Sejak dulu Aceh terkenal dengan jalur pelayaran dunia, melibatkan
aktivitas perdagangan dari berbagai jenis armada kapal asing. Para pelayar dan
pedagang tiba dari berbagai penjuru, masuk ke gerbang jalur rempah nusantara.
Total ada Aceh menyumbang tiga pelabuhan penting dari tiga kerajaan besar Aceh
yang masyhur yaitu Mulai dari Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, Kerajaan Samudera
Pasai di Aceh Utara dan Kerajaan Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh.
Itu belum lagi berkembangnya kota-kota satelit,
akulturasi budaya hingga tentu saja bisnis yang menguntungkan masyarakat
sekitar. Semua itu didukung pula dari berbagai aspek tingginya aktivitas di
pelabuhan, lokasi masuk ke jalur rempah nan strategis, dan kebijakan berupa pajak dan cukai yang
diterapkan oleh Kerajaan yang berkuasa di Aceh saat itu.
Kala itu rempah-rempah telah menjadi bagian yang sangat
penting, bahkan sangat berperan memainkan perkembangan peradaban modern
manusia. Saking pentingnya, rempah-rempah jadi komoditas utama yang mampu
mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam skala global.
Harganya yang dijual tinggi dan jumlahnya terbatas seakan menguntungkan salah
satunya Aceh selaku gerbang masuk akan Jalur Rempah.
Para pedagang bisa memilih tiga jalur alternatif untuk
bisa mendapatkan hasil alam yang selama ini mereka cari yaitu: rempah-rempah. Aceh
kala itu terkenal dari hasil rempah-rempah berupa pala, cengkeh, dan lada. Beragam
komoditi unggulan yang menjadi rebutan para pedagang ditambah dengan lokasi
yang sangat strategis tentunya.
Landasan dari lahirnya sejumlah alur untuk menghindari
kecelakaan kapal dagang. Pihak kerajaan memikirkan nasib para armada dan mengurangi
tingkat kecelakaan di laut. Akhir lahirlah tiga jalur tersebut disebut dengan
persimpangan Alur Aceh. Alur pertama ialah Alur Surat, jalur ini digunakan
kapal dagang untuk akses ke Gujarat. Alur kedua yakni Terusan Bengali, jalur
yang digunakan menyusuri Pantai Timur India. Terakhir adalah Alur Selat Malaka
yang jadi akses masuk kapal asing ke nusantara.
Jalur Rempah pulalah yang kemudian membentuk dari banyaknya peradaban yang saling berinteraksi tersebut. Dalam kurun waktu singkat mampu menjelma sebagai ruang silaturahmi antar manusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya, melampaui konteks ruang dan waktu, yang dipertemukan oleh laut, samudra, dan sungai.
Tercatat ada 20 titik jalur rempah yang membentang di
sepanjang negeri dan dua di antaranya berasal dari Aceh. Sudah pasti dari
setiap titik menghidupkan banyak peradaban dan perniagaan dengan bangsa luar.
Semangat menghidupkan jalur rempah itu artinya bentuk kita mengingat bangsa
kita pernah masyhur dari perniagaan dan tentu saja komoditi unggulannya.
Sejarah Jalur Rempah dan Rasa Penasaran Bangsa Barat
Rempah-rempah menjadi komoditi yang sangat berharga di
abad pertengahan. Besarnya aktivitas dagang membuat para saudagar dari Malabar
mengambil inisiatif dalam budidaya Lada di akhir abad 13 secara luas di
sejumlah wilayah nusantara. Aceh menjadi lokasi pilihan tersebut, ditambah lagi
berbagai jenis rempah lainnya berhasil dibudidayakan. Semisal cengkeh yang
dulunya tumbuh subur di wilayah timur nusantara yakni Maluku Utara dan Pala
dari Kepulauan Banda.
Sebelum komoditi rempah-rempah populer, kerajaan di
nusantara termasuk di Aceh masih sering menjual hasil alam berupa kayu dan
bebatuan alam. Hanya saja komoditi ini kurang terangkat dikarenakan di daerah
lainnya bisa didapatkan dengan murah. Harga jualnya pun tidak terlalu tinggi
dan wilayah ekspor hanya sampai ke Kawasan India saja. Sampai pada akhirnya
rempah-rempah populer dan dianggap sebagai segudang bahan baku penting
khususnya untuk dunia makanan, dunia medis, kecantikan hingga wewangian yang
tahan lama.
Peran rempah-rempah juga berhasil revolusi dunia bahwa
hasil alam dianggap menjadi komoditi berharga. Sebelumnya manusia lebih identik
dengan hasil perut bumi seperti emas, kerajinan tangan berupa tembikar dan
sutra. Hadirnya rempah-rempah mampu menghasilkan citra rasa makanan yang kuat,
perkembangan dunia parfum, kosmetik hingga tentu saja penangkal wabah yang
sedang melanda daratan Eropa.
Di sisi lain, Bangsa Eropa kala itu telah berhasil
bangkit dari era kegelapan. Mereka mencoba meniti peradaban ulang khususnya
dunia pelayaran dan perniagaan. Kala itu Bangsa Eropa masih kalah jauh dibandingkan
Bangsa Arab dan Kerajaan Ottoman. Kontrol kuat atas hasil rempah-rempah membuat
harga yang ditawarkan melambung tinggi, ditambah lagi Kerajaan Ottoman punya
pengaruh kuat akan perdagangan kala itu. Kerajaan Ottoman mendapatkan
rempah-rempah dari pedagang Arab yang dibeli di India hingga ke
pelabuhan-pelabuhan di Selat Malaka.
Bangsa Eropa menyadari kelangkaan ini dan kebutuhan besar
akan rempah-rempah. Hingga akhirnya tercetus ide mencari sendiri kepulauan
rempah-rempah tersebut. Jalur yang ditempuh adalah dengan mengitari Benua
Afrika hingga akhirnya tiba di Cape Town, Afrika Selatan. Itu diambil karena
daerah laut merah menjadi kuasa Ottoman dan memblokade pelaut dari Eropa.
Sampai akhirnya tiba di India, saat itulah para pelaut yang berasal dari Bangsa Portugis dan Spanyol tersebut tahu keberadaan kepulauan rempah-rempah tersebut. Selama ini hanya kabar burung yang tersampaikan dari pedagang Arab. Namun saat telah tiba di India, kala itulah mereka tahu bahwa lokasi rempah-rempah tersebar luas yang kini kita sebut dengan nusantara.
Mulanya misi ini dicetus oleh Christopher Columbus yang
kemudian kita mengenal sebagai Bapak penemu Benua Amerika, kemudian dilanjutkan
dan dipopulerkan oleh Vasco da Gama. Terbukanya jalur baru dan tanpa perantara
lagi otomatis tercipta jalur perdagangan baru khususnya jalur laut. Sebelumnya
jalur perdagangan darat hanya dikenal jalur sutra yang membentang dari China di
timur dan Eropa di bagian barat. Di Abad pertengahan juga, jalur laut sudah
sangat diandalkan karena kemampuan navigasi kapal yang berkembang pesat.
Lambat laun dengan tingginya animo perjalanan laut seakan
menghasilkan kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara, India hingga Eropa. Alhasil
melahirkan jalur laut baru yang dikenal dengan jalur rempah. Rute ini tercipta
di awal abad 15 tepatnya di tahun 1497, kala itu menjelang akhir dari pengaruh Kerajaan
Samudra Pasai di tahun 1517.
Sejak itulah Aceh menjadi ramai, selain sebagai gerbang
masuknya armada kapal Eropa ke wilayah nusantara. Aceh yang sejak dulu punya
kerajaan yang erat dengan perniagaan diawali dari Kerajaan Samudra Pasai hingga
Kerajaan Aceh Darussalam. Melihat apa yang diterapkan oleh kerajaan lainnya di
kawasan Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai melihat banyak aktivitas dagang sebagai peluang bisnis perniagaan. Target pasar yang mereka cari adalah Lada, Kamper, Kayu Bahar, kasturi, kemenyan. Sedangkan hasil tambang berupa emas, timah. Semua itu kemudian ditukar dengan sejumlah produk yang pedagang luar bawa seperti, sutra, kain chambray, dan tembikar.
Letak kerajaan yang berada paling ujung sebelum
tersambung ke Gujara, India, secara otomatis akses pelabuhan milik Kerajaan
Samudra Pasai digunakan sebagai lokasi singgah. Pihak kerajaan berkoordinasi
dengan menerapkan konsep bea cukai terutama barang ekspor hasil alam. Selain itu cukai berlakukan pula pada kapal-kapal
yang berlabuh di area kesultanan. Biayanya diukur dari ukuran dan jumlah muatan
yang banyak.
Ini dilakukan karena banyak dari kapal yang harus
menempuh jarak yang cukup jauh dan melelahkan. Berbagai fasilitas dari lokasi
kapal bersandar hingga tidak hanya pihak kesultanan yang diuntungkan tapi juga
masyarakat sekitar yang ingin menjual berbagai produknya.
Pasalnya, perdagangan laut dapat mendorong pertumbuhan
kota di daerah pantai karena penguasa lokal akan membangun pelabuhan untuk
melayani kebutuhan pedagang asing. Termasuk juga dalam membina hubungan politik
dan budaya, inilah yang membuat Kerajaan Samudra Pasai punya ikatan kuat dengan
mitra dagang dan diplomatik dengan kerajaan sekitar
Tongkat Estafet Perniagaan dari Kerajaan Aceh Darussalam
Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam di Abad 16 secara tak langsung jadi seakan memberikan pengaruh besar dalam percaturan kekuasaan di Aceh. Kerajaan Aceh sadar saat itu perniagaan dan kemaritiman menjadi sentra utama kerajaan. Pengaruhnya yang kuat secara tak langsung menjadikan banyak kapal dagang singgah. Menjadikan kerajaan sebagai pintu masuk Jalur Rempah yang kerap disinggahi berbagai kapal dari tiap penjuru negeri.
Fokus utamanya adalah hasil alam berupa rempah-rempah
yang diekspor ke sejumlah mitra dagang. Strategi ini diambil kala peran besar pelabuhan
Aceh Darussalam menggantikan Pelabuhan Malaka yang ditaklukkan Portugis.
Pengaruh ini menyebabkan pusat perdagangan rempah-rempah otomatis berpindah ke
Kerajaan Aceh Darussalam.
Meskipun begitu, itu jadi tongkat estafet kerajaan Islam di Aceh yang tujuannya adalah perniagaan dengan bangsa lainnya. Letaknya yang lebih condong ke Benua Asia dan punya jarak tempuh lebih pendek dibandingkan Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Melayu seakan membuat citra Kerajaan Aceh Darussalam menguat. Tak butuh waktu lama dan kemudian menjadi daerah lokasi eksportir berbagai jenis rempah-rempah ke India hingga ke Eropa. Bahkan sejumlah kerajaan nusantara seperti Kerajaan Maluku dan Banten.
Ibu Kota yang dipilih oleh Kerajaan Aceh Darussalam adalah
Kutaraja yang kini dikenal dengan Banda Aceh. Berbagai hasil alam umumnya mudah
dijangkau terutama rempah-rempah. Pihak kesultanan memikirkan proses distribusi
dari komoditi unggulan mereka bisa diekspor dengan harga tinggi. Cara dengan
membangun sejumlah akses jalan, jembatan hingga barang bisa dibawa dengan mudah
ke pelabuhan.
Pelabuhan yang dibangun berada Acin yang kini dikenal dengan Gampong Pande, Banda Aceh. Terpilihnya lokasi ini karena menjadi hilir dari Krueng Aceh. Lokasi ini terjadi akulturasi berbagai budaya dari berbagai pedagang yang singgah. Sudah pasti Kerajaan Aceh Darussalam sangat diuntungkan dalam ini dan meningkat taraf hidup masyarakat yang ingin menjual produk unggulannya hingga ke mancanegara.
Kerajaan menilai lokasi ini mudah dijangkau oleh para
penjual komoditi yang membawa hasil alamnya melalui jalur sungai. Sedangkan
untuk para pedagang, lokasi ini dipilih karena memiliki area masuk kapal yang
aman dari badai laut dan tentu saja bisa menambatkan kapal.
Tak hanya satu lokasi saja, Kesultanan juga membangun
pelabuhan untuk kapal-kapal yang ingin bertolak ke Selat Malaka. Lokasi yang
dipilih adalah Krueng Raya, salah satu saksi yang masih tersisa adalah
Benteng Inong Balee, lokasi ini disinyalir sebagai pelabuhan singgahnya para pedagang kala itu. Pada lokasi
singgah terjadi pertukaran barang dagangan dari banyak pedagang yang datang
dari China, India, Turki, dan Eropa.
Jauh sebelum kerajaan Aceh sudah ada kerajaan
lainnya seperti Kerajaan Lamuri. Bekas peninggalan seperti pelabuhan, benteng,
hingga menara pengontrol perdagangan. Jejak masa lalu tersebutlah yang membuat
Kerajaan Aceh Darussalam mendirikan di lokasi serupa, sehingga para pedagang
terdahulu ingat akan rute lama tersebut. Berlokasi jauh dari laut lepas secara
tak memudahkan kapal pedagang bisa bersandar sebelum melanjutkan perjalanannya.
Selain dari Jalur Rempah tersebut yang
memotong di Selat Malaka. Di kemudian hari lahir juga pusat-pusat pelabuhan di
Pantai Barat Aceh banyak disinggahi kapal-kapal asing dari Inggris, India,
Arab, China, bahkan Amerika di abad 18 hingga 19. Tujuan mereka datang ke Aceh
tidak lain untuk mendapatkan hasil rempah berupa pala. Total ada sebanyak delapan pelabuhan di
Pantai Barat Aceh mulai dari Meulaboh,
Kuta Bahagia, Pulau Kayu, Labuhan Haji, Susoh, Meukek, Tapaktuan, dan Singkil.
Kejayaan jalur rempah itu bertahan
bertahun-tahun hingga akhirnya ekspansi dari berbagai bangsa asing seperti
Portugis hingga Belanda. Perlahan tapi pasti itu membuat kerajaan Aceh dan di
nusantara tidak punya kekuatan seperti dulu. Jalur rempah yang dulu terkenal
akan komoditi rempah seakan kalah saingan dengan komoditi lainnya. Bahkan
secara tak langsung anak cucu kita melupakan kejayaan Aceh dalam hal perniagaan
tempo lalu.
Merefleksikan Sejarah Aceh melalui Jalur
Rempah
Dulu saat penulis masih duduk di bangku sekolah sangat menyukai materi terkait dengan sejarah. Materi yang menarik tentu saja perkembangan kerajaan dan berbagai suku di tanah air. Proses interaksi kerajaan dulu tentu saja mengandalkan akses kapal yang kini menjadi cikal bakal negeri maritim.
Hubungan yang kuat membuat banyak bangsa luar
menyukai nusantara. Tanah yang subur, mitra bisnis yang baik hingga punya
pelabuhan yang bagus. Semua itu coba direfleksikan kembali, membangun kembali
sisa kejayaan dari maritim. Khususnya Aceh, sudah punya timeline besar
yang dikejar yaitu memperkenalkan kembali Jalur Rempah.
Tahapan ini sudah dimulai sejak 2020 dalam proses sosialisasi jalur rempah. Dilanjutkan program kerja sama, dokumentasi, publikasi hingga terwujud dalam Warisan Dunia dari UNESCO di tahun 2024. Apalagi ada dua jalur yang Aceh sumbang dari 20 titik Jalur Rempah Nusantara.
Terwujudnya dua lokasi tersebut sebagai lokasi Jalur
Rempah juga harus sering dipromosikan pada generasi muda. Selama ini mereka
kurang tahu bahwa Aceh dulunya punya koneksi yang sangat besar dengan
bangsa-bangsa besar. Melalui dua pelabuhan besar dan berbagai kota satelit yang
ada di sekitarnya seakan mampu melahirkan dua kerajaan besar.
Kedua lokasi itu datang dari kerajaan masyhur Aceh
terdahulu yaitu Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Samudra Pasai. Bagi
penulis, Kerajaan Lamuri juga layak ditambahkan berkat sebagai pelopor awal
perniagaan dan dunia maritim nusantara dengan bangsa luar.
Landasan ini juga bisa digunakan kembali di era modern
kini sembari mengangkat citra Aceh. Di tengah arus globalisasi dan perdagangan
global yang sangat besar, jalur Rempah bisa jadi penguat menciptakan perputaran
roda ekonomi seperti dulu.
Mungkin dulu Aceh erat kaitannya dengan berbagai jenis
rempah-rempah seperti Pala, Cengkeh, dan Lada sebagai komoditi ekspor. Namun
kini ada banyak potensi ekspor menjanjikan yang bisa dibawa pulang kapal-kapal ekspor
ke lokasi singgah berikutnya. Para pedagang pastinya bertukar hasil barang
dagangan atau bahkan membeli produk yang masyarakat sekitar miliki.
Pemerintah Aceh pun sadar dengan potensi ini, berada di
Ujung Pulau Sumatra yang terhubung langsung ke Benua Asia pastinya lebih
menjanjikan. Alasan itulah berdiri sejumlah pelabuhan besar di sejumlah kota di
Timur Aceh hingga ke Banda Aceh. Lokasi
persinggahan kini pun tak hanya identik dengan perniagaan saja tapi sudah
meliputi budaya, makanan hingga pariwisata.
Dulunya lokasi pelabuhan persinggahan hanya dimanfaatkan armada kapal barang saja. Namun di era modern melahirkan berbagai jenis kapal. Manusia pun tak hanya memanfaatkan transportasi air kapal sebagai alat berpindah dan mengangkut muatan namun ke arah pariwisata. Banyak kapal Pesiar yang melintas dan bahkan singgah ke Aceh. Tujuan mereka semata-mata ingin melihat ragam budaya, wisata hingga kuliner Aceh.
Jelas Jalur Rempah mampu mengangkat taraf hidup
masyarakat pesisir terkait dunia pariwisata. Sedangkan masyarakat daratan
tinggi Aceh bisa merasakan dampak dari hasil alam yang mereka miliki. Pemerataan
kesejahteraan pun terlihat dan berkesinambungan karena Jalur Rempah tak hanya
menguntungkan masyarakat yang hidup di pesisir namun juga masyarakat di daerah
daratan tinggi. Kini Aceh punya komoditi unggulan yang tumbuh di daratan tinggi
dan punya nilai ekspor relatif besar di pasar global.
Untuk bisa mempersiapkan itu semua, dibutuhkan akses yang
mudah menuju pelabuhan. Mulai dari pembangunan jalan tol yang menghubungkan
setiap pelabuhan, peralatan pendukung bongkar muat dari ekspor ataupun impor
hingga gudang penyimpanan barang. Bila itu semua telah ada dan sudah lolos
standarisasi, itu tandanya pelabuhan yang Aceh miliki sudah layak menerima
berbagai kapal masuk dan keluar dari mancanegara. Terlebih lagi, jauh
sebelumnya sudah ada Qanun khusus No. 36 tahun 2000 yang mengatur tentang
perdagangan dan pelabuhan bebas.
Jalur Rempah Kini: Tak hanya Komoditi tapi Nilai Jual
Wisata
Bila dulunya Aceh terkenal dengan hasil alam berupa
rempah-rempah, namun kini Aceh terkenal dengan segudang komoditi lainnya. Mulai
dari hasil alam, hasil tambang bahkan ke hasil laut. Komoditi yang menjadi
unggulan untuk saat ini berupa: Kopi, minyak nilam, kelapa sawit, kopra, kakao,
pinang, dan karet. Untuk hasil laut berupa Ikan Tuna sirip kuning dan Lobster.
Sedangkan hasil rempah-rempah hanya menyisakan lada saja.
Itu menandakan Aceh punya segudang komoditi unggulan yang
bisa dijual. Bila sebelumnya, hanya mengandalkan rempah-rempah, kini komoditi
lainnya memberikan ciri khas untuk Aceh. Sebagai contoh adalah komoditi kopi
dan minyak nilam, yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Citra rasa dan
wanginya yang kuat membuat produknya mampu bersaing di pasar global.
Pemerintah Aceh sedang giatnya membangun wisata, cara ini
digodok mampu menjual produk alam unggulan sekaligus dibarengi dengan pertumbuhan
lokasi wisata. Berbagai lokasi wisata pilihan yang dibangun mulai dari jelajah
wisata sejarah, wisata alam, hingga wisata islami. Target ini diharapkan mampu
mendongkrak pariwisata dari Jalur Rempah Aceh.
Melalui program membangkitkan Jalur Rempah, seakan kita
sadar bahwa dari Jalur tersebut seakan mampu meningkat berbagai sektor yang
dulunya harga terkait dengan perniagaan. Namun di era modern Jalur Rempah
nyatanya memberikan kita pengetahuan bahwa nilai historis, ekonomi, budaya
hingga pariwisata bisa mendongkrak Aceh. Membuat namanya kembali masyhur
seperti yang didengar para saudagar asing yang singgah.
Semoga tulisan ini memberikan inspirasi kita semua pada
Jalur Rempah negeri yang kini kembali diangkat sebagai bukti pentingnya Aceh
dalam percaturan perniagaan dunia. Have a Nice Day Guys…
0 komentar:
Post a Comment