Gelombang Panas menyerang bumi dalam beberapa waktu
terakhir suhunya makin naik setiap tahunnya. Daerah di muka bumi yang paling
terdampak setiap tahunnya adalah India. Di beberapa tempat suhu bisa mencapai
48°C dan sudah tergolong dalam kondisi sangat ekstrem.
Ada banyak masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk menjadi yang paling terdampak. Rumah tinggal yang sempit dan tanpa sirkulasi udara menambah panas menjadi semakin tak tertahankan. Suhu yang panas tak hanya terjadi siang hari saja, hawanya tetap terasa hingga malam hari.
Banyak masyarakat yang kesulitan untuk bisa tidur meskipun sudah tidur di alam terbuka. Caranya dengan menggunakan kipas atau membolak-balikkan badan pada lantai. Namun itu bukan perkara mudah, Tak jarang suhu yang begitu panas dapat mengakibatkan sengatan panas (heat stroke) dan dehidrasi berat. Ada banyak korban yang jatuh dari gelombang panas di India dan suhunya makin naik setiap tahunnya.
Berbagai cara dilakukan untuk meredakan gelombang panas.
Umumnya rumah masyarakat India bermaterial bata merah yang menyerap panas
matahari. Caranya dengan mengecat atap dari bata merah tersebut menjadi warna
putih. Sifat dari warna putih yang memantulkan panas membuat panas tidak
menyerap ke bangunan warna. Cara tersebut yang kini sedang tren di India dalam
menekan panas.
Sebagai catatan, gelombang Panas memang tak terelakkan,
dalam kurun waktu 1978 hingga 2014 saja. terjadi 660 gelombang panas.
Menyebabkan kematian 12.273 orang, menurut studi yang diterbitkan di Current
Science. Sudah pasti akan bertambah hingga kini dan jumlahnya makin sering
terjadi.
Menurut Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim PBB, Bumi telah
menghangat 1°C sejak dimulainya Revolusi Industri dan jika lintasan saat ini
diikuti, suhu dapat mencapai pemanasan 1,5°C pada tahun 2040. India jadi salah
satu negara di dunia yang terdampak akibat perubahan iklim karena berbatasan
dengan sejumlah Asia Tengah yang beriklim gurun.
Gelombang panas yang makin menjadi-jadi bukti bumi mulai
tak nyaman di sejumlah wilayah. Daerah serupa yang berdampak sama dengan India
adalah yang terjadi di sebuah daerah Chinguetti, Mauritania, Afrika. Dahulu adalah
oase di , tempat hidup 20.000 orang, kini ditinggalkan karena terkubur pasir.
Salah satu warganya, Mohammed Cheikh Chomouh tidak lagi
bisa menemukan rumput untuk ternaknya. Saya terpaksa memberi mereka makan
kardus, ujar peternak kambing itu. Jika tidak, mereka akan mati kelaparan, awal
mulanya mereka tak suka namun lama-kelamaan menjadi suka. Perubahan iklim
membuat suhu di tempat mereka tak terkendali, ibarat neraka yang bocor.
Cuaca panas yang ekstrem, hujan yang tidak pernah datang,
membuat tanah tidak lagi menghijau, sumber pangan hampir tidak ada dan akhirnya
Mohammed memutuskan untuk pindah, membawa serta ternaknya ke wilayah dekat laut.
Perkampungan Chinguetti, Mauritania, Afrika berdekatan dengan Sahara Barat, sejak perubahan iklim yang begitu besar seakan membuat Oase di kampung mereka menghilang. Kini debu dari pasir gurun menerpa dan secara perlahan menenggelamkan kampung mereka, termasuk menenggelamkan harapan mereka.
Kini banyak dari masyarakat sekitar yang memilih mengadu
nasib ke kota, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Semuanya kini sudah menjadi
gumpalan gurun dan pasir. Itulah yang dirasakan oleh masyarakat. Perubahan
iklim berdampak berat di daerah tengah Benua Afrika. Luasan gurun bertambah
setiap tahunnya.
Termasuk yang terjadi di Indonesia, perubahan iklim
berdampak sangat berat pada tinggi suhu di sejumlah wilayah. Penulis pun
merasakan hal serupa, intensitas hujan yang menurun meskipun sedang berada pada
musim penghujan atau hujan di bulan-bulan yang minim intensitas hujan.
Perubahan Iklim, Efek Peningkatan Jumlah Karbon
Bisa dibilang naiknya suhu bumi secara global untuk saat
ini tidak terjadi dalam kurun waktu satu tahun. Namun dari sudah terjadi
bertahun-tahun, peningkatan karbon terus meningkat sejak awal mula revolusi
industri di mulai.
Kemudian data itu diperkuat dengan peningkatan jumlah karbon yang terus naik setiap tahunnya. Sejak pertama kali diukur di awal abad 19 atau saat era industri pertama kali dimulai, karbon terus meningkat hingga 40% dibandingkan dengan sekarang.
Hasil data yang dicatat dari Laboratorium Penelitian di
Hawaii menunjukkan bahwa CO2 sudah mencapai 414 ppm. Sedangkan di awal revolusi
industri, nilai dari karbon sebanyak 290 ppm. Angka ini bisa terus meningkat di
tahun 2100, bahkan diperkirakan kenaikan suhu bumi hingga beberapa derajat
lagi.
Kondisi sangat panas dan tak nyaman buat manusia dan
makhluk hidup di bumi. Bisa dibayangkan bagaimana panasnya bumi saat ini, ada
begitu banyak bagian bumi yang terdampak langsung dari kekeringan ekstrem
hingga musim dingin yang sangat dingin. Semua akibat perubahan iklim dan
meningkatnya jumlah karbon di atmosfer.
Mengenal Emisi Karbon, Bahaya dan Dampaknya buat Bumi
Sejak dulu kita seakan sangat sering mendengar emisi
karbon, namun hanya cakupan yang sangat sempit. Sekedar dengan polusi udara
atau kebakaran hutan saja. Namun nyata emisi karbon terkait dengan segala
sesuatu yang begitu luas termasuk buangan karbon yang manusia hidup.
Karbon dioksida, lebih sering disebut sebagai 'karbon', memiliki porsi paling besar di antara gas rumah kaca lainnya. Istilah inilah yang seakan lebih dikenal dengan emisi karbon, seakan dengan tinggi jumlah karbon berdampak pada semakin panasnya suhu bumi secara menyeluruh.
Memang ada banyak gas lainnya yang cukup berpengaruh pada
pemanasan global namun porsinya kecil seperti Metana (CH4), Nitro oksida dan (N2),
dan Klorofluoro Karbon (CFC). Porsinya hanya kurang 20% dari total emisi karbon
yang memenuhi atmosfer.
Zat ini dibutuhkan pada kadar tertentu khususnya dalam
menjaga panas bumi tetap terjadi salah satunya terkait dengan fotosintesis.
Inilah yang mengapa di Planet Mars sangat membutuhkan karbon berlebih agar
layak huni berbeda dengan bumi yang masih membutuhkan pembatasan karbon karena
sudah dirasa di suhu optimal.
Emisi Karbon erat dengan sejarah dari buangan karbon yang
manusia buang ke alam. Istilah ini dikenal dengan jejak karbon. Memang apalagi
itu jejak karbon? suatu ukuran dari aktivitas manusia yang menimbulkan dampak
terhadap lingkungan.
Jejak karbon dapat dihitung secara tahunan dan diperoleh hasil berapa kg emisi karbon dioksida yang kita hasilkan selama setahun. Terutama sekali dari pembakaran berbagai bahan bakar fosil.
Jejak karbon paling banyak dihasilkan oleh kendaraan
sebesar 28%, pembangkit listrik sebesar 27%, aktivitas industri 22%, bidang pertanian 10 Bidang komersial 7%
komersial, dan aktivitas rumah tangga yaitu sebesar 6%.
Bila menilik data, Indonesia berada dalam urutan ke-4
penghasil gas emisi terbesar, emisi itu disebabkan karena penggundulan hutan,
kebakaran lahan gambut, pembuatan energi dari bahan bakar fosil.
Lalu bagaimana dengan individu atau perorangan dalam yaitu
45% transportasi, 27% makanan, 6% sampah, 7% listrik, 7% hiburan, dan 8%
lainnya. Rata-rata 1,8 s/d 2,1 ton jumlah CO2 tahunan dari setiap orang. Populasi
manusia yang besar saja jadi penyebab kenaikan karbon.
Cara menghitungnya tak sulit, salah satunya dengan
kalkulator sederhana sehingga didapatkan hasil akhir. Terbagi dua jenis jejak
karbon yang manusia modern hasilkan yaitu jejak karbon primer dan jejak karbon
sekunder.
Jejak karbon primer berupa jejak karbon yang berasal dari
proses pembakaran langsung bahan bakar fosil, seperti penggunaan kendaraan
bermotor. Sedangkan jejak karbon sekunder adalah jejak karbon yang berasal dari
siklus produk-produk yang digunakan sehari-hari, mulai dari proses pembuatan
hingga penguraian, contohnya konsumsi makanan.
Memangnya manusia modern bisa tidak menghasilkan jejak karbon sekaligus
bisa menekan karbon? Jawabannya bisa dibilang sulit, apakah itu jejak karbon
secara primer ataupun sekunder. Salah satu caranya adalah dengan cara
mengurangi emisi dan jejak karbon serta solusi ide menyerap karbon dari setiap
manusia.
Menekan Emisi Karbon, Jaga Suhu Bumi Tetap Layak Huni
Gelombang panas di India, kekeringan yang mengubah sebuah
Desa di Mauritania hingga berbagai kebakaran yang terjadi di Indonesia adalah
satu dampak terbesar yang terjadi perubahan iklim. Bersama bergerak dalam
menjaga bumi tetap normal.
Kini tugas kita adalah tetap menjaga bumi agar kenaikan
suhunya tetap stabil salah satunya dengan cara menekan kenaikan suhu 1.5°C di
dekade ini atau hingga tahun 2100. Itu tugas berat karena menurut data survei
IPCC, suhu bumi sudah melampau 1.5°C dan bahkan bila tak ada tindak lanjut,
malahan di tahun 2100 suhu bumi naik hingga 6°C.
Mengapa batas aman suhu bumi di dekade ini adalah 1.5°C?
Bisa dikatakan kenaikan sedikit saja diambang nilai tersebut akan berdampak sangat besar. Misalnya saja nilai tersebut naik ke angka 2°C. Di suhu setinggi itu ada banyak yang berpengaruh seperti mencairnya es di kutub, kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, kepunahan sejumlah spesies hingga kekeringan.
Kasus yang terjadi di belahan bumi seperti disampaikan di
atas adalah bukti konkret dampak tersebut. Bisa dibilang itu baru permulaan di
sejumlah wilayah sebelum bencana pemanasan global makin menyebar ke semua wilayah
di dunia.
Butuh kerja ekstrak dari setiap manusia, perusahaan
hingga negara dalam menekan jumlah karbon tersebut. Masalah perubahan iklim
yang dianggap sepele nyatanya bisa mengancam banyak orang di dunia.
Salah satunya dengan kampanye menekan karbon ke angka
minimal karena mustahil menghilangkan karbon yang dihasilkan manusia. Caranya
tak perlu gebrakan besar namun dimulai dari hal yang ada di sekitar kita.
Itu dimulai dengan cara menghemat penggunaan listrik di
rumah dan tempat kerja. Umumnya listrik yang dihasilkan datang dari proses
pembakaran pembangkit listrik yang masih menggunakan energi batu bara. Mengurangi penggunaan listrik, maka batu bara
yang dibakar bisa dikurangi. Emisi karbon dari pembakaran batu bara menjadi
berkurang pula.
Emisi lainnya yang paling besar dari manusia adalah dari transportasi yang digunakan. Bukan berarti kita harus selalu naik sepeda, jalan kaki atau bahkan membeli kendaraan listrik. Namun kita bisa membatasi buangan karbon dengan cara mengurangi aktivitas dengan kendaraan pribadi. Bisa dengan menggunakan kendaraan umum hingga aktivitas gerak.
Lalu mungkin buat yang suka tidak menghabiskan makanan,
ini sangat identik membuang karbon. Makanan yang dihasilkan dari proses awal misalnya
dari menanam makanan, menggembala sapi, atau menangkap ikan, semua kegiatan di atas
menghasilkan emisi karbon.
Itu belum termasuk lagi produk pangannya didistribusikan,
dan bahkan makanan sisa konsumsi kita yang dibuang begitu saja, saat membusuk
dapat menghasilkan gas Metana, yang 80 kali lebih kuat dari gas CO2. Ada banyak
kebiasaan di belahan penduduk yang membuang makanan sedangkan di belahan dunia
lainnya banyak penduduk yang kekurangan makanan.
Bagi yang suka makanan berupa daging nyatanya juga cukup
banyak menghasilkan karbon. Caranya dengan sedikit mengurangi makanan
mengandung karbon seperti daging dengan menggantikan dengan menu berbahan buah
dan sayur. Selain itu buah dan sayur mudah dalam proses penyajiannya termasuk proses
penyajian yang minim bahan bakar.
Lalu dengan cara mendaur ulang sampah jadi bahan yang bisa
berguna. Selama ini sampah lebih banyak dibakar di lingkungan yang tentunya
menghasilkan gas karbon serta gas beracun lainnya yang ada di dalam sampah. Kini
juga telah berkembang cara daur ulang sampah modern termasuk menjadi bahan
bakar berbahan baku sampah daur ulang.
Terakhir cara yang paling dimulai dengan menanam pohon.
Satu batang pohon bisa menangkap karbon di udara dan mengurangi buangan karbon
terperangkap ke atmosfer. Cara ini juga mengobati hutan yang sudah banyak rusak
dari aksi pembakaran. 1 pohon untuk 1 jiwa itu artinya sudah cukup menyerap
karbon yang kamu hasilkan selama setahun.
Masih ada banyak cara lainnya untuk memperlambat pemanasan
global. Kita harus memperlambat pemanasan global termasuk dengan sejumlah
regulasi yang pemerintah berat. Mengubah bumi yang kini panas menjadi dingin
seperti dulu.
Regulasi dalam Mengatur Karbon dan Menjaga Bumi Tetap
Adem
Ada banyak regulasi yang dibuat dalam menekan emisi
karbon termasuk yang selama ini abai yaitu Indonesia. Rencananya pajak karbon
akan dimulai pada 1 April 2022 terhadap sektor pembangkit listrik berbahan baku
batu bara.
Mengapa ke sektor pembangkit listrik berbahan batu bara
terlebih dahulu? Alasan pertama karena peran batu bara dalam pasokan listrik
nasional cukup signifikan. Berdasarkan data yang ada, total kapasitas
pembangkit listrik nasional sekitar 69,6 GW. Dari jumlah tersebut, sekitar
34,37 GW (49,9%) di antaranya merupakan PLTU yang menggunakan batu bara.
Jumlah ini akan turun dari waktu ke waktu karena ada program pemerintah yang akan beralih ke energi ramah lingkungan. Selanjutnya tahun 2025 akan diimplementasikan penuh dengan merambah sektor industri pulp, industri semen dan petrokimia. Nantinya akan terjadi penurunan karbon di tahun 2030, artinya secara berkelanjutan.
Lalu pada perorangan nantinya akan terkena pajak karbon pula berupa pemakaian bahan bakar berbasis karbon atau yang menghasilkan emisi karbon. Obyek pajak karbon adalah bahan bakar fosil dan emisi dari industri serta kendaraan bermotor.
Biaya yang kenakan buat setiap orang atau perusahaan
yaitu sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan
yang setara. Memang menurut saya jumlah ini lebih rendah, namun ini sudah baik
dibandingkan tak ada pajak karbon yang membuat semua pihak leluasa dalam
menghasilkan karbon.
Adanya RUU pajak karbon nantinya akan menjadi cara jitu
terkait dengan sejumlah hal seperti memuat strategi penurunan emisi karbon,
sasaran sektor prioritas, dan keselarasan dengan pembangunan energi baru dan
terbarukan.
Itu sejumlah cara yang kita bisa lakukan dalam menjaga
bumi, buat kita yang jadi generasi muda adalah dengan cara menekan jejak karbon
dari setiap pribadinya yaitu dengan pembatasan F3 yaitu Food, Fashion, dan Fuel
sesuai dengan kebutuhan.
Kini jaga bumi jadi tugas bersama, karena kini suhu dingin
di sekitar bukan datang dari ruangan ber-AC tapi sejuk dan rindangnya pepohonan
sekitar yang menyerap karbon serta mengubahnya jadi karbon dioksida yang makhluk
hidup butuhkan.
Akhir
kata, Have a Nice Days and The earth does not belongs to us, we belongs to
earth
0 komentar:
Post a Comment