“Bencana terjadi karena kita tidak menghormati alam. Kita tidak menghormati satwa atau makhluk lain yang juga tinggal di planet Bumi."
Akhir-akhirnya ini isu lingkungan kembali merangkak naik
kembali, kasus yang menjadi persoalan pelik selain masalah pandemi dan ekonomi.
Banyak negara mencoba mencari solusi di tengah krisis dengan mencari banyak
cara, salah satunya mengeksploitasikan hasil alam.
Negara yang kaya akan alam memang diuntung pada suatu
sisi, mereka punya segala. Bisa saja menjualnya, mengelolanya atau bahkan
mengajak pihak lain bekerja sama dengan mereka. Hanya saja kadang mereka lupa
atau bahkan kecolongan, hutan yang rusak itu artinya merusak begitu banyak
ekosistem yang ada di dalamnya.
Perubahan lahan nyata memberikan dampak yang besar, dari sisi ekonomis tak sebanding dengan kerusakan di masa depan. Hutan ibarat pusat kehidupan yang memberikan banyak ruang hidup berbagai makhluk hidup di dalamnya. Hanya karena tawaran menggiurkan, banyak pihak bermain untuk bisa segera melakukan deforestasi hutan tanpa henti.
Bila tak ada cara menjegal, perlahan nilai daya hutan
yang tinggi dikorbankan untuk kepentingan segelintir tanpa memikirkan aspek
keberlangsungan hidup di dalamnya. Banyak negara membabat habis hutan lindung
demi keuntungan besar dari industri pertanian.
Nyaris tak ada sisa untuk, taruhlah, dua atau tiga
generasi mendatang. Salah satu negara tersebut adalah Indonesia, punya hutan yang
sangat luas bahkan menjadi negara dengan hutan hujan tropis terluas di dunia
setelah Brazil. Satu hal yang wajib dibanggakan namun juga menjadi miris karena
banyak dari hutan yang beralih fungsi dalam waktu sekejap saja.
Jaga Bumi dalam Wujud
Refleksi Hari Lingkungan Sedunia
Sejak awal peradaban
manusia dimulai, saat itulah bumi mulai dieksploitasi secara terus-menerus.
Bila dulunya manusia mengeksploitasi bumi hanya sebatas keperluan bertahan
hidup. Namun di era modern bumi dieksploitasi untuk kebutuhan bisnis dalam
sekala besar dan masif.
Efeknya terlihat dengan
banyaknya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Bila dulunya kayu yang
digunakan manusia hanya itu kebutuhan dapur saja. Kini hutan kayu dibabat habis
untuk kebutuhan industri skala besar dan bahkan menghilangkan begitu banyak
lahan buat satwa liar di dalamnya.
Proses mengubah lahan
pun dilakukan dengan sangat ekstrem dalam hal menghemat biaya. Dibandingkan
dengan proses menggunakan alat berat dalam pembukaan lahan. Para pembuka lahan
dari sejumlah perusahaan kayu melakukan proses membakar hutan. Selain lebih
cepat, proses ini lebih menghemat biaya terutama saat musim kemarau tiba.
Dampaknya pun bukan
hanya mengganggu masyarakat sekitar tapi juga menjadi gangguan ke negara
lainnya. Tiap tahunnya kita selalu mengekspor asap dari kebakaran ke sejumlah
negara jiran. Langit yang berwarna biru menjadi kemerahan dari dampak kebakaran
hutan. Itu terus berlangsung setiap tahun.
Di dalam asap kebakaran gambut
yang terbakar setiap tahunnya membawa sampai 90 senyawa gas berbahaya buat
paru-paru manusia. Misalnya saja Furan dan Hidrogen Sianida. Apalagi masa
pandemi belum selesai, artinya masyarakat di daerah yang rentan kebakaran hutan
menghadapi gangguan masalah pernapasan dari virus dan kebakaran hutan.
Maraknya
berbagai permasalahan lingkungan itu tentu menjadi momok yang menakutkan bagi
semua orang untuk keberlangsungan hidup yang akan datang. Terutama sekali
mahalnya udara sehat yang dibutuhkan oleh banyak orang. Sedangkan bagi satwa,
mereka kehilangan begitu banyak habitat yang telah berubah.
Segala
kendala itu nyata membuat semua orang di dunia tergerak akan peduli terhadap
lingkungan. Kerusakan lingkungan sudah terjadi sejak dulu, namun di era modern
terasa sangat besar. Inilah yang membuat lahirnya hari khusus terhadap
lingkungan.
Bermula dari
deklarasi Stockholm pada 05 Juni 1972 seakan jadi awal motor penggerak.
Organisasi terbesar dunia yaitu PBB sebelumnya tidak terlalu tertarik dengan
masalah lingkungan. Namun sejak itulah soal lingkungan besar dibahas dan kadang
menjadi agen wajib dalam pertemuan banyak negara dunia.
Misalnya saja di tahun 2021 ini tema baru kembali diangkat, terutama merestorasikan lingkungan hidup yang mulai rusak. Setiap tahunnya ada negara yang menjadi tuan rumah agen wajib hari lingkungan. Pakistan pun bersedia menjadi tuan rumah yang diadakan di salah satu lokasi Jinnah Convention Center.
Dalam acara
tersebut dilakukan proses penyelesaian 1 miliar pohon yang menjadi bagian dalam
10 miliar pohon dan tentu saja pengumuman inovasi terkait dengan flotasi
obligasi hijau. Pakistan pun jadi negara pertama yang mendapatkan jaminan
tersebut.
Kemudian ada
yang bertanya, Flotasi Obligas hijau itu apa?
Itu sejenis surat
berharga jaminan akan dana yang digunakan untuk membiayai atau memperbaiku
ulang kegiatan usaha terkait lingkungan. Tujuannya adalah melindungi,
memperbaiki, dan meningkatkan kualitas dari lingkungan hidup sekitar yang
pernah rusak.
Indonesia
mungkin ke depan bisa mendapatkan hal tersebut karena banyak hutan yang rusak
dan bisa dijamin dananya sehingga bisa diperbaiki dan mendatangkan nilai
ekonomis di dalamnya. Apalagi PBB yang menjamin dana tersebut ke pada negara
tuan rumah, menarik bukan!.
Kembali ke
topik lagi, kala pandemi tiba, manusia lebih banyak berdiam diri di dalam
rumah. Cara ini nyatanya bisa membuat alam memperbaiki dirinya setelah tidak
pernah rehat dari ulah manusia. Waktu yang cukup panjang hingga mulai kembali
bergeliat di tahun ini, bisa dibilang tahun lalu adalah masa memperbaiki diri
sang alam.
Mungkin hanya
pada saat Flu Spanyol 1 abad silam yang membuat manusia mengisolasikan diri
mereka. Setelah itu manusia bisa melakukan apa pun, tak ada pandemi sebesar
Covid-19 yang membuat kembali mengisolasi diri sehingga mengurangi aksi merusak
hutan.
Tanggal 05
Juni jadi cara dunia merefleksi itu semua, Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang
dicanangkan PBB kini menjadi hari wajib akan kesadaran semua orang akan
lingkungan. Selain itu bukti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa alam.
Menjaganya berarti menjaga kelangsungan hidup manusia jadi lebih panjang.
Lalu banyak
yang bertanya mengapa tanggal 05 Juni yang dipilih?
Jawabannya
karena tanggal tersebut sudah masuk pada awal musim panas. Waktu yang sering
terjadi perubahan cuaca di sejumlah negara. Untuk di negara tropis waktu ini
krusial karena sering terjadi kebakaran hutan karena minimnya curah hujan dan
tingginya intensitas panas.
Artinya ini
jadi pertanda bahwa kita bisa mewanti-wanti dari efek perubahan iklim saat
pergantian musim. Apalagi di musim kemarau sangat identik dengan kekeringan,
kebakaran hutan, gagal panen hingga polusi udara dari kebakaran hutan.
Momen yang
hadir di awal bulan tersebut jadi pertanda manusia dalam mencegah sebelum
puncak musim kemarau tiba. Ibarat istilah sedia air sebelum lahan gambut
terbakar hebat!.
Gathering sekaligus
Mengetahui Efek Karhutla dan Pandemi
Bila tingkat
negara peduli sudah melakukannya, kini giliran kita dalam mewujudkan di dunia
maya. Kampanye ini melibatkan banyak elemen terutama sekali dalam menyambut
Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Pastinya ini
even global yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1972 dan menjadi agenda rutin
mengampanyekan peduli pada dunia. Konsepnya adalah Gathering Online yang
melibatkan banyak Blogger Nasional dengan Tajuk: Environment Day Gathering dengan
judul :Cegah Karhutla, Cegah Pandemi yang berlangsung Pada 04 Juni 2021 silam.
Para Blogger
tidak sendirian dalam kampanye ini karena mengajak kolaborasi para eksper di
bidang lingkungan dan medis yang tahu banyak mengenai kerusakan hutan dan
hubungan dengan pandemi.
Selama ini
jarang membahas masalah tersebut karena dianggap penyebab kerusakan hutan
akibat ulah manusia sedangkan pandemi karena satwa yang termakan atau
terkontaminasi dengan manusia. Nyatanya kerusakan hutan membuat satwa liar
makin dekat dengan manusia akibat rusaknya habitatnya.
Ada dua sisi
yang ditonjolkan dalam kasus tersebut, pertama kali adalah bidang lingkungan
yang berdampak langsung pada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan medis yang
banyak penyakit datang dari satwa liar yang hidup kemudian terkontaminasi
dengan manusia.
Pihak yang
terlibat dalam Gathering Online Eco Blogger mulai dari Auriga Nusantara dan
Klinik Alam Sehat Lestari (Yayasan ASRI). Melalui pihak Auriga Nusantara diwakili
oleh Dedy P. Sukmara selaku Direktur Informasi dan Data yang fokus membahas
Karhutla di sejumlah wilayah di Indonesia.
Sedangkan
dari Yayasan Asri diwakili oleh dr. Alvi Muldani yang fokus membahas materi
terkait dengan efek zoonesis dan wabah yang disebabkan hewan. Khususnya satwa
liar yang terkontaminasi dengan manusia akibat rusaknya hutan.
Nah... selama
150 menit lebih para mentor kece tersebut menyampai sejumlah materi yang
terkait dari isu lingkungan hingga medis hingga wabah yang diakibatkan dari
rusaknya hutan. Materinya padat dan membuka mata kita bahwa kini alam kita
dalam kondisi kritis dan mulai berbuatlah kini.
Sebagai
contoh adalah setiap para blogger diberikan berupa Marchandise
berupa Tumblr keren yang dipamerkan di akhir acara. Sudah didesain dengan
sangat apik dan ciamik dengan motif khas hutan dan tentu saja dengan logo Eco
Blogger Squad.
Cara yang
pemateri lakukan adalah dengan visualisasi gambar, itu tercermin dari setiap
slide yang ditampilkan memberikan gambaran akan hutan untuk saat ini. Pertama kali bahasa
tersebut datang dari Mas Dedy P. Sukmara yang membahas tentang kebakaran hutan
yang terjadi di hutan Indonesia khususnya di Kalimantan dan Sumatra.
Tahun 2019
bisa dibilang tahun yang kelam, dalam satu dekade terakhir kebakaran hutan di
tahun 2019 jadi yang terparah. Malahan mengalahkan tahun 2019 yang disinyalir
jadi terparah sepanjang sejarah Republik ini berdiri. Ada sebanyak 1,6 juta
hutan dan lahan yang terbakar, menghasilkan begitu banyak karbon ke atmosfer,
membunuh satwa hingga masalah pernapasan parah pada manusia.
Sering kali
kita berpikir bahwa kejadian ini dianggap puncak musim kemarau yang terjadi di
tengah tahun. Faktor seperti El-Nino dianggap sebagai salah satu pemicu
kebakaran hemat di nusantara. Namun nyata itu hanya faktor semu dan kecil.
Semua itu terjadi nyatanya ada pengaruh besar manusia di belakangnya. Mengubah
lahan dengan cepat dan murah dari dan dengan cara membakar.
Bila ditotal
dalam 5 tahun terakhir saja, ada 5,7 juta lahan yang terbakar dengan kerugian
ditaksir hingga 73 triliun. Melepaskan miliaran zat karbon ke Atmosfer dan
tentu saja menaikkan iklim global bila tak ditanggulangi secara tepat. Luas
hutan yang terbakar itu bahkan mengalahkan kebakaran hutan yang ada di Amazon
dan Australia di tahun 2020.
Mengenai
Pulau yang paling banyak diterpa Karhutla, Sumatera dan Kalimantan jadi yang
terdepan menyumbang daerah yang terbakar. Sedangkan di Papua, Sulawesi, dan
Jawa relatif sedikit karena berbagai hal.
Misalnya saja
di Papua dan Sulawesi masih minim aktivitas yang mengarah pada kebakaran hutan.
Di sana lebih identik dengan penambangan dan eksploitasi hasil alam. Sedangkan
di Jawa dipengaruh dengan minimnya lahan yang bisa diubah oleh para perusahaan
atau instansi yang terkait dalam eksploitasi lahan dan hutan.
Fokus mereka
umumnya datang di Sumatera dan Kalimantan yang mana daerah hutan tropis yang
masih luas. Sehingga hutannya pun mudah dibakar, apalagi banyak kasus hutan
terbakar ulang dan terjadi setiap tahunnya.
Sejak tahun
2020, upaya pengendalian
kebakaran hutan dan lahan pada kemarau tahun ini tampaknya mendapatkan
tantangan cukup berat. Pandemi COVID-19 mengakibatkan terjadi pemotongan
anggaran. Anggaran Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya Rp34 miliar dari Rp56 miliar.
Terjadi penyusutan hingga 39% dari semula.
KLHK
fokus penanggulangan Karhutla pada tujuh provinsi prioritas, yakni, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur. Sedangkan sejumlah lokasi lainnya terabaikan,
dengan dana yang minim namun harus menghadapi Karhutla yang makin menjadi-jadi
setiap tahunnya.
Ada sebanyak
7 Provinsi yang sangat sering terjadi kebakaran berulang dan terjadi di lokasi
titik semula. Terbanyak dan terluas ada di Kalimantan Barat yang hampir 14 ribu
titik. Artinya disinyalir sejumlah pihak bermain dan memanfaatkan musim kemarau
untuk membakar hutan. Umumnya lokasi yang menjadi daerah rawan terbakar dari
hutan adalah daerah gambut.
Proses
pemadamannya pun sangat sulit, apalagi ditambah medan yang jauh dan sulit
menemukan sumber air membuat proses kebakaran lahan bisa berminggu-minggu untuk
dipadamkan. Dapur asap gambut sangat sulit dipadamkan hanya mengandalkan air.
Terkadang butuh rekayasa hujan buatan atau menunggu musim penghujan tiba.
Lalu ada yang
bertanya, memangnya dengan kerusakan hutan yang sangat luas tersebut apakah
merusak lahan produktif?
Jawabannya
ia, ada 3 pengelompokan dari hutan yang ada di sejumlah wilayah. Mulai dari
Hutan Tanaman Industri (HTI), areal sawit, dan hutan kawasan konservasi. Nah..
dari ketiga wilayah tersebut, yang paling banyak berdampak adalah Hutan Tanaman
Industri (HTI). Puncaknya di tahun 2015, ada lebih 500 ribu areal yang
terbakar.
Mengejutkannya
adalah banyak korporasi yang bermain di sini, mengincar hutan yang masih segar
dan ekosistemnya masih bagus. Agar bisa diubah menjadi area eksploitasi, itulah
mengapa Hutan HTI dan Konservasi jadi sasaran empuk.
Selain itu
korporasi kini sedang mencari provinsi-provinsi yang kaya akan hutan. Selama
ini yang kentara adalah hutan di Sumatera dan Kalimantan. Jumlah kebakaran
hutan pun meningkat besar di sana dalam dua dekade terakhir.
Perlahan tapi
pasti kini para elit korporasi sedang mengincar hutan ke arah timur Indonesia.
Itu terlihat dengan angkanya yang terus naik. Hutan di Sulawesi dan Papua
dulunya hanya identik dengan daerah tambang, kini mencoba untuk dijadikan
lokasi pembukaan lahan baru.
Itu ditambah
lagi dengan terbitnya Permen No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 terkait dengan
Penyediaan Kawasan hutan untuk Pembangunan Food Estate. Sudah pasti mengincar
banyak lokasi hutan hijau yang ada di Indonesia timur.
Bila tidak
dihentikan atau ada regulasi khusus, bisa saja dalam beberapa dekade ke depan
kita kehilangan banyak hutan di nusantara. Berbagai gagasan coba diterapkan
mulai dari moratorium lahan dan gambut, penegakan hukum yang setimpal tanpa
pandang bulu, restorasi hutan, hingga pemberian insentif ekonomi terhadap pihak
tertentu agar tidak membakar hutan.
Bila itu
berhasil terwujud, urusan pembakaran hutan bisa dicegah dengan seksama. Apalagi
Karhutla bisa merugikan ekonomi masyarakat yang terdampak. Saat Karhutla terjadi,
masyarakat tidak bisa beraktivitas secara normal.
Karhutla
sesuatu yang berulang, tapi kita bisa mencegahnya, apalagi kini data sudah
membuka mata bahwa urusan hutan adalah kepedulian semua pihak di dalamnya. Di
akhir pemaparan dari Dedy P. Sukmara mengingatkan kita bahwa kepedulian hutan
bukan hanya urusan provinsi yang terdampak. Tapi isu global yang wajib
digaungkan terutama dengan yang tepat dari Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Awal Mula Wabah
dan Pandemi dari Deforestasi Hutan
Masalah wabah
dan pandemi sering sekali dikaitkan dengan urusan medis saja. Nyatanya ada
pemicu yang membuat banyak wabah zoonesis yang kemudian menular antar manusia.
Materi itulah yang disampaikan oleh dr. Alvi Muldani yang membahas efek
zoonesis dan wabah yang disebabkan satwa liar di sekitar manusia.
Peradaban dunia sudah lama mengenal keberadaan penyakit
yang menular dari hewan ke manusia. Istilahnya zoonoses, berasal dari bahasa
Yunani yang berarti "binatang" dan "penyakit". Kala itu manusia membutuhkan makanan
yang tersedia di alam.
Apakah itu dari hewan
dan tumbuhan, sifat manusia awal yang suka berburu berbagai binatang liar tak
jarang membuat berbagai bakteri dan virus terkontaminasi ke manusia.
Penyakit itu
kadang menyebar dari satu manusia yang memakan satwa liar ke manusia lainnya.
Berdampak dengan banyaknya manusia yang harus jatuh sakit dan bahkan meninggal.
Kala itulah wabah mulai muncul, nyatanya virus kadang dari hewan peliharaan
yang dekat manusia.
Saat era
bercocok tanam yang menggantikan era berburu, manusia sadar bahwa berburu saja
tidak bisa diandalkan sebagai bertahan hidup. Saat era bercocok tanam dan
beternak manusia pun mulai menanam tumbuhan sebagai sumber karbohidrat dan
hewan ternak sebagai sumber protein hewani.
Sejumlah
hewan yang dulu buruan mendadak berhasil dijinakkan. Apakah itu sebagai hewan
ternak dan hewan peliharaan. Antara kedua hewan itu lahirnya hewan pengerat
yang mengganggu hasil pertanian dan hasil ternak manusia. Dalam kasus ini manusia
menamai mereka dengan sebutan hewan pengerat.
Tak jarang
hewan membawa sumber penyakit pada sejumlah akses manusia seperti hasil
pertanian, sumber air bersih hingga bahkan termakan oleh hewan ternak. Pada
tahapan lanjutan hewan ternak tersebut dimakan oleh manusia, akibatnya virus
berkembang biak dengan cepat.
Di era
modern, satwa liar hidup secara soliter dan jauh dari manusia. Ada banyak
aktivitas deforestasi yang berdampak pada satwa liar. Alhasilnya muncul virus
baru yang menyerang manusia, kebanyakan
adalah spesies langka atau hampir punah. Tepatnya, hewan dengan populasi yang
terus menurun akibat eksploitasi manusia.
Di Asia
tenggara sendiri, hal tersebut sempat terjadi di medio 90-an saat virus Nipah
yang berasal dari kelelawar pemakan buah. Kelelawar yang masih disantap oleh
sejumlah masyarakat pedalaman berdampak pada penyebaran virus Nipah. Efek
kematian cukup tinggi hingga 75% kasus, namun berhasil diredam sebelum menjadi
pandemi global.
Selanjutnya, menurut laporan Program Lingkungan PBB yaitu
UNEP, menegaskan bahwa 60 persen penyakit menular yang diderita manusia berasal
dari satwa. Angka itu bertambah hingga 75 persen jika memasukkan penyakit
varian baru. Sudah pasti jauh berbahaya dan mematikan, semuanya terjadi dalam
beberapa dekade terakhir.
Jenis satwa yang berbagi virus dengan manusia kebanyakan
adalah spesies langka atau hampir punah. Tepatnya, hewan dengan populasi yang
terus menurun dan kehilangan habitat akibat eksploitasi manusia. Belum lagi
kebiasaan sejumlah masyarakat yang menyukai makanan ekstrem tersebut sebagai
menu wajib kuliner mereka. Berdampak proses perpindahan virus bisa berlangsung
sangat cepat.
Beberapa virus populer dari Ebola berasal dari kelelawar
pemakan buah, HIV berasal dari hewan simpanse di Afrika, flu burung berasal dari unggas, Zika berasal dari nyamuk
di daerah tropis di hutan hujan Brazil. Lalu MERS berasal dari unta di
semenanjung Arab dan tentu saja SARS yang menjadi turunan Covid-19 yang berasal
dari kelelawar.
Ada sejumlah kemunculan penyakit zoonesis tersebut
nyata banyak sebabnya dari perubahan lingkungan atau gangguan ekologi dampak
aktivitas manusia. Misalnya saja pengubahan hutan menjadi lahan pertanian,
pembakaran hutan, menghilangkan sumber makanan satwa, dan lain sebagainya.
Skala yang terjadi bukan hanya satu wilayah saja, tapi
meluas dan terjadi di seluruh dunia. Akibatnya terjadi benturan antar spesies
yang menjadi korban. Misalnya satwa liar jumlahnya menipis dan cenderung punah.
Sedangkan manusia bisa merasakan dampak tak kasat mata, salah satunya
kontaminasi penyakit jenis baru.
Salah satu pangkal masalahnya adalah deforestasi. Hutan
ditebas demi membuka lahan pertanian atau peternakan intensif. Habitat
tergusur, memaksa satwa liar masuk jalan hidup manusia. Saat itulah tabrakan
terjadi antara manusia dan satwa liar. Lalu juga hewan peliharaan kerap jadi
penghubung perpindahan patogen dari satwa liar ke manusia.
Semua itu dilanjutkan dengan urbanisasi dan fragmentasi
habitat antar spesies. Belum lagi banyak jasad hewan purba yang punah jutaan
tahun lalu kembali terlihat jasadnya. Akibat perubahan iklim besar-besaran di
daerah kutub yang kemudian jasad tersebut terkontaminasi ke sejumlah hewan.
Nantinya hewan tersebut bisa saja tertangkap, dipelihara
atau bahkan disantap. Selamat datang virus baru, dalam sekejap menyebar dari
sekedar wabah lalu membesar hingga sampai ke tahap ini. Inilah yang terjadi di
akhir tahun 2019 saat pasar buah dan hewan di Kota Wuhan membawa virus jenis baru.
Kesimpulan akhir dari berbagai zoonesi yang terjadi
nyatanya sangat erat dengan perpindahan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk
itu manusia harus belajar dan pengalaman terdahulu karena pandemi menjadi kasus
yang serius sama halnya dengan masalah ekonomi.
Andai semua manusia sakit dan terpapar, segala roda kehidupan
akan terhenti dan korban jiwa akan berjatuhan satu sama lain. Dibutuhkan proses
penyeimbangan dari produksi makanan, komoditi hutan, dan tentu saja menjadi
hutan sebagai sumber penghidupan makhluk hidup di dalamnya.
Di akhir
sesi, para peserta Gathering Online berfoto bersama dengan Marchandise berupa
Tumblr keren yang dipamerkan di akhir acara. Sudah didesain dengan sangat apik
dan ciamik dengan motif khas hutan dan tentu saja dengan logo Eco Blogger
Squad.
Tentunya akan
ada banyak hal serupa yang akan dilakukan ke depan, pastinya banyak kejutan
lainnya bersama Eco Blogger Squad. Apalagi membahas isu lingkungan tidak pernah
ada habisnya, isu yang dulunya terlihat berat dan kaku, menjadi isu yang seksi
dan menarik.
Semoga
tulisan ini menarik dan memberikan pengetahuan kita terkait dengan isu
lingkungan. Have a Nice Days.
Artikelnya keren kak...
ReplyDeleteSalam kenal ya