Indonesia
terkenal dengan kekayaan hayati yang sangat besar yaitu menjadi 10 besar negara
dengan mega diversitas dan terbesar di Asia Tenggara dengan menyumbang 1,3%
dari yang ada di dunia. Tak hanya itu saja, ada sejumlah berbagai diversitas
dunia yang disumbangkan Indonesia. Mulai dari 17% spesies burung, 12% mamalia,
dan 7,3% reptil dunia.
Jumlah yang besar tersebut nyatanya punya ancaman yang cukup besar. Salah satunya laju kepunahan yang bisa menimpa berbagai diversitas yang Indonesia miliki. Tingkat kepunahan ini diakibat oleh tinggi berbagai aktivitas yang mengancam satwa liar di tanah air.
Berbagai
aktivitas ini kepunahan banyak hubungannya dari aktivitas yang disebabkan oleh
manusia. Mulai dari perubahan iklim, eksploitasi alam, alih fungsi hutan,
perburuan besar-besaran hingga perdagangan satwa liar.
Terkait perubahan iklim nyatanya sangat nyata, misalnya saja di laut terjadi beaching (pemutihan) karang yang merusak ekosistem terumbu karang, dampaknya sangat masih buat berbagai habitat yang hidup di sana. Naiknya suhu membuat kadar asam meningkat dan mengakibatkan semua ekosistem yang ada di sana rusak dalam sekejap.
Sedangkan
di darat, terjadi perubahan iklim yang berdampak seperti terbakarnya lahan
hutan tempat berbagai ekosistem. Bila tidak berhasil dicegah, itu artinya dalam
kurun waktu singkat yaitu 80 tahun lalu, akan ada 50% spesies yang hilang di
sekitar kita.
Tak
hanya itu saja, ada banyak deforestasi yang sedang gencarnya terjadi di hutan.
Ini berdampak sekali dengan tergerusnya lahan tempat satwa langka tinggal. Lokasi
tersebut banyak digunakan oleh manusia mulai dari lokasi perkebunan,
pertambangan, hingga lokasi perumahan. Terutama di lokasi perumahan sangat
rentan konflik manusia dengan satwa liar.
Dalam proses deforestasi hutan
sering dilakukan oleh manusia dengan cara membakar hutan. Selain caranya mudah
dan murah dalam membakar ratusan atau bahkan ribuan hektar dalam sekejap. Pada
masa kemarau dimanfaatkan dengan sangat optimal buat para pembakar hutan dengan
dalih membuka lahan.
Ada
banyak satwa liar yang menjadi korban karena tidak bisa menyelamatkan diri.
Asap yang dihasilkan cukup lama padam. Terutama di hutan hujan tropis, ada
banyak ekosistem satunya ekosistem gambut.
Sejarah
Terbentuknya Gambut Hingga Vegetasi Penting
Gambut
memang terkenal sebagai lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik
yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang
membusuk. Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk
endapan yang tebal.
Pada
umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara
sungai, maupun daerah pesisir. Proses terbentuknya gambut berpengaruh terhadap
jenis-jenis dan karakter gambut. Oleh karena itu, gambut pedalaman memiliki
bentuk dan karakter yang berbeda dengan gambut yang ada di daerah sekitar
sungai dan pantai.
Sejak
dulu daerah ini sangat identik dengan jumlah pasokan air yang sangat dan selalu
tersedia sepanjang tahun. Inilah yang membuat gambut bisa mempertahankan air
dalam jangka waktu lama. Air yang ada di dalam gambut membuat permukaan gambut
lebih lunak dibandingkan lokasi tanah lainnya bahkan di musim kemarau
sekalipun.
Hanya
saja, bila terjadi kebakaran di dalam area gambut otomatis membuat api yang
membakar gambut sangat sulit dipadamkan hingga berminggu-minggu. Asap yang
dihasilkan sangat banyak dan menyesakkan dada bila saja terhirup oleh manusia.
Mengapa
Lahan Gambut yang sehat itu penting?
Gambut
menyimpan banyak karbon jika dibandingkan dengan hutan atau jenis tanah
lainnya. Menjaga lahan gambut yang sehat dan utuh sangat penting untuk upaya
mitigasi perubahan iklim. Saat hujan, gambut menyimpan banyak air. Di musim
kemarau, tanah gambut melepaskan air secara perlahan-lahan untuk menyediakan
pasokan air.
Ketika
hujan turun dengan intensitas tinggi, gambut akan menyerap sebagian besar air
sehingga banjir tidak lebih buruk. Air di lahan gambut menjadi tempat tinggal
ikan. Ikan penting sebagai sumber makanan dan pendapatan. Hutan gambut
menyediakan rumah bagi hewan.
Mengurangi
dampak bencana banjir dan kemarau, Daya serapnya yang tinggi membuat gambut
berfungsi sebagai tandon air. Gambut
dapat menampung air sebesar 450-850% dari bobot keringnya.
Habitat
untuk perlindungan keanekaragaman hayati.
Berbagai
macam flora dan fauna dapat tumbuh dan tinggal di lahan gambut. Beberapa jenis
flora sangat berguna bagi masyarakat sehingga perlu dibudidayakan. Sementara
itu, fauna yang tinggal di lahan gambut berperan penting dalam menjaga
keberlangsungan hidup ekosistem gambut lainnya.
Lahan
gambut menjaga perubahan iklim, lahan Gambut menyimpan cadangan karbon yang
besar sehingga ketika lahan gambut Lahan gambut mengandung dua kali lebih
banyak karbon dari hutan yang ada di seluruh dunia. Ketika terganggu,
dikeringkan atau mengalami alih fungsi, simpanan karbon di dalam gambut
terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.
Rusaknya
Lahan Gambut, Apa Jadinya?
Saat
ini banyak sekali rencana menggubah area gambut yang dirasa oleh Sebagian pihak
yang punya kepentingan sebagai lokasi yang tak menguntungkan. Menjadikan lokasi
tersebut jadi lebih berharga menurut mereka dengan mengubahnya menjadi area
perkebunan sawit.
Sudah
pasti ketika lahan gambut digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, maka air
akan dikeringkan, pohon ditebang, dan tanah gambut pundi gali. Itu belum lagi
daya serap air yang dimiliki oleh sawit yang berakibat air yang disimpan oleh
gambut bisa kering dalam seketika. Bahkan warnanya berubah menjadi kecokelatan.
Walaupun
jumlah lahan gambut hanya sekitar 3-5% di permukaan bumi, namun
keberadaannya merupakan rumah bagi lebih
dari 30% cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah. Diperkirakan lahan
gambut menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, dan
empat kali dari yang ada di atmosfer. Lahan gambut di wilayah tropis menyimpan
karbon yang paling banyak.
Misalnya
saja penelitian tersebut dilakukan oleh Global Wetlands tahun 2019,
Indonesia memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai
22,5 juta ha. Sedangkan urutan pertama ditempati Brazil dengan luas lahan
gambut sebesar 31,1 juta ha.
Adapun
di Tanah Air, provinsi pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas
6,3 juta ha. Lalu ada Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha),
Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha), Papua Barat
(1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera
Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.
Fakta
buruknya adalah jumlah ini makin menyusut setiap tahunnya, pembukaan lahan dan
pembakaran hutan membuat jumlah menyusut dalam kurun waktu singkat saja. Bahkan
di masa depan kita akan sangat langka melihat lahan gambut yang sudah musnah
dan beralih fungsi.
Bincang
Lebih Lanjut Terkait Gambut dan Satwa Langka
Bicara
tentang gambut dan satwa luar nyatanya membuka mata siapa saja untuk bisa
peduli dengan keduanya. Selama ini hanya mereka yang eksper saja tahu banyak
mengetahui hal tersebut. Namun kini melalui acara virtual melalui Zoom meeting bisa
terwujud.
Salah
satunya acara rutin yang dilakukan oleh komunitas Eco Blogger Squad bersama
pakar Lahan Gambut dan Fauna Indonesia pada 6 Agustus 2021. Online Gathering
kali ini bertema “Lindungi Lahan Gambut, Lindungi Fauna Indonesia”.
Serunya
acara diisi oleh ekspernya di bidang terkait yaitu oleh Mbak Iola Abas selaku Koordinator
Nasional Pantau Gambut. Serta Dr. Herliana Agustin selaku Peneliti Pusat Studi
Komunikasi Lingkungan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Selama
lebih dua jam lebih, para eksper tersebut bercerita jauh mengenai lahan gambut
di Indonesia dan satwa liar di Indonesia. Mengajak para Blogger saling tahu
berbagai jenis satwa liar yang ada di hutan Indonesia. Apalagi banyak yang
belum pernah dilihat sebelumnya, dan kebanyakan dari mereka habitatnya sedang
terancam.
Perburuan
satwa liar yang dijadikan sebagai hewan peliharaan menjadi masalah utama mulai
dari obesitas, hilangnya kemampuan natural satwa liar hingga banyak yang
membuang hewan liarnya saat dianggap tidak dibutuhkan. Otomatis satwa liar yang
dipelihara berada di rantai teratas dari rantai makanan. Ada banyak hewan
lainnya yang terancam bahkan manusia sendiri.
Selain
itu banyak hewan yang dipelihara bukan di habitat asalnya yang dapat mengganggu
spesies endemik yang tinggal di sana. Misalnya saja pada spesies Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) yang terkenal punya kemampuan hidup di dua kondisi yaitu air
tawar dan estuarin.
Masyarakat mencoba memeliharanya karena ia punya nilai ekonomis tinggi di dunia perikanan. Hanya saja tanpa melihat kembali jenis spesies endemik yang ada di suatu perairan. Alasan utamanya karena Ikan Nila punya kemampuan bertahan hidup lebih kuat, ia bisa memusnahkan spesies yang lebih lemah di bawahnya.
Salah
satunya yang terjadi di Danau Lot Tawar yang ada di Aceh Tengah, ada banyak
masyarakat yang melepaskan dan memelihara ikan tersebut di danau. Padahal di
danau sudah ada ikan endemik lokal yang dikenal dengan Ikan Depik (Rasbora
tawarensis). Akibatnya jumlah menurun dan membuat masyarakat kesulitan menemukannya
kini.
Mengedukasi
Masyarakat akan Satwa Liar
Dalam
mengenal satwa liar harus dipupuk sejak usia dini, ini membuat anak-anak bisa
sadar akan pentingnya satwa liar dan mengenalnya. Untuk masyarakat sendiri
harus digalakkan edukasi menyuruh pada satwa liar.
Bila
yang sebelumnya menganggap dari satwa liar sebagai sumber pencarian atau hobi.
Namun kini bisa diedukasi karena bisa membuat satwa sejahtera di alamnya.
Memang bagi manusia yang memeliharanya dianggap sebagai pemilik utamanya. Nyatanya
satwa liar punya alam sendiri dalam menentukan hidupnya, bukan dari manusia
langsung.
Ini
membuat ia kehilangan kemampuan insting saat dilepas pada lingkungan. Memang
banyak stigma yang beredar misalnya saja saat hewan yang dilepas pada penakaran
BKSDA. Misalnya serangan jantung, diabetes dan sebagainya.
Itu
karena porsi geraknya yang terbatas dan bahkan sudah cenderung obesitas, saat
dilepas di lokasi penakaran membuat ia tak survive dan kemudian mati.
Sering kali pihak BKSDA yang disalahkan, namun jarang penghobi yang disalahkan
dalam hal ini.
Kini
pun tren jadi breeder juga harus diedukasi, bukan hanya sebatas
gaya-gayaan yang berakibat fatal pada nasib satwa liar. Toh… dengan menjaga hutan
itu artinya menjaga alam mereka sebenarnya.
Indonesia
dan Identitasnya Sebagai Pemilik Gambut Terbesar di Dunia
Dari
258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13%-15% terdapat di lahan
gambut Indonesia, yaitu 35-40 ribu spesies
pohon tinggi. Selain itu, terdapat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan
34 spesies ikan di lahan gambut.
Luas
lahan gambut di Indonesia jadi yang terluas no. 4 di dunia dengan jumlah
mencapai 15 juta ha, sedangkan untuk lahan gambut tropis hanya kalah dari
Brazil. Bahkan menurut penelitian, ditemukan lahan gambut tertua 47 ribu tahun
lalu yang ada di Kalimantan. Itu artinya Indonesia sejak dulu sudah identik
dengan gambut.
Beberapa
fauna merupakan spesies endemik dan dilindungi International Union for
Conservation of Nature (IUNC) yang masuk ke dalam Red List IUNC, seperti
buaya senyulong, langur, orang utan, harimau Sumatera, beruang madu, dan macan
dahan.
Lahan
gambut Indonesia bernilai penting bagi dunia, karena menyimpan setidaknya 53-60
miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai salah satu kawasan utama
penyimpan karbon dunia. Surga karbon lahan gambut Indonesia, hanya mampu
ditandingi oleh hutan hujan di Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.
Menjaga
Lahan Gambut, Menjaga Kadar Karbon
Pada
musim pancaroba, langit seakan memerah kala kebakaran hutan terjadi. Daerah di
Pulau Sumatera dan Kalimantan jadi lokasi kebakaran rutin yang terjadi. Waktu
dan durasinya bahkan bisa berbulan-bulan lamanya.
Asap
yang dihasilkan membuat Indonesia jadi negara pengekspor asap rutin buat negara
tetangga. Setelah ditelisik lebih jauh, yang terbakar bukan hanya hutan karena
saat hutan terbakar dan jadi abu. Api dan asap langsung saja padam.
Namun
beda halnya yang terbakar adalah lahan gambut, ia akan menghasilkan gumpalan
asap yang tebal. Bahkan lahan gambut yang kering sangat rentan terbakar. Lapisan
gambut yang tebal hingga ke dalam tanah membuat asap makin mengganas. Butuh
banyak air untuk memadamkannya sepenuhnya, tak jarang para pemadam hutan
menyerah saat menghadapi kondisi ini.
Untuk
itulah kita harus kuat menjaga hutan apa pun itu, bila saja telah rusak adalah
dengan melakukan restorasi lahan. Prosesnya memang memakan banyak waktu dan
tenaga, namun ini sangat bermanfaat untuk mengembalikan fungsi tanah di lahan
gambut.
Proses
restorasi dimulai dari tiga pendekatan yaitu proses pembasahan, penanaman
ulang, dan merevitalisasi sumber pencaharian masyarakat sekitar di lokasi
gambut. Pemerintah pun mulai serius dalam hal ini termasuk dengan lahirnya PP
No. 57 tahun 2016 jo PP No. 71 tahun 2014.
Komitmen
bersama Menjaga Satwa Liar dan Lahan Gambut
Ada banyak pembelajaran yang kami dapatkan
dalam setiap pertemuan Virtual Zoom Meeting bareng Eco Blogger Squad. Selama
ini kita tercerahkan bahwa satwa liar yang baik adalah hidup di alam dan lahan
gambut bukanlah lahan yang tak bernilai. Namun berkat adanya mereka di alam,
jadi penyusun dalam penyerapan karbon, menahan air tanah hingga menjaga iklim
dunia.
Di akhir sesi, para peserta Gathering Online
berfoto bersama dengan pemateri yaitu Mbak Iola Abas dan tentu saja Dr.
Herliana Agustin. Sebelumnya ada banyak pertanyaan bagus yang dilontarkan oleh para
blogger terkait materi.
Memang
tak dipungkiri setiap pertemuan pasti penuh kejutan yang dihadirkan dari Eco Blogger Squad. Sehingga nyatanya
mencintai hutan dan segala eksosistem yang ada di dalamnya jadi pekerjaan kita
semua. Terutama mengedukasi masyarakat bahwa manusia tanpa hutan itu berarti
sama dengan menghilangkan kesempatan melihat satwa langka kini dan di masa
depan.
Semoga tulisan ini memberikan inspirasi untuk
kita semua, akhir kata: Have a Nice Days
0 komentar:
Post a Comment