Ancaman pandemi menjadi ancaman nyata di
banyak negara. Bagaimana tidak, dalam waktu singkat jumlah kesakitan yang
disebabkan oleh COVID-19 naik drastis. Negara yang punya sistem medis yang
cukup bagus dan tenaga medis berlimpah saja kewalahan. Bagaimana dengan negara yang
tidak siap sama sekali, sudah pasti petaka datang.
Berbagai kebijakan harus diambil oleh
pemerintah, mulai dari anjuran mencuci dan menggunakan masker saat keluar
rumah. Meliburkan anak sekolah, melakukan Pyhsical Distancing, penangguhan
penerbangan luar negeri hingga penerapan Lockdown di sejumlah kota
hingga satu negara. Cara pencegahan yang cukup ampuh menekan penyebaran lebih
luas lagi hingga vaksin bisa ditemukan.
Ada sejumlah negara yang berhasil dan dinilai
sukses menekan jumlah warganya yang tertular. Ini menjadi contoh buat negara
lainnya mencobanya. Siapa yang tidak ingin rakyatnya atau merenggang nyawa
akibat pandemi. Dibutuhkan kerja keras bahkan koordinasi dari akar rumput
(masyarakat) hingga top level (pemimpin) dalam memecahkan hal kompleks
tersebut.
Negara yang sukses berhasil melakukan hal
tersebut dengan sangat baik, mereka sadar bila berlarut-larut akan berdampak
pada ekonomi. China sebagai negara yang pertama kali berdampak wabah langsung
bergerak cepat. Salah satunya dengan meluncurkan aplikasi bernama Alipay Health
Code.
Aplikasi mampu mendeteksi pengguna yang
terjangkit COVID-19 melalui tiga keterangan warna yaitu merah (positif dan
wajib karantina), kuning (sebaiknya di rumah saja), dan hijau (bebas gerak).
Caranya cukup dengan mengisi data diri pengguna, lalu aplikasi akan
mengumpulkan data real time pengguna seperti terkait perjalanan dan
interaksi dengan pengguna lainnya khususnya yang positif COVID-19.
Pemerintah dan pihak medis dengan mudah bisa
melacak pengguna yang berpotensi terjangkit tanpa harus melakukan lockdown
semua kota di China. Alipay Health Code juga dipasang di sejumlah lokasi umum
seperti transportasi dan sarana publik. Bila pengguna punya keterangan warna
kuning atau merah akan ditolak aksesnya sehingga tidak membahayakan pengguna
lainnya.
Konsep kerja dari Alipay Health Pay
menggunakan Big Data yang terkoneksi langsung pada sistem Alibaba dan
pemerintah China. Data ini berguna dalam mengabarkan pada masyarakat lainnya
dan media mengenai konfirmasi pasien positif di sana.
Bukan hanya Alipay Health Pay saja, ada
aplikasi lainnya yang digunakan lebih luas dalam mengatasi COVID-19 yaitu Jian
Kang Bao (sehat itu harta karun). Aplikasi yang terkoneksi langsung pada pusat
data kesehatan di China. Proses mendaftarnya pun sangat mudah hanya bermodal
KTP atau KK setiap pengguna. Langsung tersambung pada sistem Big Data yang ada
di Jian Kang Bao.
E-KTP di sana berperan sangat besar, menjadi
sebuah standar baku dalam segala akses vital seperti akses terhadap
transportasi umum dan fasilitas publik. Bahkan proses pembayaran seperti
registrasi, bayar parkir, tiket kereta, bayar listrik, dan tol hanya
menggunakan kartu ajaib tersebut. Semuanya pun terekam jelas dari biodata,
nomor kontak, alamat rumah, email, dan sampai sosial media.
Satu sisi sangat menakutkan karena pemerintah
punya akses penuh terhadap setiap orang di negara. Tapi buat kondisi pelik
COVID-19, Big Data cukup manjur dalam merekam setiap pergerakan aktivitas
setiap orang. Makin sempurna lagi segala pergerakan massa terkontrol dari CCTV
sehingga bisa mengetahui lokasi jelajah setiap orang selama di negaranya.
Pengguna yang melanggar atau bahkan punya
potensi besar positif COVID-19 akan terdata khususnya setelah kontak langsung
dengan penderita sebelumnya. Data tersebut terekam dari laser suhu yang
terpasang pada kamera pengawas CCTV di lokasi publik. Makanya bila sudah ada
tanda-tanda dengan gejala ringan, lebih baik berdiam diri di dalam rumah.
Aplikasi Big Data sudah pasti berjalan dengan
konsep AI (kecerdasan buatan), data yang terkumpul dari setiap pengguna akan
diolah dalam waktu singkat hingga didapatkan hasil. Aplikasi Jian Kang Bao akan
memberitahu Anda bila hasilnya positif. Tinggal kemudian Anda memeriksakan
tingkat gejala pada RS terdekat. Apakah perlu dirawat atau cukup di rumah saja
hingga menunggu 14 hari setelahnya.
Keberhasilan Negara Lainnya Menangkal COVID-19
Menurut saya, setelah kemunculan COVID-19
selama 3 bulan terakhir ada sejumlah selain daratan China yang berhasil. Bahkan
bisa dikatakan negara awal yang terjangkit langsung saat negara lain belum
memiliki kasus. Sebut saja Korea Selatan yang ada 10 ribu warganya positif
COVID-19, mereka tak panik dan punya solusi mengatasi hal tersebut yaitu dengan
modal Big Data.
Selama ini Korea Selatan terkenal dengan
perkembangan teknologi yang berhasil diaplikasi di sejumlah bidang termasuk
koneksi Big Data pada lembaga kesehatan. Mereka pun tak memilih jalur lockdown
karena sadar bahwa penderita tak sebanyak jumlah total penduduk mereka.
Melakukan lockdown artinya menganggap semua penduduk adalah ODP (Orang
Dalam Pantauan).
Modal Big Data yang mereka terapkan cukup
sederhana, koneksi Samsung dan Apple nyatanya memberikan banyak akses pengguna.
Proses yang dilakukan adalah dengan pelacakan (tracking), peringatan
dini (early warning), metodologi pengamatan intensif serta analisis Big Data.
Hasilnya keluar cepat dan bisa mengetahui titik warga positif. Supaya menjauh dari lokasi tersebut agar tidak terpapar COVID-19.
Satu hal yang cukup saya angkat topi adalah
sifat transparan dalam memberitahu warganya melalui ponsel mereka. Di dekat
lokasi mereka ada warga positif dan jalan mana yang harus dihindari supaya
warga tak terpapar. Lalu siapa saja dan daerah mana saja yang ia lalui
dikirimkan pada semua orang di sekitarnya. Ini mampu membuat persebaran putus
selain hanya physical distancing saja.
Lalu Big Data tak hanya memiliki data
informasi warga negaranya saja tapi warga negara asing yang sedang melancong.
Nantinya bila sudah terlihat gejala, mereka dipandu serta terintegrasi ke akses
penting seperti RS, bank, operator seluler hingga tempat penjualan logistik.
Big Data pastinya terhubung dengan IoT pada
perangkat pengguna. RS dan layanan ambulans akan langsung ke pergi lokasi
tersebut. Bahkan data pengguna bisa diketahui langsung misalnya saja ia
menggunakan smartwatch atau aplikasi
heart tracker. Jadi bisa diketahui proses penanganan awal setiba
di RS. Big Data mampu mengetahui riwayat penyakit pasien melalui EHR (Electronic
History Records).
Proses lainnya yang tergolong cepat adalah
pengujian tes hasil COVID-19 dengan konsep Drive-Through Test. Pengguna cukup di
dalam mobil di area laboratorium pengujian seluler. Akan dan ada petugas khusus
yang menguji pengguna dengan metode Swab Test, bukan Rapid Test (hasilnya
kurang akurat).
Hasilnya pun akan keluar beberapa menit
kemudian, lalu cara ini dinilai aman karena tidak ada kontak antara satu orang
dengan yang lain bahkan bisa menambah pengguna yang sebelumnya positif.
Terakhir adalah penerapan AI dalam distribusi masker dan perangkat pencegahan
lainnya. Ini menghindari penimbunan masker atau APD oleh pihak tak bertanggung
jawab. Tentunya itu berlaku juga dalam pengaturan sembako.
Singapura dan Taiwan melakukan hal serupa tapi
lebih terperinci, pengalaman pelik Wabah SARS tahun 2003 membuat mereka tak mau
jatuh ke jurang yang sama oleh COVID-19. Kedua negara ini memadukan kecekatan
pemerintah, tes massal merata, transparansi hingga penerapan teknologi.
Hasilnya terlihat dengan kecilnya jumlah korban dan bahkan angka kematian
nyaris menyentuh angka nihil.
Singapura misalnya saja punya 150 RS
pemerintah dan swasta yang tersebar di seluruh negeri. Mereka pun menyiapkan
ICU khusus terhadap pneunomia. Saat kondisi darurat seperti sekarang, semuanya
diambil alih oleh pemerintah khususnya kontrol penuh pasien.
Lalu ada Big Data seluruh warganya dan bahkan
pendatang saat ke sana akan ada informasi lengkap, tujuan kunjungan yang
dipetakan melalui catatan imigrasi dan rekaman CCTV. Siapa bertemu siapa, di
mana hingga kontak apa saja yang dilakukan dengan tujuan memutus mata rantai
COVID-19.
Ada tim khusus, kalo di Indonesia seperti BIN
yang menghimpun riwayat kesehatan dan jejak pasien. Menghubungi kerabat agar
bisa dilakukan tes positif atau tidak terjangkit COVID-19. Supaya dilakukan
proses karantina.
Orang yang diisolasi akan dikirimkan SMS dan
menyuruh mengaktifkan lokasinya agar bisa diketahui apakah ia mencoba keluar
selama masa karantina. Bila terbukti, denda dan hukuman kurungan siap mengintai.
Nah... data tersebut bisa diakses oleh siapa saja yang dikelola langsung
pemerintah.
Taiwan pun jauh lebih ketat mengenai orang yang masuk ke negaranya.
Misalnya data imigrasi si pelancong khususnya riwayat bepergian sebelum sampai
ke negaranya. Lalu riwayat penyakit hingga tentu saja kontak yang ia lakukan
sejak dalam pesawat sampai menginjakkan kaki ke negara mereka. Alhasil Taiwan
dan Singapura berhasil bermodalkan pengalaman, koordinasi dan tentu saja Big
Data.
Big Data Hanya dipunyai Negara Maju dan Makmur
Sebenarnya penanganan sebuah bencana tak
terduga bukan hanya bersumber dari sumber dana tapi juga koordinasi. Saya
mencontohkan negara yang mungkin secara ekonomi di bawah Indonesia, yaitu
Vietnam. Negara yang secara ekonomi di bawah Indonesia ini tergolong sukses,
hanya ada 241 kasus sejak pertama kali muncul pada 27 Januari 2020.
Tak ada penambahan, malahan pasien sudah pada
sembuh dan nihil kematian. Apa yang mereka lakukan sedangkan pemerintah low
budget dan tak punya koneksi Big Data. Pertama adalah menutup akses
penerbangan dari dalam dan luar negeri, makin kecil mobilitas itu berarti
memperkecil penyebaran. Kedua penerapan physical distancing dan
meliburkan sekolah sehingga aktivitas di luar rumah bisa berkurang.
Lalu ada juga penerapan protokol kesehatan
khususnya mengontrol pasien yang positif COVID-19. Serta pelarangan impor dan
ekspor satwa liar yang bisa berdampak pada persebaran virus. Hasilnya cukup
berhasil seperti Vietnam. Bermodal hal tersebut, penyebaran bisa dikontrol dan
pada 20 April Vietnam sudah bebas COVID-19. Melihat hal tersebut pastinya
Indonesia bisa mencoba cara tersebut, lebih baik terlambat dibanding tidak sama
sekali.
Big Data Lebih Ampuh dari Lockdown
Kasus COVID-19 bagi banyak negara ibarat
sebuah ujian besar, sesuatu yang tak terduga hingga mengancam nyawa dan ekonomi
sebuah negara. Beragam cara dilakukan pemerintah antara memilih ekonomi yang
rontok atau bahkan banyak nyawa masyarakat melayang.
Bila saja memilih konsep lockdown,
sudah pasti ada begitu banyak orang yang merasakan dampaknya secara langsung. Mereka
yang bekerja harian harus kehilangan pekerjaan dan bahkan berdampak pada PHK
karena beban perusahaan yang minim keuntungan.
Bila tidak hanya mengandalkan pysical
distancing saja, jumlahnya memang ada tapi akan berdampak waktu penyebaran
virus lebih lama dari 100 hari setelah kemunculannya di sebuah negara. Korban
jiwa dan beban ekonomi yang jenuh akan tergerus dalam waktu lama bahkan resesi
besar akan terjadi setelahnya.
Solusi ketiga pastinya Big Data, inilah yang
mampu dipilih dan mampu menekan jumlah korban dan lebih tepat sasaran. Indonesia
memang belum sepenuhnya siap dengan konsep Big Data, ada sebuah gap yang cukup
besar akan teknologi khususnya di kota dengan di desa. Apalagi ada begitu banyak
orang yang rela pulang kampung dari Jakarta, sudah pasti berdampak pada
penyebaran COVID-19 jadi lebih luas.
Hanya saja butuh teknologi, sumber daya dan
transparansi agar Big Data berhasil diterapkan. Negara maju mungkin sudah
memulainya terlebih dulu. Tak masalah mengembangkan data dan bisa digunakan di
masa depan. COVID-19 jadi percobaan mendeteksi seberapa baik Indonesia dalam
memberdayakan data sebagai informasi korban yang terpapar.
Indonesia tidak sendirian, bahkan negara maju
yang terdampak melakukan hal tersebut. Sebut saja USA yang cuek pada COVID-19
dan kini harus panik, ada UK yang sedang bekerja sama dengan layanan
telekomunikasi negaranya. Tujuannya mengetahui persebaran data penduduk yang
terpapar dan menekan jumlah jadi lebih besar.
Pemerintah USA pun kini sedang merangkul
perusahaan teknologi negeri mereka, Google, Microsoft dan Apple agar membuka
data pengguna. Tujuannya adalah mengetahui setiap pergerakan warganya, riwayat
perjalanan, interaksi sosial hingga lokasi titik persebaran COVID-19. Data
tersebut dihimpun dan kemudian dipadukan dalam AI untuk hasil baca yang lebih
cepat. Bila tidak, ada jutaan warga USA yang harus terbaring di ranjang RS.
Mengembangkan Big Data dalam Konteks Kesehatan
Big Data memberikan sebuah warna baru yang
berbeda dalam setiap aktivitas manusia yang berhubungan dengan dunia digital.
Semuanya tercatat jelas bahkan secara real time. Di era internet lonjakan
data semakin besar. Setiap kali kita membuka sebuah situs, melakukan pencarian
hingga berapa lama Anda datang ke sana menjadi data bukti pencarian kita di
internet.
Bisa dibayangkan berapa juta orang yang
melakukan pencarian setiap harinya dan data yang dihasilkan, semua termasuk
dalam konteks Big Data. Termasuk dalam hal data kesehatan, setiap data yang
manusia milik bisa menjadi acuan dasar. Inilah yang berguna buat medis
khususnya mengetahui riwayat penyakit, sebelumnya pihak rumah sakit sudah
memiliki EHR (Electronic History Record) untuk akses pasien.
Pada kasus pandemi seperti sekarang, Big Data
menjadi acuan yang sangat baik. Mulai dari proses analisa yang cepat, memprediksi
penyebaran wabah, pengembangan proses perawatan pasien sesuai riwayat setiap
pasien bahkan menekan biaya tidak perlu. Idealnya pemerintah hanya mengawasi
orang yang tertular dan berpotensi tertular bukan mengawasi seluruh
penduduknya. Sudah pasti biayanya besar dan tidak tepat sasaran.
Big Data bisa digunakan secara berkelanjutan
tak hanya saat pandemi saja. Tenaga medis sangat terbantu terhadap proses
perawatan pasien, mulai dari memantau pasien, opsi dokter dalam proses perawatan
pasien hingga pencocokan pasien lebih efisien. Hingga mampu menyelamatkan
begitu banyak nyawa lainnya dan teknologi mumpuni mampu melakukannya.
Hanya saja Big Data berpotensi jadi petaka
bila jatuh ke tangan yang salah, ada begitu banyak data orang banyak yang bisa
dimanipulasi untuk kepentingan khusus bahkan rawan peretasan. Kini tinggal
pemerintah dan perusahaan teknologi meyakinkan bahwa data pengguna hanya
digunakan untuk kebutuhan mendesak seperti medis.
Konsep Big Data dan AI yang Indonesia Terapkan
Sebagai orang Indonesia, saya sangat
mengharapkan Indonesia bisa menerapkan teknologi dalam memudahkan hajat hidup
masyarakat kita. Di era Revolusi Industri 4.0 ada terobosan besar termasuk
menghadapi kondisi pelik, jangan saja kita bangga sebagai pengguna internet terbesar
Asia Pasifik saja tapi dengan internet mampu memberikan perubahan.
Salah satunya penerapan Big Data yang
terkoneksi pada internet, persoalan COVID-19. Indonesia melalui Kemenristek
sudah mencoba membuat peta persebaran secara nasional berbekal AI (kecerdasan
buatan). Itu semua didapatkan dari data pengguna internet tanah air yang melahirkan
peta spasial dalam melacak persebaran virus. Bahkan data tersebut digunakan BIN
dalam melacak persebaran korban di tanah air dan Kemenkes untuk data di RS.
Bagaimana sih
konsep kerjanya?
Baiklah, proses pelacakan dilakukan dengan
memasang aplikasi khusus di ponsel pasien yang positif COVID-19. Sudah pasti
manusia modern tidak bisa lepas dari ponsel ke mana pun saat pergi dan ini sangat
membantu pelacakan selama 14 hari ke depan dan pergerakan yang dilakukan.
Sekaligus mengetahui lokasinya dan menjaga pasien tidak kabur.
Konsep kerjanya adalah dengan melihat setiap
pergerakan manusia dengan menggunakan proyeksi hingga menghasilkan peta
perpindahan dan persebaran. Untuk mengolahnya dibutuhkan AI untuk hasil yang didapatkan
dari data tersebut. Artinya setiap kontak dengan pasien sebelum jatuh sakit
bisa ditelusuri dan kemudian dilakukan tes dan mengkarantina diri selama 14
hari. Nah... AI juga bermanfaat dalam proses mitigasi penelusuran jejak pasien
selama bepergian (tracing) dan tentu saja proses pelacakan (tracking).
Hanya saja punya kelemahan besar karena Big Data
milik negara kita tak selengkap negara maju. Proses pelacakan hanya bisa
dilakukan pada kota besar. Jumlah penduduk yang cukup besar dan merata membuat
persebaran bisa sampai ke desa-desa.
Tugas berat diemban pemerintah saat ini,
menekan angka pandemi harus dimulai dari perkotaan besar. Bila saja tidak
berhasil dan optimal akan menjadi bumerang besar akan persebarannya. Big Data
adalah satu dari sekian banyak solusi low budget tanpa menghukum roda
perekonomian dan tentu saja nyawa masyarakat yang tak sedikit. Bergerak cepat
sebelum semuanya terlambat....
Semoga tulisan ini menginspirasi, Stay at Home
and Have a Nice Days...
Menarik sekali
ReplyDelete