Mendengarkan dunia medis memanglah tak
semenarik dan sefantastis membahas dunia teknologi, politik atau bahkan
ekonomi. Ada jurang yang begitu besar sehingga dunia kesehatan tidak terlalu diperhatikan,
sampai pada saat kritis barulah semua sadar bahwa kesehatan itu sangat
berharga.
Segala yang kita punya dari harta, kekuasaan
hingga pengaruh tak ada apa-apanya saat terbaring di RS. Saat ini pun dunia
sedang mengalami krisis kesehatan, pandemi seakan tidak mengenal sebuah
wilayah. Virus menjangkiti manusia dengan cepat, mengancam banyak umat manusia
tanpa melihat ras mana pun.
Saat itulah dunia panik dan linglung, pertama
kali di era modern ada pandemi besar. Sejarah mencatat sejak pertama kali
peradaban manusia di muka bumi, sudah begitu banyak wabah penyakit yang
menyerang. Umumnya tidak berhasil ditanggulangi, malahan berujung jadi petak
besar yang mengancam manusia.
Sejak dulu di pikiran manusia selalu terpatri
ancaman nyata adalah sesuatu yang terlihat jelas. Salah satunya peperangan,
manusia selalu mempersiapkan ini dengan sangat baik bahkan sejak dulu.
Berperang melawan terlihat membuat banyak negara paranoid ingin menjadi lebih
dan bahkan bisa berkuasa.
Tapi tidak dengan penyakit bahkan untuk
sekelas zaman modern sekalipun. Anggaran yang disediakan pun relatif jomplang.
Saya membandingkan anggaran kementerian pertahanan Indonesia untuk tahun 2020
mencapai 127,4 T, sedangkan Kementerian Kesehatan hanyalah 57,4 T dari total 2528,8
T total anggaran APBN tahun ini.
Di negara lain hal serupa juga terjadi, negara
seperti China dan USA menggelontorkan uang begitu besar dalam memperkuat
alutsistanya. China di tahun lalu saja menghabiskan dana US$ 273 Miliar hanya
untuk memperkuat armada. Sedangkan USA lebih gila dengan dana pertahanan hingga
US$ 718 Miliar, angka yang cukup fantastis sampai 60% APBN USA. Sedangkan biaya
kesehatan dan kesejahteraan hanya sebesar US$ 90 Miliar saja, begitu timpang
bukan.
Setiap negara besar seakan siap bila saja ada
kemelut yang berujung perang. Kepada siapa bersekutu, pasokan senjata, logistik
hingga strategi yang digunakan. Hanya saja tidak dengan wabah yang berujung
pandemi mematikan, merenggut jutaan manusia secara perlahan-lahan. Itulah yang
Bill Gates ucapkan di TED Talk dan bahkan berbagai forum lainnya.
Itulah yang terjadi saat ini, apa yang
ditakutkan oleh Bill Gates seakan menjadi sebuah kenyataan. Pandemi jadi perang
sesungguhnya, dunia tidak siap bahkan sekelas negara maju dengan teknologi
medis terbaik pun kelabakan. Jumlah kesakitan dalam jumlah banyak tak sebanding
ICU di setiap negara. Dampaknya banyak korban jiwa harus merenggang nyawa
akibat COVID-19.
Mengapa Biaya dan Riset Kesehatan Minim?
Sejak dulu hampir sebagian besar negara di
dunia berlomba menciptakan atau bahkan membeli alutsista canggih untuk memperkuat
pertahanan negara. Hanya saja banyak negara yang tak terbesit melakukan hal
sebaliknya yaitu memperkuat sistem pelayanan kesehatan dan deteksi dini terhadap
wabah.
Saat pandemi datang, barulah ada tindakan
seperti menambah biaya kementerian kesehatan, memperbaiki ICU, menambah jumlah
dokter serta rumah sakit hingga kebijakan tanggap darurat. Masyarakat pun
serupa, pemahaman akan kesehatan masih sangat kurang, ada yang tidak tahu
penyebaran virus dan bahkan proses pencegahan sehingga banyak yang
menyepelekan.
Kemudian faktor lainnya karena sebuah penyakit
berbahaya sulit diprediksi datangnya. Inilah yang menjadikannya bukanlah sebuah
prioritas. Sikap manusia yang punya rasa takut akan sesuatu tak terlihat
seperti virus dibandingkan luncuran misil jarak jauh.
Virus SARS sudah ada sejak lama ditemukan dan
telah banyak sumber di jurnal internasional, meskipun kemudian bermutasi
menjadi COVID-19. Artinya ilmuwan sudah
memprediksi sebelum akhirnya menyerang manusia. Ada begitu banyak waktu yang
bisa dipersiapkan bahkan untuk membuat vaksin. Tapi apa daya karena pendanaan
dari promotor yang terbatas.
Itulah yang terjadi saat ini, misalnya saja
Indonesia melalui konsorsium lembaga riset kesehatan. Di dalamnya terdiri dari kementerian
kesehatan dan riset serta ilmuwan dari berbagai lembaga riset, saling
bahu-membahu menciptakan vaksin ampuh.
Perkiraan dananya pun cukup besar hingga
mencapai 1 Triliun, mencakup tahapan pengujian pra klinis terhadap hewan lalu
manusia yang bersedia. Setelah itu diberikan ke industri farmasi untuk
diformulasikan hingga bisa digunakan khalayak ramai.
Bahkan hanya pendanaan, Indonesia masih minim
para peneliti yang cukup kredit di bidang kesehatan dan obat-obatan. Itu bisa
terus berkembang bila pemerintah cukup perhatian, ada begitu banyak sumber daya
alam Indonesia yang bisa jadi bahan riset dan inovasi.
Apalagi sesuai dengan ide jangka panjang
mewujudkan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) hingga 2045. Pandemi COVID-19
jadi langkah maju dalam proses menciptakan vaksin buatan anak negeri sekaligus
memperhatikan dunia kesehatan dan obat-obat.
Bersiap Menghadapi Ancaman Pandemi
Ledakan jumlah korban seakan membuat setiap
negara mempersiapkan diri. Pandemi dampaknya sangat luas bukan hanya aspek
kesehatan saja. Ada sejumlah efek domino lainnya yang bisa terjadi bila
berlarut-larut. Mulai dari depresi dan resesi ekonomi, terganggunya distribusi
logistik hingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bertindak cepat bisa menekan jumlah korban
jiwa dan bahkan menekan penyebarannya. Lahirnya berbagai solusi seperti physical
distancing, crowded mass, mobality mass, hingga lockdown. Semua itu
yang bisa pemerintah lakukan sembari vaksin berhasil ditemukan dan mereda di
sebuah negara.
Semua pihak dilibatkan, proses pembuatan
vaksin kini dilakukan di sejumlah laboratorium teruji di dunia. Ada banyak
negara yang ikut serta seperti Jerman, Inggris, Prancis, Brazil, USA, Israel,
hingga China. Berlomba dengan waktu hingga bisa diuji terhadap manusia, karena
kini sudah memasuki tahapan pra klinis dan diharapkan segera berlanjut ke uji
klinis.
Memang proses membuat vaksin tergolong sulit,
tapi di kondisi yang begitu pelik para ilmuwan seakan berburu dengan waktu.
Standar sebuah vaksin bisa ditemukan dan bisa digunakan membutuhkan waktu
hingga 5 tahun. Tapi pada kondisi seperti ini dan banyak ilmuwan yang terlibat
di dalamnya, waktu selama 18 bulan tergolong ideal.
Tinggal bagaimana pemerintah, swasta, dan
masyarakat menekan laju penyebaran dengan berbagai mekanisme terbaik.
Masyarakat melakukan physical distancing, pemerintah dan swasta membuat
terobosan yang baik di semua bidang, apakah itu kesehatan dan ekonomi.
Peran Perusahaan Teknologi China Menghadang
Pandemi
Mungkin di era modern perusahaan berbasis
teknologi jadi perusahaan tersohor. Menghasilkan produk mutakhir, punya
segudang ilmuwan dan tim pengembangan terbaik, menyimpan begitu banyak data
pengguna, hingga dana tak terbatas.
Dampak pandemi COVID-19 seakan berpengaruh
terhadap produksi produk mereka. Bila terus tinggal diam, perusahaan akan
merugi akibat daya beli masyarakat menjadi rendah. Belum lagi ras waswas karena
pegawai hingga pekerja pabrik tidak bisa memulai aktivitas seperti bisa.
Inilah yang membuat mereka berinovasi membantu
menghadang pandemi. Segala sumber daya dan teknologi bisa diimplementasikan
buat mencegah virus. Bahkan bisa menjadi lahan basah yang bisa dimanfaatkan
buat menarik pelanggan. Saat banyak perusahaan lainnya yang menganggap fase ini
adalah kerugian besar bagi mereka.
Perusahaan besar dari negara terdampak paling
besar kontribusinya, dana R&D teknologi yang mereka punya bisa dialihkan
dalam pengembangan teknologi berbasis kesehatan. Salah satu yang cukup cekatan
adalah raksasa Alibaba dengan meluncurkan sejumlah terobosan. Mulai dari
membuat riset khusus di bidang kesehatan yaitu DAMO Academy. Total ada lima
bidang yang menjadi fokus utama dalam pengembangannya.
Alibaba dan Damo melakukan sebuah kolaborasi
unik antara dunia teknologi dengan lintas ilmu lainnya. Dunia bisnis yang
selama ini dekat dengan profit coba dipadukan dengan dunia teknologi yang
membantu masyarakat. Lahirlah DAMO Academy yang mampu mengatasi tantangan
teknis dan skenario bisnis Alibaba.
Bahkan Alibaba memberikan wadah para ilmuwan
dalam menemukan inspirasi dan pengalaman di bidang industri teknologi. Selama
ini ilmuwan kurang mendapatkan apresiasi dan Alibaba mencoba memberikan ruang
yang lebih besar termasuk dalam pendanaan hingga penghidupan yang layak. Alhasil
ada begitu banyak ilmuwan lintas bangsa yang bergabung dalam DAMO Academy.
Termasuk dengan adanya wabah Covid-19 yang
begitu mengkhawatirkan. Sebelumnya saja sudah banyak negara yang bergabung
dalam mencegahnya. Hal paling sederhana ialah dalam mendeteksi penderita dalam
waktu cepat. Sebagai contoh di China ada 82 ribu pasien yang terjangkit di
sejumlah kota di sana. Kini jumlah terus menurun dan hanya menyisakan 2 ribu
pasien saja.
Tak hanya itu saja, ada juga sub-aplikasi
Alibaba yang bergerak di bidang dompet digital, Alipay meluncurkan terobosan
besar dengan namanya Alipay Health Code. Ia mampu mendeteksi pengguna yang
terjangkit COVID-19 khususnya menggunakan aplikasi Alipay. Melalui tiga
keterangan warna yaitu merah (positif dan wajib karantina), kuning (sebaiknya
di rumah saja), dan hijau (bebas gerak).
Caranya cukup dengan mengisi data diri
pengguna, lalu aplikasi akan mengumpulkan data real time pengguna seperti
terkait perjalanan dan interaksi dengan pengguna lainnya khususnya yang positif
COVID-19. Pemerintah dan pihak medis dengan mudah bisa melacak pengguna yang
berpotensi terjangkit tanpa harus melakukan lockdown semua kota di
China. Hanya di Provinsi Hubei saja peraturan tersebut berlaku, sehingga
ekonomi China tidak terganggu secara keseluruhan.
Alipay Health Code juga dipasang di sejumlah
lokasi umum seperti transportasi dan sarana publik. Bila pengguna punya keterangan
warna kuning atau merah akan ditolak aksesnya sehingga tidak membahayakan pengguna
lainnya. Ini cukup berguna dan sukses dalam menekan jumlah COVID-19 di negara
China.
Tak hanya Alibaba saja, sejumlah perusahaan
teknologi China lainnya tak mau ketinggalan berkontribusi besar. Sebut saja ada
Baidu dan Tencent yang menawarkan platform konsultasi dokter online yang
bersifat Telemedicine. Pengguna bisa berkonsultasi mengenai kendala penyakit
dan pihak Baidu dan Tencent sudah menyediakan dokter khusus tanpa harus ke RS.
Bahkan pengiriman obat dilakukan dengan menggunakan jasa Drone agar minim
kontak bekerja sama dengan JD.com dalam pengantar logistik tersebut.
Lalu ada Huawei yang terkenal sebagai pembuat
jaringan telekomunikasi dan bahkan smartphone terbaik di dunia. Berkat
pengalaman mereka di bidang jaringan termasuk kini mengembangkan OS sendiri
tanpa layanan Google. Berhasil membuat cloud khusus dalam memahami susunan
genetik virus COVID-19. Pasien bagaimana yang rentan serta kebiasaan apa yang
berpotensi terpapar virus tersebut.
Terakhir adalah Gojek buatan China yaitu DiDi
Chuxing, mereka memudahkan proses pengantaran makanan, barang serta akses lainnya
bagi pengguna tanpa harus keluar rumah. Serta mempersiapkan layanan cloud
gratis khususnya dalam penelitian virus. Apalagi DiDi Chuxing punya layanan dan
jangkauan luas pengguna di negeri tirai bambu tersebut.
Perusahaan Teknologi Dunia tak Mau Kalah Pamor
Pandemi sudah pasti menjadi polemik di seluruh
dunia, ada begitu banyak dampak yang dirasakan. Inilah yang membuat perusahaan
teknologi dunia bekerja sama. Di mulai dari daratan Asia yaitu Jepang dengan
FujiFilm, terkenal sejak dulu di bisnis kamera bukan berarti mengabaikan isu
kesehatan. Apalagi Jepang negara di luar China pertama yang terjangkit COVID-19.
Melalui divisi pengembangannya yaitu FujiFilm
Toyama Chemical terkenal dengan riset kesehatan. Salah satunya dengan
meluncurkan obat penawar yaitu Avigan. Obat ini telah berhasil melewati uji
klinis khususnya pada pasien COVID-19 berdampak besar di Wuhan dan Shenzhen.
Memang cukup efektif untuk pasien gejala sedang dan ringan termasuk mencegah virus
berkembang biak.
Ada juga startup asal Jepang yang melakukan
proses pemberian informasi mengenai COVID-19 dengan menggunakan AI ChatBot.
Tujuannya mengurangi kontak antar manusia khususnya yang baru saja tiba di Jepang.
Para pelancong bisa mengetahui informasi mengenai Jepang serta lokasi yang
rawan dengan penyebaran COVID-19.
Singapura tak mau ketinggalan, menurut saya negara
ini cukup protektif terhadap COVID-19. Pengalaman akan SARS di tahun 2003
membuat Singapura belajar banyak, termasuk layanan RS terbaik. Bahkan proses
pengiriman kebutuhan medis dilakukan dengan menggunakan transportasi udara dari startup negara mereka AntWork.
Meloncat jauh ke negara adikuasa Amerika yang
terkenal dengan gudang perusahaan teknologi. Selama ini Google, Facebook, Microsoft,
dan Amazon sangat bersaing di dunia dagang, tapi saat virus COVID-19 menjadi
pandemi di Amerika, membuat mereka bersatu dalam membuat terobosan.
Misalnya saja Google dengan mengembangkan divisi
khusus Verily khususnya situs web pengujian virus COVID-19. Ada 1.700 insinyur
yang terlibat dalam proyek tersebut dan nantinya ada pengujian COVID-19 dan
mengarahkan pasien ke lokasi terdekat. Pengguna nanti bisa mengambil hasil tes
pada web pengujian dari Verily tersebut.
Facebook juga tak mau ketinggalan dengan meluncurkan
fitur bantuan komunitas sehingga pengguna bisa menawarkan bantuan pada tetangga.
Seperti mengambil barang belanjaan, meminta mengerjakan sesuatu, penggalangan
dana hingga kegiatan sukarelawan.
Microsoft melakukan hal berbeda yaitu dengan
membantu para peneliti dalam proses akses pada cloud mereka yakni
Microsoft Azure. Tujuannya adalah memudahkan proses kolaborasi para ilmu dan
penelitian seperti penanganan dan monitoring pasien, proses perkembangan vaksin
hingga akses mudah data dengan Microsoft.
Terakhir tentu saja Amazon, mulai dari
menyumbangkan dana dalam jumlah besar, merekrut banyak pekerja hingga 100 ribu
karyawan baru serta menggunakan pengiriman hingga di depan pintu rumah. Artinya
mampu mengurangi interaksi dengan penerima barang termasuk pengoperasian Drone
dan Zeppelin dalam pengiriman udara. Bahkan menggratiskan layanan Amazon Prime
kepada pengguna setianya.
Menghadapi pandemi dan krisis saat ini akan
terasa ringan bila semua pihak saling bahu-membahu. Koneksi ini mampu membantu
pihak yang paling kuat mengalami cobaan seperti yaitu pasien, tenaga medis dan peneliti.
Pihak lainnya saling bekerja sama dan membuat terobosan agar pandemi segera
berakhir. Memulai hidup normal seperti semula.
Semoga postingan ini memberikan inspirasi, Stay
at Home and Have a Nice Days.
Tapi memang untuk hadapi penyakit kecil-kecil anggaran negara. WHO aja udah bilang Covid-19 buka betapa buruknya sistem kesehatan dunia.
ReplyDeleteBeda dengan swasta yang jor-joran untuk dana riset.
Tapi yaa itu... negara gak bisa kasih budget banyak untuk riset, soalnya banyak bagian lain yang butuh dana juga. Beda dengan swasta yang mereka pikirannya gak percabang, cuma urusin riset doang.
Kalau penelitian bagusnya kasih ke swasta aja. pemerintah bagusan banyakin dana untuk kesejerahtaan masyarakatnya. Tks