Film Transcendence, dalam sekuel ceritanya bercerita tentang
seorang Doktor bernama Will Caster yang diperankan
oleh Johnny Depp ingin menciptakan komputer super canggih. Hanya saja niatan
itu gagal terwujud karena ia keburu ditembak oleh kelompok anti teknologi
(RIFT).
Di tengah masa sekaratnya, istrinya Evelyn Caster yang
diperankan oleh Rebecca Hall. Ia kemudian berhasil mengupload seluruh pikiran
suaminya ke ranah internet. Will memang akhirnya mati, tapi emosi, pikiran, dan
segala pengetahuannya hidup di dalam komputer.
Dalam satu scene, terdapat di mana Will berhasil membaca
isi hati, emosi, hingga apa saja yang ingin diucapkan oleh istrinya. Seakan
tidak ada batas lagi dan di luar kuasa manusia, bahkan Will dengan kecerdasannya
mampu mengontrol iklim.
Sesuatu yang digambarkan di dalam film Sci-fi Hollywood
memang berlebihan. Hanya saja di dalam scene tersebut ada sejumlah
teknologi yang kini makin nyata. Teknologi itu bernama Facial AI, kemampuan
membaca mimik wajah dan emosi sebagai bentuk representasi diri.
Kini ada banyak perusahaan teknologi terkemuka di dunia
seperti Amazon, Microsoft hingga IBM sedang getolnya mengembangkan algoritma Emotion
Regocnition. Mengajak para ilmuwan dalam memecahkan representasi wajah
manusia yang diterapkan pada teknologi.
Nah, yang menjadi landasan utama dari ilmu ini yaitu
penerapan pada sistem Facial Action Coding. Bukan hal yang baru, karena
landasan ini dibangun oleh psikolog kenamaan Paul Ekman. Dalam riset panjang
yang ia lakukan hingga akhirnya ia dikenal sebagai psikolog berpengaruh abad 21
versi majalah Time.
Ekman membagi emosi dasar manusia dalam enam bagian
ekspresi wajah, yaitu: Bahagia (Joy), Sedih (Sadness), Marah (Anger),
Takut (Fear), Kaget (Surprise), dan tentu saja jijik (Disgust).
Nah.. dari situ setiap mimik wajah ini bisa menggambarkan
pola dasar manusia, misalnya saja saat ia bahagia ia akan tersenyum dan saat ia
marah, target akan cemberut. Secara sekilas terlihat mudah dan itu semua coba
dikembangkan dalam sistem Facial AI.
Saat inilah AI terlihat rumit, khususnya dalam membaca
air muka dari seseorang yang sifatnya bias. Apalagi sifat wajah yang tak
sepenuhnya menggambarkan suasana hati dan keadaan sebenarnya.
Potensi Besar Facial AI di Masa Depan
Bisnis pendeteksian wajah berkembang pesat dalam beberapa
tahun terakhir. Bahkan di tahun 2023, nilai valuasi pasarnya diperkirakan
hingga US$ 20 miliar.
Potensi Facial AI mulai terkemuka saat sensor wajah dan
iris mata mulai kembangkan pada perangkat teknologi yang erat pada manusia
yaitu ponsel dan komputer.
Dulunya, sistem ini digunakan dalam mendeteksi data
seseorang khususnya yang mencurigakan saat melewati bandara atau tempat transit
di sebuah negara. Orang yang mencurigakan atau punya catatan hitam di
kepolisian akan dengan mudah terdeteksi.
Semenjak itu, sistem Facial Regocnition berkembang
pesat khususnya sebagai sistem keamanan tambahan yang lebih sederhana dan aman
dibandingkan dengan sidik jari.
Ada begitu banyak tempat dan lokasi yang menerapkan
Facial AI. Mulai dari bandara internasional, sistem perangkat di gadget, tempat
kerja, ruang kelas hingga akses sosial media.
Artinya perusahaan yang bergerak di bidang tersebut akan
kebanjiran pesanan dalam pengembangan Facial AI. Itu belum lagi perangkat yang
dibutuhkan terus meningkat sesuai dengan kebutuhan.
Itulah mengapa banyak perusahaan teknologi yang melihat
potensi besar ini. Riset dan pengembangannya akan terus bertambah sering dengan
berjalannya waktu. Apalagi Facial AI termasuk dalam cabang ilmu Deep Learning.
Salah satunya adalah startup asal Spanyol yang begitu
getol dalam mengembangkan Facial AI secara mandiri yaitu Emotion Research Lab.
Ada berbagai data yang mereka miliki dari berbagai negara, ini untuk mengetahui
mimik wajah dari setiap etnis.
Landasan ini bisa mengurangi bias akan emosi dari setiap
negara. Emotion Research Lab sebagai startup Facial AI tak hanya mengukur emosi
saja. Ada 17 parameter lainnya yang mereka ukur, sebut saja: deteksi emosi,
deteksi wajah, pelacakan mata, usia, jenis kelamin hingga etnis.
Cukup lengkap bukan, selain itu ada begitu banyak data tambahan
yang mereka dapatkan dari internet sebagai memperkaya proses Facial AI. Ini
berguna dalam mengembangkan Facial AI jadi lebih akurat. Jangan heran, nantinya
Emotion Research Lab diakuisisi oleh perusahaan teknologi terkemuka dunia.
Masalah yang Mendera Facial AI
Apa yang dilihat mesin tidaklah sama dengan
dirasakan oleh naluri manusia,...
Gambaran itulah yang membuat banyak orang pesimistis akan
Facial AI dalam memprediksi secara akurat. Alasan mendasarkan karena AI
menganalisis data perasaan seseorang yang bekerja secara analisis intuisi dan
subjektif semata.
Kembali lagi ke sistem AI, kinerja yang digunakannya
bermodalkan pada data. Khususnya konsep dasarnya dalam mengenali 6 kondisi
wajah manusia. Artinya bukan kesalahan dari Facial AI dalam membaca mimik
wajah, tetapi wajah dianggap bukan cerminan emosi yang akurat.
Orang yang deteksi tersenyum lebar, belum tentu 100%
bahagia atau bahkan mereka yang sedih bukan berarti sepenuhnya bersedih. Sifat
bias ini seakan menjadi masalah utama dalam pengembangan Facial AI.
Namun bukan berarti Facial AI tidak sepenuhnya tak
berguna, di dalam cabang AI ada istilah Deep Learning. Kemampuan belajar
dari sebuah mesin khususnya dalam mempelajari kebiasaan manusia.
Apalagi didukung dengan data yang semakin banyak dari
waktu ke waktu. Kombinasi AI dan Big Data mungkin menjadi jawaban akan Facial
AI berkembang lebih baik.
Baca Juga: Kolaborasi Manusia dan Machine Learning
Saat ini data dalam Facial AI masih terbatas, makin
banyak database yang tersedia dan diperbanyak. Otomatis AI akan semakin kaya
daya dan semakin mudah dalam mendeteksi berbagai kondisi mimik wajah dan bahkan
perasaan seseorang.
Mengapa ini dilakukan?
Tujuan utamanya adalah mengurangi bias yang selama ini
jadi kendala besar dari Facial AI. Makin banyak data, otomatis bias yang
dihasilkan makin kecil. Meskipun margin error tetap ada, tapi AI bisa
belajar banyak dalam menganalisis data tersebut.
Mempelajari Mimik Wajah saja Tak Cukup
Data yang banyak dari mimik wajah orang di dunia atau
orang tertentu saja tak cukup. Ada namanya data seimbang yang mencakup berbagai
faktor di dalamnya. Paling berpengaruh adalah etnis, ini punya pengaruh besar
dalam merespons emosi.
Watak sebuah etnis jadi sebuah data besar yang
dimanfaatkan dalam membaca air muka. Pada etnis tertentu sangat mudah meluapkan
emosi tapi sulit meluapkan hal sebaliknya. Sedangkan pada etnis lainnya sangat
murah senyum dan sangat sulit meluapkan rasa amarah.
Sebagai contoh, dalam setiap frame mimik wajah
seseorang. AI akan membaginya dalam 25 frame berbeda dalam satu detik
dan 1500 gambar dalam satu menit. Data sebanyak ini digunakan dalam mereka
ekspresi wajah manusia yang cenderung fluktuatif.
Di dalam ilmu tersebut, dasarnya ada pada Face
Recognition. Kita semua pasti mengenal orang terdekat kita salah satunya
dari wajah. Alasannya kita sudah berinteraksi sejak dulu, mulai dari bentuk hidung,
kontur muka, kedalaman rongga mata hingga bentuk alis.
Cara itulah yang coba AI pelajari, ia akan mengumpulkan
berbagai jenis wajah di dalam databasenya. Data tersebut disimpan dan bisa
diakses kapan saja.
Proses identifikasi dimulai dari gambar yang diambil dari
sebuah foto atau video. Wajahnya tersebut didapatkan resolusi tinggi, apakah di
kerumunan atau saat target sendiri. Posisinya dari depan supaya mudah dalam
proses identifikasi.
Langkah lanjutan proses pengenalan wajah, kunci paling
utama adalah jarak antara mata, dagu, dan dahi. Perangkat Facial AI akan
mengidentifikasi setiap kontur wajah.
Dalam hal ini juga dilakukan proses membedakan wajah
antara satu orang dengan lainnya. Setiap perbedaan mampu dibedakan sesuai
dengan database. Ia tidak mencakup aspek tambahan seperti warna rambut,
alis dan sebagainya. Ini sifatnya bias dan bisa berubah-ubah.
Tahapan akhir adalah proses pencocokan wajah, bisa
dibilang AI punya identifikasi dengan cepat dan akurat. Memang tetap ada
error yang disebabkan terbatasnya data, tapi dengan makin beragamnya data
otomatis error itu terus berkurang.
Tahapan lanjutan adalah mengetahui ekspresi, ini memang
cukup sulit karena butuh video atau foto dari berbagai kondisi target. Kita
bisa menilai apa yang ia sampaikan mengandung unsur apa saja, sesuai dari enam
parameter emosi.
Facial AI dalam Membaca Mimik Perkataan Pejabat Publik
Teknologi nyatanya sangat membantu dalam berbagai hal,
termasuk dalam membaca wajah para politisi. Selama ini politisi memang sangat
pandai bersilat lidah, air mata buaya atau aksi teatrikal.
Facial AI punya cara sendiri dalam melakukan hal
tersebut, mereka akan mengumpulkan data mimik wajah tersebut. Menciptakan
diagram dan kondisi dari enam mimik wajah, apakah benar atau hanya sandiwara
biasa.
Salah satu yang patut dicoba adalah pada para pejabat
publik, mereka sering tampil di muka umum dengan berbagai tampilan wajah. Facial
AI bisa mendeteksi air muka wajah tersebut, apakah sesuai dengan ucapan atau
hanya sandiwara belaka.
Facial AI seakan lebih modern dibandingkan Lie
Detector yang selama ini digunakan di persidangan. Artinya AI lebih maju
dan lebih akurat dalam mendeteksi siapa ucapan dan tentu saja wajah. Masyarakat
tinggal menentukan, apakah politisi itu layak dipilih atau tidak.
Facial AI nantinya bisa mengetahui mana yang sebenarnya
benaran marah atau hanya bersandiwara untuk mencari atensi masyarakat. Pada
tahapan ini, AI sudah cukup membantu begitu banyak masyarakat dalam mengetahui
karakter pemimpinnya.
Keamanan Data Wajah yang Makin Bias
Pada sejumlah negara yang punya kontrol penuh terhadap
masyarakat. Face Recognition punya peran penting, termasuk mengawasi
tindak tanduk masyarakatnya di tempat umum.
Setiap masyarakat diberikan semacam skor atas segala
tindakannya. Bila saja melanggar atau pernah melakukan tindakan kriminal
menurut negara. Otomatis akan diberikan skors berupa tidak bisa menggunakan
akses sejumlah transportasi umum, kesehatan hingga pendidikan yang layak.
Facial AI juga mengawasi segala tindak-tanduk yang
berakibat pada tindakan salah tangkap. Apalagi bila AI salah mendeteksi mimik
wajah warganya. Alhasil ini dianggap cara negeri komunis dalam menangkap
masyarakatnya yang dianggap mencurigakan.
Bahkan di USA, wajah digunakan sebagai akses dalam
membuat SIM dan berbagai akses lainnya. Itu semua menjadi akses data. Jepang
dalam akses dalam proses menarik uang di ATM.
Itu baru negara, bagaimana jadinya bila Facial AI jatuh
pada orang tak bertanggung jawab. Data keamanan wajah disimpan dan dikumpulkan
tanpa izin. Apalagi bila wajah jadi akses dalam berbagai lokasi penting.
Baca Juga: Eksistensi Manusia dan Gebrakan AI
Aksi penipuan juga bisa saja terjadi, Facial AI
sebenarnya sudah berkembang pesat saat sosial media eksis.
Ada begitu banyak orang menjadi korban penipuan dari foto
pengguna. Bermodalkan foto yang curian pada sosial media, kemudian digunakan
untuk menipu dan memeras orang lain. Bahkan Facial AI bisa mengenali wajah seseorang
di tempat umum.
Ada beragam ekspresi wajah dari berbagai belahan dunia
dan etnis yang menjadi sampel. Makin banyak makin baik, tapi ada sesuatu yang
perlu disadari: PRIVASI.
Masalah ini dianggap cukup serius, berhubungan dengan
wajah seseorang otomatis berhubungan dengan privasi. Akses wajah kini banyak
digunakan sebagai pengganti sidik jari atau sidik mata dalam akses.
Dari wajah pun, ada banyak akses dari perangkat
penggunanya. Bagaimana bila saja data privasi yang niat awalnya sebagai Facial
AI. Malah jatuh ke pihak yang salah, digunakan untuk akses meretas data
pengguna.
Facial AI punya segudang manfaat tapi juga punya sisi
lainnya yang berbahaya bagi penggunanya. Bijak menggunakannya dan dikelola
dengan orang yang benar akan menggunakan.
Bahkan startup yang membangun sistem dari Facial AI akan
kebanjiran uang segar dari investor dan pengguna setia di masa depan. Sebut
saja apa yang Emotion Research Lab dan startup serupa di belahan dunia lakukan
saat ini.
Saat ini masih dalam proses pengembangan khususnya dalam
memperkaya data. Kita tunggu saja sepak terjang selanjutnya. Semoga postingan
ini memberikan pencerahan untuk kita semua, akhir kata: Have a Nice Days.
0 komentar:
Post a Comment