Bentang alam nusantara digambarkan bak surga dunia.
Pasokan air, angin, intensitas cahaya
dan lautan nan elok seakan tak pernah habis di sekitar kita. Di balik itu
semua, tersimpan cadangan energi yang berlimpah ruah, tentu saja sebagai sumber
energi fosil.
Berlimpah ruah sudah pasti jadi sumber energi buat masyarakat yang hidup di nusantara, masalah energi sebenarnya bukanlah masalah. Kita tak perlu khawatir urusan energi karena itu bisa digunakan sekarang atau bahkan di masa depan.
Hanya saja eksploitasi di perut bumi sudah begitu lama
khususnya terkait pemenuhan energi. Bahan baku yang berlimpah seakan mulai
menunjukkan bahwa jumlah terus menipis dari waktu ke waktu. Berharap pada
energi fosil itu sama saja ibarat bom waktu di masa depan.
Tetapi energi fosil ada batasnya, khususnya dalam jumlah
produksi yang makin menurun ditambah dengan permintaan yang terus meningkat.
Berakibat biaya produksi tinggi yang tidak diimbangi dengan profil yang
didapatkan. Itulah yang saat ini terjadi dengan banyak negara termasuk
Indonesia di dalamnya.
Kebutuhan akan energi fosil seakan sudah mulai mencapai
tahap akhir dalam produksi, bila terus digenjot, pastinya di masa depan
nusantara akan krisis energi fosil. Mau tak mau, bangsa kita harus memecahkan
masalah ini saat bangsa lain sudah mencoba energi terbarukan.
Bangsa kita tak bisa saja mengandalkan kandungan di dalam
perut bumi terus menerus. Harus ada energi baru yang bisa menggantikan, dan itu
semua hadir dari potensi bentang alam yang dimiliki terutama dalam memenuhi kesejahteraan
masyarakatnya.
Sebagai catatan, total ada tiga energi fosil yang banyak digunakan di Indonesia yaitu berbahan bakar minyak bumi, gas alam, dan saja batu bara. Jumlahnya terus menipis dan akan habis dalam beberapa tahun ke depan.
Pertama adalah minyak bumi, konsumsi harian sebanyak 1,7
juta barel atau mencapai 11 miliar ton/tahun dan terus menyusut 4 miliar
ton/tahunnya. Tanpa impor dari luar negeri, Indonesia akan kehabisan produksi
di tahun 2030.
Serupa pula dengan gas alam, terkenal sebagai salah satu
produsen gas alam terbesar dengan cadangan mencapai 135, 5 triliun kubik. Gas
alam dianggap sebagai cadangan energi yang mampu bertahan lebih lama
dibandingkan dengan minyak bumi. Namun bila produksi terus ditingkatkan tanpa
berhasil menemukan lokasi sumber daya terbaru, batu bara akan habis di tahun
2060.
Terakhir batu bara yang jadi komoditi penting berjalannya sebuah PLTU. Angka cadangan di perut bumi Indonesia cukup besar yaitu 38,8 miliar. Hitungan kasar dengan penggunaan rata-rata tahunan mencapai 500 juta ton, diprediksi di tahun 2088 Indonesia akan kehabisan pasokan batu bara secara nasional.
Melihat data konsumsi di atas akan energi fosil tersebut,
artinya ada rentang 30 – 60 tahun lagi dalam mencari dan memanfaatkan energi
alternatif dalam pemenuhan energi. Pilihan energi tersebut mau tak mau adalah Energi
Terbarukan (ET) yang belum begitu dioptimalkan saat ini.
Sebelum krisis energi terjadi dan menghilangkan
ketergantungan penuh pada energi fosil. Waktu berbenah memang mulai menipis,
tapi seiring dengan perkembangan teknologi. Mengoptimalkan ET terasa mudah,
pengaplikasiannya dan perangkat yang dimiliki makin terjangkau untuk beralih dari
fosil sepenuhnya.
Mengapa Energi Terbarukan Telat berkembang?
Bisa dikatakan energi bisa didapatkan dengan mudah dan murah, hanya saja untuk bisa mewujudkannya butuh riset dan investasi besar. Inilah yang membuatnya terlihat mahal, bagi negara berkembang yang sumber energi fosil masih sangat berlimpah dan murah. Pilihan ke ET jadi urusan kedua.
Untuk bisa sampai ke tahapan tersebut dianggap butuh waktu dan tentu saja punya
pasar terlebih dahulu. Saya mencontohkan dengan kendaraan konvensional dan listrik.
Saat ini yang memiliki kendaraan listrik adalah orang kaya dan tentu saja ia
menjadikan kendaraan ke sekian sebagai penunjang kegiatannya.
Bahkan digunakan kala rekreasi saja, alasannya karena pengisian daya di
luar rumah yang sulit ditemukan, pajak yang masih mahal hingga after sale
yang membuatnya kesulitan buat siapa saja membelinya. Bagi yang masih kesulitan
membeli mobil konvensional saja, lupakan mimpi memiliki mobil listrik.
Nah..... itulah perumpamaannya pada yang tepat buat ET sehingga
telat berkembang. Ia masih hype di negara kaya dan tentu saja butuh
investasi yang besar. Untuk negara yang krisis energi masih sebuah kendala, caranya
dengan memanfaatkan energi apa saja yang ada di sekitar khususnya bernilai
terjangkau.
Inilah yang membuat fosil sangat seksi, ia murah dan lumayan
mudah didapatkan. Serta yang cocok dengan sejumlah pembangkit listrik yang
telah begitu lama menggunakannya sebagai sumber energi.
Namun bila pasarnya sudah tersedia, energi sebelum makin
menipis, dan tentu saja mendapatkan investasi besar. Rasanya itu waktu yang
tepat mengeksplorasi ET sehingga mampu mewujudkan energi hijau.
Memang ET tidak sepenuhnya ramah lingkungan, tapi itu
bisa menekan ketergantungan akan jumlah energi fosil dan menambah alternatif
energi baru. Artinya masyarakat banyak pilihan dalam menentukan mana yang lebih
murah dan tentu saja ramah lingkungan.
Kini pemerintah tersadar dan merancang Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2019-2028. Pengembangan yang dilakukan
adalah mengembangkan ET mulai dari geotermal, PLTA, PLTB, PLTS, biomassa, biofuel,
biogas hingga gasifikasi batu bara. Diharapkan pada tahun 2025 sudah ada
sebanyak 23% penggunaan listrik nasional menggunakan ET.
Krisis Energi, Kendala Terbesar yang Dihadapi Negeri
Untuk beralih ke energi baru jelas butuh waktu dan riset
mendalam. Target terdepan yang dilakukan adalah pemenuhan energi yang menimpa
sejumlah daerah yang ada di Indonesia, tak terkecuali Aceh. PR besar yang jadi
tantangan besar dalam hal ini PLN, pemerintah hingga masyarakat.
Krisis energi sering terjadi dengan sendiri dan coba
dipecahkan. Mulai dari menambah jumlah pembangkit listrik di setiap daerah
hingga membatasi daya. Namun apa daya, bertambahnya jumlah konsumsi listrik
seakan membuat daya listrik tidak pernah cukup.
Saat ini listrik bukan hanya mengenai kebutuhan dasar
saja, akan tetapi sudah menjadi elemen yang tak terpisahkan dengan manusia
modern. Polemik krisis energi sudah bertahun-tahun dan masih ada banyak
masyarakat yang rela menyalakan lilin sebagai penerang kala malam tiba.
Sebagai catatan, di Provinsi Aceh konsumsi listrik yang dibutuhkan adalah
sebesar 487,8 MW, semua suplainya
didapatkan dari sejumlah pembangkit listrik seperti PLMG Arun Lhokseumawe dan
PLTU Nagan Raya sebesar 307 MW, serta pembangkit disel lokal sebesar 37,8 MW.
Sedangkan sebanyak 143 MW suplai didapatkan dari provinsi tetangga.
Artinya hampir 30% kebutuhan listrik Aceh datang dari luar, butuh banyak
pembangkit lagi dalam menanggulangi krisis listrik di Aceh. Sehingga tak jarang
pada peak hour 17/22 sering terjadi pemadaman listrik yang terjadi di
sejumlah wilayah khususnya untuk mengurangi beban puncak tersebut.
Opsi ini dipilih karena kebutuhan listrik dari provinsi yang terbatas
ditambah lagi tingginya kebutuhan saat Peak Hour. Bisa dibayangkan
kesalnya begitu banyak orang saat listrik padam, omzet ekonomi hingga hiburan
terganggu.
Langkah cepat dalam memenuhi suplai listrik dengan membangun sejumlah
pembangkit listrik baru yang tersebar di Aceh. Memang pada dasarnya ini butuh
waktu sekaligus mengantisipasi gangguan listrik yang selama ini terjadi.
Upaya yang dilakukan sifatnya lebih merata yaitu dengan membangun
pembangkit listrik di daerah potensial. Mulai dari PLTU Peusangan dengan
kapasitas 84 MW, PLTMG Arun II Lhokseumawe berkapasitas 250 MW.
Lalu dilanjutkan dengan PLTMG di daerah Krueng Raya, Aceh Besar berkapasitas
50 MW, PLTU Nagan III dan IV kapasitas 200 MW, serta PLTU Jaboi Sabang
berkapasitas 15 MW. Total mencapai 599 MW dan ditargetkan rampung di tahun 2022.
Setelah kelima sumber pembangkit listrik itu nanti selesai dibangun dan
dioperasikan mendatang, Aceh sudah surplus daya listrik. Alhasil ini mampu
memenuhi seluruh Desa (gampong)
di Aceh yang selama ini tidak mendapatkan pasokan listrik 7x24 jam.
Bahkan surplus listrik dari pembangkit listrik di Aceh bisa membantu
pasokan listrik untuk provinsi lainnya. Ini yang diharapkan, dari provinsi
pengimpor energi menjadi provinsi penyedia energi. Semoga ini jadi jawaban
akhir dan krisis listrik yang sudah begitu lama.
Bahkan di setiap rumah sudah tersedia lilin dan korek untuk berjaga-jaga
saat malam tiba. Lalu di setiap lokasi usaha, sudah siaga genset yang siap
menyala kapan saja. Bila tidak, gelap akan menemani di sepanjang malam.
Energi Terbarukan, Jawaban dari Krisis Energi
Rasanya terdengar aneh bangsa kita yang besar,
kaya akan potensi alam dan perut buminya masih belum makmur khususnya akan
energi. Masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses energi yang baik,
ini membuat akses lainnya sulit didapatkan.
Di era modern kini, listrik mampu menghidupkan
peradaban hingga menghubungkan dengan dunia lain. Bila tak tersedia, jangan
harap bisa menjalankan akses dengan dunia luar. Mungkin levelnya setara sebelum
era revolusi industri pertama hadir.
Krisis ini coba dijawab, salah satunya
menghadirkan pembangkit listrik sebanyak-banyaknya. Alasannya sederhana, makin
banyak berarti kebutuhan listrik akan terpenuhi.
Lalu energi apa yang diandalkan? Di Indonesia,
mayoritasnya masih mengandalkan energi fosil dalam menggerakkan turbin-turbin
di setiap pembangkit listrik. Hanya saja, cadangannya terus menipis dan banyak
mencemari lingkungan.
Alhasil energi terbarukan hadir sebagai solusi
baru dalam memberikan alternatif baru, untuk menggantikan jelas butuh waktu.
Malahan hadirnya ET menambah banyak opsi yang bisa dipilih dalam melawan krisis
energi yang telah berkepanjangan.
Mencoba Berinovasi di Energi Terbarukan
Setelah pasokan listrik dan pelayanan terbaik berhasil didapatkan, ada satu
yang dirasa perlu dilakukan yaitu pengembangan energi baru. Pastinya bersifat
ET, sesuatu yang sebelumnya hanya sebatas wacana namun kini hampir menjadi
kenyataan.
Sebagai contoh di Aceh ada begitu banyak potensi ET yang dioptimalkan.
Mulai dari sebagai yang bisa memasok listrik di desa sekitar hingga mampu
memenuhi pasokan listrik lintas provinsi. Artinya jumlah banyak dan tersebar di setiap
kabupaten.
Selama ini, banyak pembangkit yang menggunakan tenaga uap dan diesel, saat
pasokan bahan baku terganggu, berdampak pada kinerja pembangkit yang terganggu.
Suplai ke masyarakat sudah pasti terganggu dan ada banyak pihak yang
dikorbankan.
Misalnya dalam kondisi peak hour atau telatnya pengiriman bahan baku
dalam suplai listrik. Ini membuat kendala listrik terjadi. Belum lagi faktor
bencana dalam proses transmisi listrik ke seluruh wilayah Aceh. Masalah bencana
alam sangat rentan terjadi.
Hanya dari sebatang pohon yang tumbang, berdampak pada gangguan listrik
seantero negeri. Ini bahkan sudah terjadi berkali-kali. Bahkan proses
normalisasi menghabiskan waktu yang tak sebentar, sudah pasti pelanggan yang
dirugikan.
Urusan ET rasanya sudah menjadi keharusan, mengingat
besarnya kebutuhan energi dan ditambah lagi energi fosil makin menipis jumlah.
Pemerintah Aceh mencoba merespons hal tersebut melalui Rancangan Qanun Energi
Aceh. Semua ini terkait energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif, dan
di tahun 2022 ada sebanyak 12,25% pasokan listrik berasal dari ET.
Aceh selaku provinsi paling ujung dari Sumatra menyimpan
harta karun terkait dengan energi terbarukan. Kekayaan alam ini sangat berguna
sebagai energi alternatif yang begitu dibutuhkan untuk saat ini. Ada sejumlah
ET yang murah dan cocok diimplementasikan, tinggal menyesuaikan riset dan
jumlah investasi.
Nah.. terkait urusan potensi ET tak perlu dipermasalahkan.
Total ada lima ET yang bisa dioptimalkan setelah dikaji secara mendalam. Seperti
pemanfaatan energi geotermal, air, gelombang laut, angin dan tenaga surya.
Lokasi Potensial dalam menciptakan Energi Terbarukan
Berbicara ET artinya rencana jangka panjang, butuh riset dan dana investasi
besar supaya bisa mewujudkannya. Rencana itu sudah dipersiapkan khususnya
pembangkit listrik berukuran kecil hingga menengah.
Contoh nyata adalah sudah terbangunnya 31 unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) berkapasitas 10 MW di Nagan Raya. Energi yang melimpah di daerah tersebut jadi sumber listrik yang selama ini mengandalkan PLTU Nagan Raya.
Ada juga PLTA di Krueng Peusangan, Aceh Tengah yang melintasi lima
kabupaten/kota. Punya luas DAS hingga 238.550 hektar dengan panjang 128 km,
menjadi sungai tersebut punya potensi besar jadi PLTA hingga 88 MW
Bukan hanya tenaga air saja yang dikembang tapi juga potensi geotermal yang
ada begitu banyak lokasi di Aceh. Mungkin nama seperti Jaboi, Seulawah Agam
hingga Krueng Raya. Kini pemanfaatan geotermal hadir dengan Pembangunan (PLTP)
Jaboi, Sabang berkapasitas 10 MW, dan PLTP Seulawah Agam sebesar 55 MW.
Lahirnya pembangkit listrik bertenaga ET
seakan membuktikan Aceh serius dalam menggarap kebutuhan listrik. Bukan hanya
sebatas pemenuhan listrik di setiap gampong saja tapi mau beralih secara
perlahan ke energi hijau.
Nah.. rasanya ide ini cukup visioner, sehingga
segala kendala listrik di Aceh bisa terpecahkan dan bahkan jadi contoh
penerapan energi hijau buat provinsi lainnya di Indonesia. Dari daerah hanya
mengimpor listrik hingga jadi provinsi visioner dalam ET.
Memang perwujudan energi hijau butuh waktu dan
tentu saja investasi besar. Hanya saja, itu semua bisa dimulai dari langkah
kecil. Selain bisa lepas dari ketergantungan dari energi fosil khususnya dari
provinsi tetangga.
Menghilangkan krisis energi di waktu tertentu
seperti peak hour, Bisa juga memulai langkah baru sehingga saat energi
hijau diterapkan di Indonesia. Provinsi Aceh bisa dianggap jadi pionir dalam
mengembangkan energi hijau di sekitarnya.
Semoga tulisan ini menginspirasi kita akan memecahkan
solusi energi dan tentu saja menghemat energi sehingga ada banyak saudara kita
yang kekurangan energi dapat terpenuhi. Akhir kata, Have a Nice Days Guys..
0 komentar:
Post a Comment