Dunia otomotif seakan merasakan angin segar saat Tesla
datang. Mobil listrik yang dulunya punya daya jelajah rendah dan tidak punya
kecepatan yang maksimal. Mungkin hanya sebatas mobil konsep atau protype
mobil pertama dunia dulu.
Tapi dalam sekejap atau satu dekade saja semua seakan
berubah dengan cepatnya. Tesla yang diambil alih Elon Musk dari salah seorang
pengembangnya Martin Eberhard dan Marc Tarpenning. Lalu kemudian Elon mengembangkan
menjadi sebuah mobil listrik yang bertenaga dan hemat daya.
Masalah terbesar mobil tenaga listrik datang dari
dayanya, itu semua dijawab dengan ribuan baterai lithium-ion di bawah
lantai mobil. Mampu memacunya dengan cepat bahkan mengalahkan supercar
terkemuka sekalipun. Yah... ini sebuah loncatan besar yang terjadi di dunia
otomotif.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bila itu dilakukan pada
dunia aviasi?
Selama ini dunia aviasi dikenal sebagai dunia yang sibuk
sebelum pandemi datang. Ada begitu banyak penerbangan lokal dan mancanegara
yang menjadi pesawat sebagai moda yang cepat dan efisien waktu. Meskipun ada
begitu banyak buangan karbon di avtur yang ada di atmosfer oleh ulang pesawat.
Jumlah karbon yang dihasilkan dari setiap pesawat
komersial menyumbang 20% buangan karbon. Komposisinya berupa karbon dioksida, benzol,
nitrogen oksida, dan partikel karbon lainnya. Ini akan terus meningkat dengan
bertambahnya rute penerbangan dan jumlah keberangkatan.
Kendala Terbesar Pesawat Bertenaga Listrik
Membuat sebuah pesawat jauh lebih rumit dalam membuat
moda transportasi darat dan air. Butuh teknologi yang lebih mumpuni dan riset
yang panjang. Apalagi yang sifatnya masih sangat baru dan belum ada sebelumnya.
Memang dengan adanya energi baru bisa menekan konsumsi
bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan. Tapi itu sangat butuh waktu
lama dan proses panjang, bukan hanya pesawatnya saja yang berbahan ramah lingkungan
termasuk juga sistem mendapatkan energi yang tidak menggunakan energi fosil
sedikit pun.
Berat pesawat, gaya angkat yang ada pada pesawat seakan
membuat pesawat bisa mengudara. Butuh energi besar sehingga pesawat bisa
melawan gravitasi bumi dari energi angkat itu. Dorongan ini datang dari bahan
bakar, makin jauh perjalanan otomatis makin banyak bahan bakar yang dibakar.
Beda dengan pesawat listrik yang punya berat konstan dari
baterai yang digunakan. Berat terbang dan turun tidak berkurang sedikit pun,
ini tergolong berbahaya karena saat turun butuh massa yang lebih ringan sebelum
terbang.
Apalagi kasusnya pendaratan darurat yang sering terjadi
adalah pilot membuat terlebih dahulu bahan bakar agar memudahkan proses
pendaratan darurat. Apakah itu mengurangi percikan api atau bahkan gesekan yang
berdampak bagi penumpang.
Faktor lainnya saat pendaratan pada roda pesawat tidak
dapat mengambil tekanan dan berat saat proses pendaratan. Ini mengharuskan
pesawat listrik harus punya beban lebih ringan dibandingkan pesawat komersial
saat ini. Bila tidak, sangat sulit mendaratkannya dan membuat pesawat dengan
jumlah penumpang lebih banyak.
Kepadatan daya dan jangkauan, Well.. ini jadi masalah yang sulit dipecahkan karena tenaga baterai belum
setangguh bahan bakar khusus proses kepadatan daya. Saat ini untuk sebuah
baterai lithium-ion modern yang digunakan Tesla saja hanya punya daya
0,578 MJ/kg. Jauh sekali dengan bahan bakar yang sampai 117,2 MJ/kg.
Belum lagi rasio daya pesawat listrik makin kalah jauh
dari pesawat berbahan bakar dalam proses penggerakan turbin. Sehingga bahan
bakar lebih cepat habis dan hanya punya daya jangkau pendek. Makanya kini sudah
ada pesawat listrik dengan jangkauan pendek.
Proses pemeliharaan yang mahal, beda dengan mobil listrik, pesawat butuh proses pemeliharaan yang lebih
besar dan mahal terutama baterai atau panel surya yang digunakan. Proses baterai
punya batas maksimal sehingga benar-benar tidak bisa digunakan. Umumnya hingga
1.500 kali pengisian daya, itu belum lagi faktor yang lebih mempercepat siklus
anoda dan katoda pada baterai.
Bila baterai terganggu, ini akan membuat pesawat harus
melakukan perawatan teratur dan besar
tentunya. Apalagi kendaraan listrik apa pun itu, komponen termahal dan paling
sensitif adalah baterai. Bila saja terganggu atau rusak pasti butuh biaya
besar. Di tengah dunia aviasi yang kejam, ini sangat merugikan pihak maskapai
selaku pembelinya.
Memang ada begitu banyak cara yang dilakukan, dengan meningkatkan
kualitas baterai jauh lebih bertenaga. Ilmuwan saja memprediksi paling cepat
berlangsung di tahun 2045, selain itu proses daya lebih panjang sehingga
maskapai bisa menekan biaya aviasi yang sudah sangat mahal. Avtur yang mahal
bisa digantikan baterai lithium-ion atau sel surya di masa depan.
Baca Juga: Baterai Lithium, Wujud Energi Masa Depan
Kondisi saat terbang, selain baterai lithium-ion atau
lithium-CO2, ada juga alternatif
dengan menggunakan panel surya di setiap bodinya. Ini bisa menekan
jangkauan lebih panjang khususnya penerbang di siang hari terik. Beda halnya
saat dilakukan saat malam hari atau cuaca berawan. Sel surya jadi tidak bisa
digunakan sama sekali dan tidak efisien di daerah dengan curah hujan tinggi.
Kapasitas angkut dan jarak tempuh, pesawat komersial
lintas negara butuh kapasitas besar secara hitung-hitungan. Ini menghitung biaya
yang harus dikeluarkan dari bahan bakar, perawatan pesawat, menggaji karyawan
hingga membayar cicilan pesawat.
Bila saja harga pesawatnya mahal, kapasitas kecil, dan
daya angkut pendek. Ini seakan membuat maskapai berpikir ulang berapa kali.
Lagian peminatnya tidak banyak, dalam dunia aviasi lebih diutamakan kenyamanan
dan kecepatan dibandingkan ramah energi.
Makanya bila ada perusahaan aviasi yang membuat pesawat,
ia harus mencari segmen baru. Apakah dengan merusak harga pasar pesawat seperti
yang tesla lakukan, jangkauan lebih jauh hingga biaya lebih murah. Bila tak ada
gebrakan seperti itu, pesawat seperti itu masih lama hadir atau hanya sebatas prototype
saja.
Sejauh Manakah Pesawat Listrik Telah Berkembang?
Memang secara kepadatan daya yang dimiliki untuk saat ini
lithium-ion masih kalah telah. Tapi melihat perkembangannya di berbagai
perangkat teknologi dan dunia otomotif. Lithium-ion sudah lebih 8%
setiap tahunnya.
Positifnya bisa membuat baterai lithium-ion lebih
ringan dan punya daya jangkauan lebih besar dan kuat. Apalagi dunia aviasi
sudah mulai lahir berbagai prototype pesawat serupa dengan jangkauan
pendek dan sebatas penerbangan perintis.
Ada keuntungan yang didapatkan dari sebuah pesawat
bertenaga listrik khususnya di ketinggian tertentu. Ia mampu stabil dan tidak
kehilangan daya pada ketinggian, inilah yang banyak menyebabkan kecelakaan
pesawat selama beberapa dekade terakhir.
Kecepatannya pun lebih mudah karena akselerasinya yang
langsung dan proses pembakaran dalam layaknya mobil listrik. Bahkan akan lahir
pesawat listrik dengan tenaga supersonik layaknya Concorde andai saja punya
daya listrik besar.
Jangkauannya mulai meningkat dari hanya sebatas 200 km
saja, kini sudah bisa menyentuh 400 km untuk sekali pengisian daya. Nilai itu
bisa mencapai ribuan km andai saja baterai terus berkembang lebih efisien lagi.
Artinya semuanya ada peluang, didukung dengan lahirnya
perusahaan GigaFactory milik Elon Musk yang mampu mendukung produksi baterai
massal dari berbagai industri.
Beberapa pabrikan sedang menguji pesawat berukuran sedang
yang menampung 150 penumpang dengan jangkauan 500 km. Indonesia cocok ini
karena negara kepulauan, teknologi baterai yang digunakan adalah lithium-CO2
yang punya kepadatan energi 7 kali lebih baik dan membantu terbang lebih jauh.
Segmen Baru Dunia Aviasi
Pesawat listrik yang hadir di masa depan bisa dianggap
sebagai alternatif pesawat selain berbahan bakar fosil. Mereka yang cinta
lingkungan, tidak menyukai kebisingan dari mesin pesawat hingga bisa mendarat
pada landasan kecil yang menghubungkan setiap kota kecil.
Memang banyak moda transportasi lainnya yang tak kalah
cepat dan hemat. Misalnya saja akan lahirnya hyperloop di sejumlah kota
penghubung atau moda transportasi lainnya yang tak kalah cepat. Bahkan membuat
kendaraan massal jadi seperti ini jadi tren baru ke depan.
Lalu dengan adanya pesawat listrik seakan bisa alternatif
baru khususnya kota yang melintasi lautan mengingat modal transportasi lain
butuh penghubung seperti jembatan, tunnel dan sebagainya. Sehingga lebih mahal untuk
diwujudkan.
Keunggulan inilah yang mampu membuat pesawat listrik bisa
menekan buangan karbon dari pesawat komersial saat ini. Sembari menunggu
pesawat listrik yang bertenaga bisa menggantikan pesawat komersial seutuhnya di
masa depan.
Kini sudah banyak pabrikan yang coba turun ke ranah
pesawat listrik. Mulai dari X-57 buatan NASA, Sugar Volt buatan Boeing dan
tentu saja Solar Impulse II. Untuk nama terakhir bagi saya cukup sukses karena
pabrikan lainnya masih sebatas prototype atau berbasis hybrid.
Solar Impulse II tergolong besar dengan berat lebih dari
5.000 pound dan akselerasi 87 mil/jam. Waktu tempuh sejauh 117 jam dengan
cakupan 4.800 mil di atas Samudera
Pasifik. Ini sungguh luar biasa meskipun mengandalkan gabungan solar panel dan
baterai.
Artinya siap dikomersialkan andai saja teknologi baterai
sudah cukup mumpuni dan tidak sebatas prototype saja. Minimal bisa menggantikan
helikopter atau pesawat perintis yang masih banyak menggunakan bahan bakar
fosil.
Mungkinkah Tesla Menciptakan Pesawat Listrik?
Siapa sih yang tak kenal dengan gebrakan Tesla lakukan di
dunia otomotif. Mengubah mobil konvensional bertenaga fosil menjadi bertenaga
listrik. Perjuangannya memang panjang, dari mengakuisisi perusahaan, menciptakan
mobil konsep, mempromosikan hingga mendirikan pabrik penunjang seperti GigaFactory
dan Solar City.
Namun, dari itu semua yang dilakukan dunia otomotif jelas
berbeda dengan dunia aviasi. Ada perbedaan teknologi yang jauh atau riset
panjang untuk masuk ke dunia baru tersebut. Termasuk Tesla, sukses besar di
dunia otomotif khususnya mobil tidak menjamin ia bisa terjun ke dunia aviasi.
Hal sebaliknya juga, tidak pernah kita mendengarkan
pabrikan aviasi menciptakan mobil atau pabrikan ponsel menciptakan mobil atau perusahaan
berbasis digital menciptakan pesawat. Bila pun ada, itu hanya konsep semata
yang dipamerkan dalam pameran saja.
Itulah yang melandasi Tesla di bawah Elon Musk tidak
terjun ke dunia aviasi. Meskipun ia sudah punya perusahaan yang bergerak di
bidang eksplorasi luar angkasa di bawah bendera SpaceX. Bila ini blueprint-nya
sudah jelas sejak awal berdiri bukan karena ingin mencoba dunia baru.
Selain itu, ada begitu banyak pabrikan mapan yang sudah
punya jam terbang tinggi. Sebut saja Boeing di Amerika, Airbus dari Eropa, Sukhoi
dari Rusia hingga N250 buatan anak negeri. Jelas ini membuat insinyur Tesla
harus memulai dari nol dalam mengembangkan riset bila terjun ke dunia aviasi.
Bukan hanya sebatas membuat baterai yang kuat menempuh ribuan
mil saja, tapi menciptakan desain pesawat, uji terbang hingga daya angkut yang
dihasilkan pesawat buatan mereka. Faktor terakhir adalah uang, ini modal
berharga buat investasi.
Memang Tesla sedang untung besar untuk saat ini di lantai
saham, hanya saja uang mereka sudah banyak digelontorkan pada bisnis lainnya khususnya
pengembangan Roket ke Mars. Sehingga bisnis pesawat dianggap kurang menantang
bagi mereka.
NASA saja malah memberikan kemudi agar SpaceX terus
mengembangkan misinya, membawa manusia dan mengembangkan koloni ke mars. Well...
memang terdengar ambisius, hanya saja itu target Elon Musk selaku bos Tesla.
Sedangkan pesawat listrik seakan ia memberikan peluang
bagi pabrikan lainnya mengembangkan pesawat listrik. Sama halnya dengan Hyperloop
yang segala ide awalnya ia ciptakan, kemudian dilanjutkan oleh banyak
perusahaan dunia salah satunya Hyperloop One.
Hal serupa berlaku pada pesawat listrik, teknologi
baterai lithium-ion buatan Tesla bisa dimanfaatkan sebagai sumber
tenaga. Apalagi kini sudah ada GigaFactory yang menyuplai berbagai komponen
baterai. Tinggal bagaimana perusahaan aviasi mengembangkan pesawat listrik menurut
mereka inginkan.
Baca juga: Melaju Secepat Kilat Bersama Hyperloop
Pelanggan hanya menunggu bisa terbang besar suara, polusi
udara, dan bertenaga supersonik dari pesawat listrik. Lagian bisa semua bisnis
teknologi diborong oleh Elon Musk, otomatis dunia teknologi masa depan penuh
dengan monopoli.
So... begitulah ulasan mengenai pesawat listrik yang hingga
saat ini belum berhasil mengudara secara resmi. Tapi sudah banyak pengembangan,
uji terbang hingga membawa penumpang dalam jumlah kecil. Tinggal menunggu
baterai punya daya kepadatan yang lebih kuat yang bisa terbang lebih jauh dan
lebih ringan.
Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua, akhir kata: Have a Nice Days
Guys...
i love this, thanks a lot mate
ReplyDelete