Dunia fotografi terguncang berat saat pandemi datang
menghantui dunia. Ada begitu banyak para fotografer dan model yang harus
menganggur sembari duduk di rumah. Pembatasan gerak dan interaksi sesama
manusia membuat aktivitas yang berhubungan dengan orang banyak dihentikan
hingga kondisi kembali normal.
Para fotografer sudah pasti terpukul berat,
ada banyak klien yang membatalkan proses penjepretan yang sudah dijadwalkan
jauh-jauh hari. Apa mau dikata, itu semua agar menekan angka penyebaran yang
sudah cukup mengkhawatirkan. Secara ekonomi, pendapatan fotografer menurun
drastis meskipun biasanya ada begitu banyak, klien pun juga harus gigit jari.
Mau tak mau model atau klien harus memotret sendiri bahkan menggunakan foto
sisa kemarin yang masih tersedia.
Sedangkan foto yang sifatnya moment seperti
pernikahan, wisuda, hingga foto acara semuanya harus ditiadakan. Bahkan banyak
yang harus melaksanakan secara virtual atau bahkan dengan proses ketat. Jadi
nasib para fotografer berada di ujung tanduk khususnya harus mengandalkan uang
simpanan. Hanya saja untuk normal kembali membutuhkan waktu. Para fotografer
harus berpikir keras dan berinovasi menghadapi suatu yang new normal.
Nasib Pekerja Swasta dan Cara Mengakali Diri
Bukan hanya fotografer saja, ada begitu banyak
pekerjaan yang harus kehilangan omzet khususnya yang bekerja di sentra swasta. Banyak
perusahaan yang merumahkan pekerjanya karena minimnya omzet sedangkan para
freelance harus kehilangan begitu banyak pelanggan yang ketakutan akibat
pandemi.
Sebut saja fotografer yang harus kehilangan
sesi photoshoot di luar kota khususnya tempat-tempat eksotik yang selama
ini jadi lokasi pre-wedding. Bahkan hanya melayani foto dari rumah, itu
pun dengan izin dan persyaratan rumit. Itu pun di sejumlah lokasi yang diberi
kelonggaran, sedangkan yang tidak ada kelonggaran harus siap gigit jari.
Tak hanya itu saja, industri produsen
fotografi terpukul berat. Gear seperti kamera, lensa, aksesoris sangat
terdampak karena minimnya permintaan. Para fotografer menunda segala
aktivitasnya, buruknya lagi pengembangan gear melambat karena ada banyak pekerja
yang dirumahkan.
Aktivitas traveling juga menyumbang begitu
banyak penjualan akan kamera, saat sejumlah negara dan sejumlah lokasi wisata ditutup ini sebuah
pukulan berat. Toko-toko kamera harus mengalami penurunan pemasukan dan bahkan
menunda memproduksi produk baru.
Tapi manusia punya sejumlah cara dalam
mengakali itu semua, salah satunya menghasilkan karya dari rumah. Apalagi model
berharga yang bisa dimanfaatkan adalah internet dan fitur video call atau video
konferensi. Sifatnya yang kini fleksibel bahkan yang dulunya harus bekerja di
lapangan dan bertemu dengan klien.
Eksperimen akhirnya lahir apalagi dunia berbau
kreatif seperti fotografi sudah pasti mengharuskan banyak inovasi. Aplikasi
video call konferensi nyatanya bisa disulap yang semula hanya digunakan sebagai
media rapat atau pertemuan grup. Kemudian menjadi alat yang berguna dalam
mengarahkan klien yang ingin diajak foto. Jarak bukan masalah karena kini Zoom,
Facetime, WhatsApp video hingg Skype jadi solusi.
Konsepnya pun jadi berubah, selama ini
pemandangan alam atau spot yang menarik jadi latar belakang foto. Tapi kini tak
masalah rumah, pelanggan cukup mencari objek terbaik di rumahnya. Bisa juga
ditata ulang agar terlihat menarik.
Fotografer pun bisa belajar ilmu baru sembari
di rumah, selama ini sangat jarang upgrade kemampuan. Pandemi yang sedang
menyerang dunia bisa jadi alasan menambah ilmu baru. Mulai dari belajar desain,
proses editing yang lebih smooth hingga belajar proses videografi dengan angle
baru. Kemampuan fotografi kini sepaket dengan videografi jadi wajib upgrade
knowledge.
Sejarah Panjang Fotografi
Manusia telah lama mengenal dunia fotografi
khususnya mengabdikan moment penting sebagai bukti sejarah. Tepatnya sejak abad
kelima sudah ditemukan kamera yang disebut dengan obscura yang mengandalkan
tangkapan cahaya.
Di abad 18, perkembangan kamera begitu pesat
hingga akhirnya Louis Daguerre mampu menghasilkan gambar manusia pertama di
dalamnya. Serta James Clerk Maxwell di tahun 1861 berhasil menghasilkan kamera
berwarna pertama.
Setelah itu inovasi kamera makin berkembang
pesatnya dengan kemampuan yang terus membaik setiap tahunnya. Mulai dari kamera
Kodax Eastman dengan konsep Roll Film, Singel Lens Reflex (SLR), kamera
Polaroid, hingga era mirroless. Bahkan kini kamera ponsel tak kalah
bagusnya dalam menangkap hasil objek sebagai alternatif menggunakan fotografer.
Artinya siapa saja bisa mengambil gambar yang
diinginkan kapan saja, hanya saja kebutuhan akan gambar yang baik dengan
resolusi bagus datangnya dari para fotografer. Peran mereka cukup diperlukan,
apalagi kekuatan gambar sangat kuat khususnya dari moment sakral,
tangkapan objek hingga foto promosi di sosial media.
Saat ini lahir model baru dalam menangkap itu
semua, yaitu Virtual Photoshoot. Bermodal kamera sangat fotografer dan
pelanggan, meskipun terpisah jarak dari rumah masing-masing. Kini aplikasi video
call konferensi mampu menyambungkan keduanya jadi satu ikatan batin. Tinggal
bagaimana fotografer mengambil angle terbaik untuk hasil memuaskan.
Kenalan Jauh Mengenai Konsep Virtual
Photoshoot
Siapa sih yang
memperkenalkan konsep ini pertama kali?
Secara pertama
kali kemunculan Covid-19, Italia jadi negara yang cukup berdampak besar. Ada
banyak korban jiwa yang harus berjatuhan, ditambah lagi dengan minimnya tenaga
medis di sana. Alhasil pemerintah sana menerapkan lockdown total tanpa
terkecuali.
Bidang yang
paling berdampak di Italia adalah pariwisata, selama ini Italia sangat terkenal
sebagai lokasi wisata dan tentu saja ada begitu banyak model karena perawakan
wajah masyarakatnya. Alhasil saat lockdown dilakukan, ada banyak para
fotografer dan model harus duduk di rumah selama berbulan-bulan.
Semua tak
kehabisan akal, setiap musibah pasti manusia selalu berpikir out of the box dalam
bertahan dan berkarya. Termasuk apa yang dilakukan oleh begitu banyak
fotografer kini, konsep yang ditawarkan adalah Virtual Photoshoot dengan hasil
jepretan tak kalah bagus. Semua tergantung bagaimana kualitas dari aplikasi
konferensi yang digunakan, supaya mengurangi blur.
Inilah yang
menginspirasi salah satu fotografer Italia yaitu Alessio Albi mencoba
mengajak para model untuk mencoba gaya baru dalam berfoto ala virtual. Paling
penting adalah komunikasi dan tentu saja pemilihan tempat dan beragam aplikasi
video call digunakan secara optimal.
Satu sisi,
prosesi pemotretan jadi lebih singkat dan menghemat waktu khususnya biaya
perjalanan dan waktu tempuh. Bahkan bisa mengambil banyak orderan dalam satu
hari sesuai dengan kesepakatan. Pastinya ini jadi lahan bisnis baru para
fotografer yang sebelumnya sudah patah hati bisnisnya terhalang pandemi.
Perbedaannya
pun tidak terlalu signifikan, hanya saja yang diperlukan adalah menyiapkan
konsep yang diinginkan oleh pelanggan. Bisa tempat atau properti yang
diinginkan, bahkan para fotografer menerima saran lokasi dan tangkapan cahaya
supaya hasilnya jadi lebih bagus.
Sisi lainnya
malahan sang model bisa memilih sendiri gaya yang ia suka, ibaratnya swafoto
tapi ada orang lain yang memfotonya dari jarak jauh. Nah... hal yang paling
diperhatikan adalah pantulan cahaya dari perangkat yang digunakan. Paling
umumnya adalah kamera ponsel, harus ada percobaan seperti membersihkan lensa
terlebih dahulu atau tangkapan cahaya yang mengganggu proses penjepretan.
Satu lagi yang
cukup krusial adalah internet, bila saja saat proses pemotretan internet
ngadat. Nantinya hasil yang didapatkan akan terlihat buram. Bila semua tak
jadi kendala, hasilnya akan siap. Tinggal nantinya bagaimana para fotografer
melakukan proses editingnya. ini selaras dengan perjanjian dengan klien.
Alhasil, konsep
ini mampu menarik sejumlah model dunia, bahkan majalah dunia yang selama ini
gencar mendapatkan gambar para model. Kepincut dengan apa yang ditawarkan ini,
bahkan menjadi sebuah role baru dalam proses fotografi alternatif.
Nah... bagi
perempuan sendiri swafoto seperti sudah jadi hal wajib yang sulit dilepaskan.
Virtual Photoshoot jadi pelipur lara yang selama ini jadi objek buat difoto.
Kerinduan itu terjawab dari inovasi dan kreasi yang dilakukan oleh para
fotografer, apalagi stok foto sudah banyak menipis. Virtual Photoshoot akhirnya
datang...
Jadi jangan
heran di sosial media ada begitu banyak hasil jepretan yang diunggah
menggunakan konsep Virtual Photoshoot. Hanya saja untuk foto pernikahan atau
moment sakral seperti masih sedikit, ada banyak yang menunda dulu atau
mengundang fotografer tertentu untuk datang meskipun dengan protokol kesehatan
ketat.
Peluang Besar
Bisnis Virtual Photoshoot
Suatu menjadi
tren baru, nyatanya ini mampu menarik sejumlah minat para kumpulan fotografer
ternama untuk bergabung dalam sebuah model bisnis. Di Indonesia sendiri ada
salah satu startup atau online marketplace yang mencoba peruntungan ini
dalam menggaet para konsumen.
Uniknya lagi
dalam kumpulan para fotografer adalah para artis yang cukup familiar dan punya
kemampuan fotografi kelas atas. Siapa sih yang tak kenal seperti Gading Marten,
Dion Wiyoko, Tommy Siahaan, atau Ana Octarina. Mereka tergabung dalam startup
berbasis fotografi bernama Frame a Trip.
Tak hanya itu
saja, ada banyak pemberi dana yang datang dari kalangan artis dan para
fotografer. Sebut saja nama yang tak asing dari Dian Sastrowardoyo, Arief
Subardi, Hermawan Sutanto Michael Tampi, dan Damon Hakim. Apalagi startup ini
sudah cukup lama berdiri sejak tahun 2017, bisa dibilang menjajal dunia startup
sekaligus membantu sejumlah pihak dari fotografer dan artis dalam mengasah
kemampuannya.
Konsepnya kini
mengikuti tren Virtual Photoshoot yang sebelumnya face-to-face photoshoot.
Ada kisaran biaya yang harus dikeluarkan klien dan tentu saja waktu yang harus
dibayarkan klien. Apalagi kini sifatnya virtual, sudah pasti lebih menekan
harga tanpa biaya perjalanan. Startup ini sendiri dikelola langsung oleh
Patricia Rose yang juga punya koneksi kuat antara artis dan fotografer. Elemen
yang dianggap sulit dipisahkan apalagi di era sosial media seperti saat ini.
Proses
pemesannya pun gampang, tinggal melakukan proses pemesanan pada Website resmi
milik Frame a Trip. Nantinya akan ada personal asisten yang akan menghubung
klien untuk bisa mendapatkan proses briefing yang jelas sesuai dengan
permintaan klien. Enaknya adalah saat sesi foto bisa bincang-bincang dengan
fotografer, apalagi selama ini jadi artis idola Anda. Hasil bagus didapat dan
tentu saja pengalaman ngobrol langsung secara virtual.
Konsep ini
dianggap punya prospek besar di masa depan, bisa saja makna fotografi akan
berubah dan akrab secara virtual. Makin bagusnya kualitas dari video call dan
lebih fleksibel dan irit waktu buat fotografer. Ini dianggap jadi startup
potensial.
Apalagi bila
ada pendanaan yang datang, ada banyak partner yang ingin bekerja sama bahkan
menghimpun beragam fotografer dan artis mencari pemasukan tambahan. Selama ini
banyak yang terhalang, Frame a Trip dianggap sebagai media freelance fotografi
virtual tepat. Bisa saja jadi startup unik lainnya yang menambah ramai startup
tanah air.
Nah... setiap
bencana apa pun itu jangan selalu dianggap sebagai petaka tetapi peluang baru.
Apalagi dunia yang kini dinamis, berpikir kritis dan inovatif dianggap cara
cerdas menanggapinya. Bukan hanya menggerutu, karena itu tidak hanya memecahkan
masalah tapi menambah masalah baru buat jiwa dan raga.
Akhir kata,
semoga tulisan ini menginspirasi dan Have a Nice Days...
0 komentar:
Post a Comment