraksi bahkan
jarang radius dengan orang lain tertera pada aplikasi ini. Jarak amannya adalah
2-5 meter, serta mencatat pergerakan ponsel lainnya berada di dekatnya. Ada
kode unik sehingga privasi pengguna cukup terjaga berbentuk Barcode yang tertera
di ponsel.
Prosesnya
menggunakan Bluetooth, setiap pengguna yang dianggap positif nantinya akan
mengirimkan kode identitasnya pada basis data pusat, sebelum nantinya akan
ditindak oleh pihak medis. Memang aplikasi menggunakan Bluetooth tapi dengan
penerapan rendah daya sehingga tak menguras baterai seperti untuk mengirim file
atau bahkan terkoneksi dengan perangkat lainnya.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa tidak langsung
saja dengan internet? Sifat Bluetooth bisa digunakan secara offline sekalipun.
Sehingga semua pengguna yang tidak memiliki kouta yang melakukan perjalanan
tetap bisa terlacak. Bahkan mengelompokkan
yang mana PDP dan ODP. Ini sangat membantu khususnya bagi pasien yang tidak
ingat riwayat kontak.
Terakhir tentu
saja rasa aman, bila aplikasi yang menggunakan Bluetooth sudah pasti sangat
berkaitan dengan privasi. Pelanggaran privasi bisa saja terjadi, otomatis data pengguna
bisa terancam bahkan disalahgunakan. PeduliLindungi menjamin data
pengguna tetap aman karena menggunakan enkripsi. Serta data hanya bisa diakses
bila pengguna butuh pertolongan serta segera menghubung pihak medis.
Melacak melalui
internet dan aplikasi kini sedang marak dilakukan, ini dianggap cukup efektif
karena kebiasaan manusia yang menggunakan ponsel. Aktivitas mereka bisa
menggambarkan segala hal, mulai dari pencarian kata, perpindahan lokasi hingga
paling penting interaksi kepada siapa saja. Ini dianggap bisa menekan angka
penyebaran bahkan melakukan penguncian virus pada lokasi yang tepat.
Memang teknologi tidak ada yang sempurna, tapi
teknologi bisa membantu manusia menghilangkan pandemi lebih cepat. Agar kehidupan
normal bisa kembali dimulai seperti sediakala. Semoga tulisan ini menginspirasi
Anda dan Have a Nice Days.
0 komentar:
Post a Comment