“Perubahan iklim itu
nyata dan mengancam kita dan lingkungan sekitar kita”
Akhir-akhir ini kita
disuguhi dengan berbagai bencana alam yang menimpa negeri. Ada banyak pemukiman
yang rusak hingga menelan banyak korban jiwa. Perubahan iklim yang sebelumnya
hanyalah isu yang tak menarik seakan jadi headline di mana-mana. Kerusakan
lingkungan dan bencana alam jadi pemicu utamanya.
Beberapa waktu lalu badai bersama air hujan lebat dan gelombang laut menimpa NTT. Badai siklon yang diberi nama Seroja tiba-tiba muncul di Laut Flores menuju selatan memasuki Laut Timor dan Selat Dubai, lalu menghantam daratan kepulauan di bagian timur dari NTT.
Menghasilkan banjir,
tanah longsor hingga kerusakan rumah warga yang ada di seluruh pulau-pulau di
NTT. Korban jiwa yang jatuh pun ada ratusan jiwa dengan ribuan warga kehilangan
tempat tinggal. Belum pernah ada badai laut yang begitu merusak sebelumnya
terjadi.
BMKG menyatakan, bahwa
baru pertama kali ini siklon 'Seroja' menghantam daratan dikarenakan terjadinya
perubahan iklim dunia setiap pergantian musim (pancaroba). Namun bencana awal
bulan tersebut itu nyata dan ada di sekitar kita.
Berbicara masalah banjir
besar di awal tahun, Kalimantan Selatan mengalami banjir terbesar dalam
sejarah. Bahkan lokasi banjirnya sampai ke Ibu Kota baru RI yaitu Penajam Paser
Utara. Luas wilayah yang terendam 183 ribu Hektar yang merendam 11 daerah di
Kalsel yang berdampak pada 27 ribu rumah warga.
Mungkin selama ini kita
mengira banjir Jakarta tahun 2020 sangatlah besar dan luas dampaknya. Nyatanya
banjir di Jakarta yang tercatat paling besar tersebut hanya merendam 15,6 ribu
Hektar saja. Atau bisa dikatakan ukurannya 12 kali lebih kecil dari apa yang
terjadi Kalsel.
Penyebabnya adalah curah
hujannya tinggi, banyaknya hutan yang berubah fungsi menjadi lahan sawit,
permukiman warga hingga kerusakan di sepanjang hulu sungai. Alhasil saat musim
hujan, banjir besar terjadi dan berdampak luas bagi masyarakat.
Indonesia sendiri jadi
negara yang cukup banyak kehilangan tutupan hutan selama 20 tahun terakhir.
Total ada 30 juta Hektar hutan yang berubah fungsi. Lokasi terbanyak berada di
Kalimantan dan Sumatera, berakibat pada rusaknya ekosistem dan berdampak pada
bencana alam.
Mungkin itu gambaran
perubahan iklim dan kerusakan hutan yang berdampak di daerah Indonesia. Lalu
Ibu Kota RI Jakarta kita juga sedang berpacu dengan waktu. Penurunan permukaan
tanah berlangsung sangat cepat di sejumlah daerah.
Bila kita ada menonton
salah satu channel Youtube Vox dan BBC seakan menjelaskan dengan nasib Jakarta
saat ini. Banjir rob dan penurunan tanah terjadi sangat masif di sejumlah
daerah. Paling parah yang terjadi di Jakarta Utara, penurunan tanah terjadi
hingga 25 cm setiap tahunnya. Bahkan diprediksi Jakarta akan tenggelam di tahun
2050.
Faktor utama adalah rusaknya
iklim, penggunaan air tanah yang sangat besar terjadi di Ibu Kota. Sulitnya mendapatkan
air bersih yang layak membuat masyarakat Ibu Kota mencari cara alternatif
dengan membuat sumur sendiri untuk mengambil air tanah. Pipa-pipa tersebut
menyedot air dalam jumlah besar dan berlangsung bertahun-tahun.
Memang air tanah bisa
tergantikan dengan air hujan, hanya saja banyak bangunan dan beton membuat air
hujan lari ke laut tanpa sempat terserap ke dalam tanah kembali. Proses ini
berlangsung bertahun-tahun dan penurunan tanah terus terjadi.
Belum lagi kenaikan muka
air laut menjadi bencana besar berupa air rob, kini tanggul raksasa adalah
solusi. Namun biaya membuatnya cukup besar hingga US$ 40 Miliar dan baru
selesai 30 tahun lagi, itu artinya sebagian besar wilayah Jakarta telah
tenggelam.
Peliknya Perubahan Iklim
yang Mendera Negeri
Indonesia sejak dulu
terkenal dengan laut yang indah, hutan yang luas, satwa endemik yang khas
hingga ragam panorama alam lainnya. Perubahan iklim yang cepat membuat semuanya
mulai memudar satu persatu.
Indahnya laut kita kini
harus rusak akibat pencemaran lingkungan, belum lagi ancaman badai yang dulunya
sangat sulit terjadi. Hutan yang luas kini telah berubah fungsi menjadi hunian
yang tidak sesuai dengan Amdal. Satwa endemik pun serupa, hutan yang hilang
membuat naik mereka di ujung tanduk.
Semua ragam keindahan
itu kini hanya ada di buku bergambar, tidak lagi bisa dilihat. Masyarakat pun
yang kini dalam masa sulit saat pandemi pun harus bertarung dalam banyak hal.
Termasuk bertarung dengan alam yang mulai tidak ramah.
Sebagai gambaran besar,
dari 6 dari 10 bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana
hidrometereologi yang terkait langsung dengan perubahan iklim. Bencana alam
seakan bisa terjadi kapan saja, hujan deras bisa saja banjir dan tanah longsor
mendera. Lalu saat musim kemarau, kekeringan bergantian mendera.
Kejadian ini sudah
sering terjadi dan tersebar di tanah air. Negeri yang kaya akan air dan hutan
kini sedang menghadapi krisis, dibutuhkan perubahan besar untuk mengatasi itu
semua. Salah satunya melalui hutan seperti yang ada di Indonesia karena hutan Indonesia
salah satu solusi dalam mitigasi perubahan Iklim untuk saat ini.
Menjaga Bumi dalam Wujud
Perayaan Hari Bumi
Bumi kita ibaratnya
sedang sakit parah, ia digerogoti parah oleh manusia yang melukai setiap bagian
tubuhnya. Terutama hutan yang makin lama makin menipis jumlah, dampaknya
perubahan suhu tubuh bumi yang naik drastis.
Ia ibarat wanita tua
rentan yang terkulai lemah di ranjang Rumah Sakit, pengobatan dan penyembuhan
adalah cara terbaik menjaganya tetap baik. Melalui pelaksanaan Hari Bumi adalah
wujud nyatanya untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap bumi.
Perhatian utama adalah meningkatkan kesadaran manusia akan pentingnya
kelestarian lingkungan buat kita hingga anak cucu kelak.
Faktor
seperti krisis pangan, kekeringan, wabah penyakit baru, gangguan ekologi, dan
masalah lainnya menjadi dampak dari perubahan iklim. Maraknya berbagai
permasalahan lingkungan itu tentu menjadi momok yang menakutkan bagi semua
orang untuk keberlangsungan hidup yang akan datang.
Semua belum lagi aktivitas seperti penggunaan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dan pembuangan gas industri sembarangan yang akan mempengaruhi perubahan iklim. Inilah seakan membuat masyarakat dunia resah, salah satunya caranya dengan mencegahnya melalui aksi nyata. Kini menyampaikan aksi tak terbatas harus turun ke jalan, sebab sosial media dan blog jadi sarana yang tepat menyampaikan aspirasi.
Alhasil
lahirlah Hari Bumi, peringatannya jatuh pada tanggal 22 April. Gagasan ini
lahir dari salah seorang pengajar lingkungan Gaylord Nelson asal Amerika
Serikat di tahun 1970. Ia ingin nantinya masyarakat dunia peduli akan isu
lingkungan yang terkait dengan bumi terutama sekali terkait keberlangsungan
hidup manusia kelak.
Lalu banyak
yang bertanya mengapa tanggal 22 April yang dipilih?
Jawabannya
karena tanggal tersebut di negara empat musim, tanggal sebut bertepatan dengan
waktu musim semi di belahan bumi utara dan musim gugur di belahan bumi bagian
selatan. Awalnya memang masih minim dukungan karena pada masa itu isu
lingkungan belum menjadi isu yang serius.
Namun kini
isu lingkungan jadi sesuatu yang mengancam, alhasil kini mendapatkan dukungan
sehingga berdirilah Environmental Protection Agency (EPA). Kontribusinya
berupa pengesahan sejumlah Undang-undang terkait dengan Udara bersih,
Peningkatan Kualitas Air, Spesies Terancam Punah, dan terkait isu lingkungan
lainya.
Dunia pun
bertindak dalam mengatasi perubahan iklim misalnya saja jadi isu yang dibahas
di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Tahun 1992 di Rio de Janeiro di Brazil untuk pertama kalinya akibat isu pemanasan
global dan isu lingkungan lainnya.
Hasilnya
adalah melahirkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim
(UNFCCC). Di pertemuan tahun ke-3 (COP3) yang diadakan di Kyoto, Jepang
menghasilkan Protokol Kyoto yang bertujuan mengatur tingkat emisi gas rumah
kaca dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global, khususnya bagi
negara-negara maju.
Cara Blogger
dalam Melawan Perubahan Iklim dan Keberlangsungan Hutan
Bila tingkat
negara peduli sudah melakukannya , kini giliran kita dalam mewujudkan di dunia
maya. Kampanye ini melibatkan banyak elemen terutama sekali dalam menyambut
Hari Bumi. Gebrakan kecil yang dilakukan sudah pasti berdampak besar.
Konsepnya
adalah Gathering Online yang melibatkan banyak Blogger Nasional dengan Tajuk:
Earth Day Gathering yang berlangsung Pada 14 April 2021 silam. Para Blogger
tidak sendirian dalam kampanye ini karena mengajak kolaborasi para eksper di
bidang lingkungan.
Pihak yang
terlibat dalam Gathering Online Eco Blogger mulai dari WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia), LTKL (Lingkar Temu Kabupaten Lestari), HII (Hutan Itu
Indonesia), BPN (Blogger Perempuan Network).
Perwakilan
yang menyampaikan materi datang dari Yuyun Harmono selaku Manajer Kampanye
Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI, Gita Syahrani selaku Kepala
Sekretariat LTKL dan Christian Natali selaku Manajer Program HII.
Nah... selama 120 menit lebih para mentor kece tersebut menyampai sejumlah materi yang terkait dari isu lingkungan hingga pengembangan lingkungan menjadi sentra bisnis tanpa merusaknya. Materinya padat dan membuka mata kita bahwa kini alam kita dalam kondisi kritis dan mulai berbuatlah kini.
Sebagai
contoh adalah setiap para blogger diberikan berupa Marchandise
berupa Sago Pancake Mix yang merupakan makanan asli Papua dan tentu saja Kopi
aroma khas menggoda dari NTT. Ini membuktikan makanan daerah Indonesia
punya nilai dan semuanya didapatkan dari hutan.
Setelah itu,
seakan selama ini materi terkait lingkungan dan hutan memang jangan dibahas
oleh para Blogger. Mulai dari sulit menemukan data, bahasannya berat, hingga
konteks terkait dengan hutan yang cenderung berat dipahami oleh pembaca.
Nyata dari
ketiga pemateri yaitu Mas Yuyun Harmono, Mbak Gita Syahrani dan Mas Christian
Natali punya cara unik dalam menyampai materi sehingga para Blogger yang
umumnya datang dari berbagai latar belakang bisa paham akan masalah lingkungan
dan hutan.
Cara yang
pemateri lakukan adalah dengan visualisasi gambar, itu tercermin dari setiap
slide yang ditampilkan memberikan gambaran akan bumi saat ini. Pertama kali
bahasa tersebut datang dari Mas Yuyun Harmono yang membahas perubahan iklim dan
peran para komunitas menjaga hutan agar supaya tetap lestari menjadi bagian
solusi penting dalam upaya untuk mengatasi krisis iklim.
Paling
kentara adalah pemanasan global yang terus naik hingga 1,5°C menurut IPCC.
Faktor utama adalah emosi global yang sudah melewati batas bahkan di atas 1,5°C
di tahun 2040. Ini sangat tak baik karena bisa menaikkan suhu bumi. Mulai dari
kenaikan permukaan air laut yang otomatis berdampak pada hilangnya kota-kota
yang ada di pinggir laut atau sungai.
Bahkan
habitat di laut pun akan mengalami bleaching (pemutihan karang) yang
dikarenakan tingkat kadar asam laut meningkat akibat suhu bumi. Terumbu karang
yang jadi sebagai barrier (pelindung) di laut tidak ada sehingga gelombang bisa
kapan saja menerjang. Belum lagi ekosistem terumbu hilang dan membuat nelayan
kesulitan dalam mencari ikan.
Menurut Mas
Yuyun Haryono sendiri saat ini sudah banyak dibahas sebenarnya soal krisis
iklim ini, bagaimana iklim ini mempengaruhi temperatur bumi kita rasanya sangat
penting untuk diketahui kondisi bumi kita saat ini.
Tak hanya itu
juga, dalam perubahan iklim harus ada transisi berkeadilan terkait dengan
urusan Pangan dan hutan. Saat ini masyarakat
juga harus mengetahui mitigasi dalam menghadapi bencana alam yang semakin akibat
kerusakan alam dan perubahan iklim.
Sebagai
contoh nyatanya adalah sebuah desa kecil di daerah Dusun Silit Desa Nanga Pari,
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat mereka sudah mendeklarasikan sebagai
kampung mandiri energi. Punya luas wilayah yaitu 5.200 Hektar dan memiliki 80
kepala keluarga membuat masyarakat berpikir kreatif dalam menjaga dan
memanfaatkan hutan.
Melalui
program pengajuan pengakuan hutan adat
bernama “Siberuang” ke pemerintah pusat, sedangkan di pemerintah daerah mereka
sudah diakui sebagai kampung mandiri negeri dengan hutan adatnya. Masyarakat mulai
dari memanfaat hasil hutan non kayu hingga menjamin ketersediaan sumber air.
Sumber airnya pun ada yang dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik untuk
menerangi kampung mereka sendiri.
Visi Menyelamatkan
Bumi dan Menyejahterakan Manusia
Dalam hal ini
Mbak Gita Syahrani selaku Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari
(LTKL). Kita semua didorong untuk bisa berkolaborasi untuk memastikan semua
kabupaten terdapat industri pengolahan yang berbasis masyarakat.
Masyarakat
pastinya sangat bersemangat mengolah sumber ekosistem nilai konservasi tinggi
dengan bijak dan tidak mengganggu fungsi lingkungan. Selama ini untuk bisa
menghasilkan ekonomi haruslah merusak atau mengorbankan hutan. Nyatanya tidak,
melalui proses konservasi dan cara yang tepat masyarakat bisa menghasilkan
produk dengan nilai tinggi hingga ke batas ekspor.
Nah... ada 4
sektor secara valuasi untuk bisa menghasilkan produk berbasis alam seperti
kesehatan, food and beverage, kecantikan dan teknologi.
Tentunya semua ini jika dimaksimalkan akan meningkatkan kesejahteraannya daerah
tersebut dan menurunkan tingkat kemiskinan di masyaarakat di sekitar hutan.
Selama ini
juga masyarakat yang tinggal di dekat hutan adalah masyarakat desa dengan penghasilan
rendah. Adanya konsep ini bisa meningkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat
sekitar. Selain itu masyarakat kita harus terbiasa membeli produk lokal, karena
kontribusi besar tersebut berdampak dalam ekonomi.
Bila
dibandingkan potensi hasil alam hutan kita malah dilirik oleh asing sehingga
lebih pada mengenyangkan para korporat asing. Sehingga kita bisa menjadi
pribadi yang tidak hanya bangga dengan produk Indonesia tapi juga bangga dengan
produk yang ramah lingkungan. Cara yang digunakan tersebut sesuai dengan Visi
Ekosistem Lestari 2045.
Jawaban dari
Segala Krisis Iklim: Berdayakan Hutan
Saat ini dunia
internasional melalui sebuah kesepakatan yaitu Paris Agreement 2015
menghasilkan sebuah pernyataan. Berupa kesepakatan itu bertujuan dalam
menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030 atau 41% dengan dukungan internasional
NDC (Nationally Determined Contribution). Angka berupa 29% tersebut
adalah berupa kontribusi dari sektor kehutanan yaitu 17,2%.
Itulah yang
disampaikan oleh Mas Christian Natalia selaku pihak Program Hutan Itu Indonesia (HII). Selain juga terkait dengan berbagai kampanye
dalam hal mendekatkan hutan menumbuhkan cinta yang lebih berkelanjutan. Tentu
melibatkan banyak pihak sebagai bentuk kepedulian kita pada hutan
Sebut saja
dengan program kampanye akan hutan, cerita dari hutan, adopsi pohon, produk
hutan non-kayu hingga jalan-jalan ke hutan. Cara ini dinilai bisa menumbuhkan
rasa cinta sama hutan, selama ini hutan akrab dengan tempat angker atau jauh
dari manusia. Melalui pemahaman ini bisa membuat para peserta cinta dan ingin
menjaga hutan.
Ada juga
berbagai event terkait hutan seperti: Ku Lari ke Hutan 2019, Musika Foresta, Hutanku
Napasku dan program lainnya. Kegiatan tersebut juga diimbangi dengan kerja sama
berbagai sektor atau komunitas seperti komoditas pangan, komoditas kerajinan
dan pengelola jasa lingkungan.
Nah... dari
ketiga pemateri tersebut seakan kita belajar banyak hal dalam mengetahui akan
iklim, ekonomi yang berkesinambungan dengan hutan dan masyarakat serta program
terkait menumbuhkan kecintaan pada hutan.
Konsepnya adalah
Gathering Online tentunya menyambut Earth Day yang ke 51 tahun sejak pertama
kali digaungkan di tahun 1970. Tak hanya itu saja, melalui program yang
berlangsung selama sembilan bulan ini akan membuat kita akan belajar banyak
tentang hutan dan berbagai pengetahuan pada banyak orang. Peduli hutan berarti
peduli akan lingkungan.
Di akhir sesi, para
peserta Gathering Online berfoto bersama dengan Marchandise berupa Sago Pancake
Mix yang merupakan makanan asli Papua dan tentu saja Kopi aroma khas menggoda
dari NTT cocok buat dijadikan sebagai makanan berbuka. Tentunya akan ada banyak
hal serupa yang akan dilakukan ke depan, pastinya banyak kejutan lainnya
bersama Eco Blogger Squad.
Semoga tulisan ini
memberikan inspirasi untuk kita semua, akhir kata: Have a Nice Days
0 komentar:
Post a Comment