Ini
adalah tahun ke-6 kunjungan saya ke KBA Alue Naga. Sempat tidak berkunjung ke
sana selama masa pandemi dan di tahun ini dan lalu kembali ke sana. Melihat
perubahan besar yang terjadi di sana. Sebagai KBA paling ujung yang ada di
Indonesia, KBA Alue Naga seakan memberikan dimensi berbeda akan potensi
besarnya khususnya bidang perikanan.
Sore suasana begitu indah, matahari yang mulai turun ke arah barat dan diiringi desiran ombak. Juah dari hiruk pikuk Kota Banda Aceh yang riuh. Terlihat jelas berbagai jenis perahu merapat di bibir sungai Krueng Aceh yang terkenal dengan sejarahnya, kegigihan masyarakat Aceh dalam mengusir penjajah kala itu.
Alue
Naga punya beragam kisah sejarah dalam perkembangan Aceh hingga saksi bisu
Gempa Bumi dan Tsunami yang hampir 19 silam terjadi. Mengubah drastis topografi
desa setempat, ada banyak daratan yang berubah menjadi laut hingga tambak
terendam air.
Kondisi
desa jangan ditanyakan, hampir sebagian besar penduduknya jadi korban Tsunami.
Butuh beberapa tahun untuk memulihkan Alue Naga. Bahkan bisa dikatakan Alue
Naga jadi daerah terisolir dan tertinggal dibandingkan daerah lainnya yang ada
di Kotamadya Banda Aceh. Jaraknya yang bahkan sangat dekat dengan sejumlah
pusat sentral pendidikan di Aceh.
Sebagai
seorang ahli kelautan, selama ini masyarakat pesisir sering dikesampingkan
khususnya wilayah Pantai tempat mereka tinggal adalah desa nelayan. Acapkali
kali desa nelayan identik dengan kemiskinan, pengangguran hingga kualitas
pendidikan rendah.
Perhatian pemerintah pun kurang, apalagi bila desa tersebut dianggap tidak punya sinar terang yang bisa diberdayakan. Di Alue Naga, harus ada tokoh penggerak yang mampu mendorong mereka bangkit. Tidak menjadi desa miskin yang menjadi target politisi dalam mengumpulkan pundi-pundi suara. Namun menjadi pusat desa perikanan percontohan.
Sebagian
besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak. Para nelayan
setelah lepas malah hari mulai melaut, mempersiapkan peralatan alat tangkap
yang akan dibawa. Mengarungi kerasnya samudra, keesokan harinya mereka sudah
berada di dermaga. Hasil tangkap pun beralih ke tokei bangku yang
membeli dagangan mereka.
Sesuatu
yang terkenal miris, desa pesisir di ujung negeri masih tertinggal dan seakan
diabaikan sejak lama. Padahal dulunya daerah Alue Naga jadi gerbang menyambut
tamu negara saat tiba di Kerajaan Aceh. Warna pudar itu coba kembali
dikembalikan, sekaligus mengubah citra Desa Alue Naga sebagai pusat sentra
perikanan dan menghidupkan geliat ekonomi.
Letak
geografis dari Desa Alue Naga menjadi desa paling ujung di Indonesia yang
diberdayakan Astra. Program ini dikenal dengan istilah Kampung Berseri Astra
(KB). Sudah sejak pertengahan September 2017 Astra memberikan banyak pembinaan
di Gampong Alue Naga, jadi desa ke-65 yang berada di bawah naungan Astra.
Lokasinya
berhadapan langsung dengan Pulau Weh dan berbatasan dengan Desa Kajhu yang
sudah masuk dalam teritorial Aceh Besar. Lokasi yang menarik lagi adalah Desa
Alue Naga jadi pertemuan Samudera Hindia dengan aliran Sungai Krueng Aceh yang
jadi denyut jantung Banda Aceh sejak dulu.
Warna
Baru Alue Naga setelah Gempa Bumi dan Tsunami
Kini
warna-warni denyut kehidupan kembali terasa, ada banyak kapal nelayan yang
tertambat kala petang di sana. Hiasan pohon pinus berjejer di sepanjang jalan,
Desa Alue Naga dan Tibang jadi destinasi baru sembari melihat pantai yang indah
beradu dengan muara Krueng Raya yang melegenda.
Perlahan
tapi pasti terus berbenah menjadi lebih cantik, aksesnya ke sana pun jadi lebih
mudah. Khusus Desa Tibang memberi sensasi bahwa sebelumnya berdiri ratusan
hektar lahan mangrove. Pemerintah pun menyulapnya menjadi Taman Hutan
Kota dan penyerap buangan karbon dioksida. Termasuk menghidupkan kembali sentra
ekonomi masyarakat yang bertopang pada hasil laut.
Geliat
ekonomi dan semangat masyarakat terlihat jelas. Para kaum lelaki yang mayoritas
berprofesi sebagai nelayan siap menyalakan mesin, mencari gerombolan ikan hingga
ujung pulau. Kaum wanita tak mau kalah, mencoba meringankan beban hidup suami
mereka dengan mengumpulkan tiram yang ada hilir sungai.
Menjual
atau mengolahnya menjadi sumber makan kaya protein di dalamnya. Mengembalikan
roda ekonomi khas masyarakat pesisir. Bagi mereka hidup itu terus berjalan
meskipun ada banyak hal getir yang sudah terjadi sebelumnya. Semangat yang
lahir dari masyarakat pesisir.
Petang
jadi waktu yang begitu ramai, di sepanjang jalan dipenuhi pedagang tiram di
setiap kedai kayu. Harganya yang terjangkau menarik perhatian penggemar tiram.
Sejak dulu desa pesisir seperti Alue Naga dan Tibang menjadi desa sentral
produksi tiram yang ada di Kota Banda Aceh.
Tak
dipungkiri bahwa jumlah konsumsi ikan masyarakat Aceh cukup tinggi. Selama ini
kita mengenai makanan laut kaya protein hanyalah ikan dan mengabaikan tiram.
Jumlah yang melimpah bisa jadi alternatif saat harga ikan mahal atau nelayan
tak pergi melaut. Bukan hanya itu saja, lezatnya tiram begitu menggugah selera.
Tiram
menawarkan kelezatan tiada tara, mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Makanan yang selama ini sulit ditolak lezatnya, apalagi kuah tiram
berbalut racikan gulee tirom (kari tiram) khas Aceh Besar.
Potensi
ini jelas membukti Desa Alue Naga bisa bangkit dan menjadi sentra unggulan
dengan membina masyarakatnya khususnya di sejumlah aspek. Butuh penggerak yang
bisa menginisiasikan Alue Naga berubah menjadi jadi percontohan. Astra pun
melihat ini dan tinggal para penggerak yang berani mengimplementasikan idenya
dalam mengelola desa.
Astra
Road Show Aceh, Mempertemukan para Penggagas Apresiasi Negeri
Ada
sejumlah tokoh dan kampung berseri yang sudah diangkat. Hampir semuanya harus
saya datangi ke sana, membuat janji hingga akhir bisa bertemu dengan tokoh
inspirasi hingga menginjakkan kaki ke kampung berseri.
Pengalaman
berharga ini sempat surut saat COVID19 datang, kondisi yang tak memungkinkan
datang ke lokasi dan mengharuskan konsep online meeting. Akhirnya di
tahun 2023, Astra melakukan gebrakan dengan kegiatan Roadshow keliling
Indonesia.
Daerah
paling ujung Sumatera, Aceh akhirnya disinggahi Astra pada Roadshow kali ini.
Menghadirkan dua tokoh inspirasi dalam membangun negeri. Salah satunya adalah
Bang Ichsan Rusydi, salah satu dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Syiah Kuala.
Pada
Roadshow Anugerah Pewarta Astra tahun 2023, beliau bercerita singkat mengenai inisiasi
besarnya dalam memberdayakan desa. Dan Alue Naga adalah desa yang selama in beliau
berdaya. Mencoba mengubah wajah desa tersebut dari desa pesisir miskin menjadi
desa dalam sentra perikanan khususnya tiram.
Mengenal
Bang Ichsan Rusydi telah berlangsung 6 tahun lamanya. Tulisan pertama saya
mengenai Astra juga berkat wawancara beliau mengenai Desa Alue Naga. Beliau
tetap sama, menjelaskan idenya dalam implementasi Kampung Berseri Astra di Alue
Naga. Tentunya berawal dari keprihatinan dan tentunya niat dalam memanusiakan
manusia.
Menyusuri
Potensi Terpendam Tiram di Desa Tibang
Para
wanitanya bukanlah para wanita lemah, ketangguhan perempuan Aceh sudah harum
namanya sejak Laksamana Malahayati. Seorang wanita yang mampu memimpin pasukan
Aceh melawan penjajah dari Portugis. Aura keberanian dan pantang menyerah masih
bergelora pada wanita pesisir Aceh.
Kini
pun sama, wanita Aceh pesisir rela berpeluh keringat dan bermandikan lumpur.
Mencari koloni tiram yang mengendap di dalam lumpur, seakan wajah hitam legam
dibakar terik matahari. Semua itu sebagai penyambung hidup masyarakat nelayan
Desa Alue Naga dan Tibang, Harga jualnya
begitu tinggi dan jadi pekerjaan sampingan para ibu-ibu selepas asar dan ketika
para suami pergi melaut.
Keesokan
harinya, Tiram yang sudah didapatkan kemudian dikupas dan dijual dalam plastik
di persimpangan Jembatan Krueng Cut. Lokasinya berada di pintu masuk desa
mereka, sangat jarang ada yang membelinya langsung ke desa mereka. Selain itu
harga jualnya relatif murah, harga jualnya hanya berkisar dari 7-12 ribu setiap
kantongnya. Tidak setara dengan usaha dalam mengumpulkan tiram seharian.
Sebagai
gambaran, mayoritas wanita menghabiskan waktu hingga 4 jam sehari di dalam
genangan air, jelas ini tak baik bagi kesehatan pencari tiram. Para wanita
pencari tiram bisa terkena berbagai risiko dari kutu air, gangguan reproduksi
hingga bisa mengarah ke kanker serviks.
Ancaman
lain datang dari cemaran sungai Krueng Aceh yang mengancam konsumen
tiram dan kerang. Berdasarkan riset yang telah diteliti, kadar kandungan logam
Kadmium sudah melewat ambang batas. sifat filter feeder pada tiram punya
mampu menyaring partikel organik setelah terakumulasi di dasar sungai.
Bila
konsumen mengonsumsi dalam jumlah banyak dan lama, berdampak pada gangguan
kesehatan serius seperti stroke bahkan kanker. Kedua pihak dirugikan dalam hal
ini pengepul tiram dan konsumen. Harus ada cara yang membuat para pekerja tetap
manusiawi dan pelanggan mendapatkan cita rasa tiram terbaik khas Alue Naga
Potensi
besar ini jadi berkah andai saja dioptimalkan melalui teknologi tepat guna.
Hingga akhirnya salah seorang Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah,
Ichsan Rusydi mencoba terobosan baru dalam mendapatkan tiram dengan mudah
higienis.
Solusi
Memindahkan Pencari Tiram ke Rumah Tiram
Kehadiran
Astra di Desa Alue Naga sejak 2017 seakan memberikan kesempatan terutama dalam
memecahkan masalah ada di masyarakat setempat. Sebagai wujud desa, ada banyak
pilar yang bisa diwujudkan terutama buat kesejahteraan masyarakat.
Ide
awal yang tercetus dalam pengembangan Alue Naga tentunya memperbaiki sistem mata
pencaharian masyarakat setempat. Seperti yang disinggung penulis di awal,
mencari tiram cara sebelumnya sangat tidak aman hingga akhirnya dipilih metode
baru berwujud floating culture
Inovasi
dilakukan dengan teknologi floating culture atau lebih dikenal dengan
budidaya tiram secara terapung. Selama ini floating culture yang
digunakan masih mengandalkan material sederhana yaitu penyangga berbahan bambu.
Digantikan dengan pipa paralon HDPE yang sudah diisi material semen padat,
supaya proses penanaman di dasar perairan berlangsung mudah dan pipa tidak
bengkok diterjang arus pasang surut di bendungan.
Alhasil
setelah proses pemindahan, kandungan ambang batas logam berat pada tiram turun.
Tiram yang berhasil panen pertama kali di rumah produksi tiram langsung di uji
laboratorium. Hasilnya cukup melegakan, angka Timbal yang sebelumnya ada di
angka 0,04 menjadi 0,01 dan Kadmium dari 0,98 turun menjadi 0,01. Angka
tersebut sudah berada di batas aman konsumsi dan higienis untuk dikonsumsi
konsumen penggemar tiram.
Setelah
proyek ini berhasil, masyarakat yang sebelumnya skeptis pun tertarik dengan
konsep tersebut. Dinilai lebih efisien terutama menggunakan pipa paralon.
Selama ini masih mengandalkan batang bambu yang rentan rusak. Selain konsepnya
terlihat futuristik bagi siapa saja yang melintas ke desa mereka.
Konsep
Modern Rumah Budidaya Tiram di KBA Alue Naga
Selama
ini rumah tiram yang berdiri berbahan material bambu. Warna tak lama menguning
dan kemudian perlahan rapuh terendam air payau. Awal mula estimasi usia bambu
bisa bertahan 2 tahun, nyatanya 6 bulan sudah mulai tak layak. Rumah tiram yang
baru saja panen seakan perlahan mulai lapuk karena pendeknya usia bambu.
Belum
lagi untuk mendapatkan bambu pun tergolong sulit. Harganya pun hingga Rp40.000
setiap batangnya dan masyarakat harus mencarinya hingga ke Blang Bintang, Aceh
Besar. Material bambu pun kurang kokoh beban ban yang digantung di atasnya.
Pada beberapa sisi mengalami penurunan drastis bahkan cenderung ambruk. Serta serpihan
bambu bisa saja menusuk anggota tubuh pencari tiram.
Bila
dihitung-hitung, biaya menggunakan pipa paralon HDPE tak jauh beda. Biayanya
memang lebih mahal, tapi dijamin bisa tahan hingga 5-6 tahun sebelum diganti.
Sebelumnya beliau memperlihatkan bagaimana mekanisme pembuatan proyek rumah
tiram. Warga pun terperangah dan ingin mencobanya, menggantikan bambu-bambu
kusam yang ada di lokasi rumah tiram milik mereka.
Proses
pembuatannya pun tergolong mudah, terlebih dahulu memilih lokasi pembuatan
rumah tiram. Lokasi pilihan ada di bendungan Desa Alue Naga yang berbatasan
dengan Desa Tibang. Bendungan tersebut dulunya adalah bekas bendungan Banjir
yang dibangun saat masa Banda Aceh sering terjadi banjir.
Kini
fungsi tidak ada dan hanya sebagai lokasi menambat kapal dan masukan air laut.
Lokasinya yang tidak terkoneksi dengan Krueng Aceh membuat lokasi bendung
dianggap cukup strategis. Selain terhindar dari pencemaran yang berasal dari
hulu, para pengepul tiram lebih mudah dalam proses panen tiram.
Melihat
Proses Pembuatan Rumah Budidaya Tiram
Awal
mulanya pipa paralon yang sudah diangkut menggunakan sampan. Ada sejumlah
pekerja dari masyarakat sekitar, pada proses pemasangan membutuhkan 4-5 orang
dewasa. Mereka siap menanam pipa beton ke dasar bendungan. Waktu yang dipilih
umumnya jelang petang hari. Saat air di bendungan mulai surut dan proses
pemasangan relatif mudah.
Tugasnya
mulai dari menyedot air di sekitar lokasi tiang pancang, memasukkan pipa ke
dasar bendungan serta membawa pipa menggunakan sampan. Proses pengerjaan kata
beliau memakan waktu hingga dua hari, tergantung hingga fondasi sudah cukup
kuat. Lalu tinggal bagaimana menyambungkan antara setiap tiang dengan tiang
lainnya. Ini harus cukup kuat dan presisi, nantinya di setiap ruang tiang akan
disangkutkan rumah tiram dari ban bekas.
Proses
menggunakan ban bekas juga dibagi, apakah memakan bagian luar dari ban atau
bagian dalam. Media ban nantinya akan melekat koloni tiram. Butuh waktu sampai
enam bulan hingga masa panen tiba. Waktu yang cukup lama tapi menurut Ichsan,
andai saja ada begitu banyak rumah tiram. Proses panen bisa dilakukan setiap
harinya.
Warga
pun tak perlu lagi mencari tiram di sepanjang Krueng Aceh atau areal
lainnya, Cukup dengan naik sampan, tiram bisa langsung diangkat dan dipanen
kemudian dibawa pulang ke rumah.
Setelah
jadi, sesuatu yang sangat diperhatikan oleh Bang Ichsan dalam pengembangan KBA
Alue Naga. Asumsinya bila dalam satu unit rumah tiram terdapat lebih dari 4.000
unit ban bekas lokasi koloni tiram. Modal yang dikeluarkan setiap ban kisaran
Rp10.000 yang berarti 40 jutaan. Setiap harinya dilakukan proses pemasangan
10-15 ban bekas, dalam setahun total ada 4.000 unit ban yang terpasang.
Saat
musim panen, siklusnya pun berputar karena setiap ban akan panen. Asumsinya
bila di dalam satu ban mampu menghasilkan empat kaleng susu (setara 250 gram)
dengan harga jual Rp10.000. artinya masyarakat mendapatkan Rp40.000/ban dan itu
sudah cukup menguntungkan karena setiap 1.000 ban sudah mampu mengembalikan
modal peternak tiram.
Tak
berhenti di situ saja, itu baru jalan kecil dalam merajut sentra pengembangan
ekonomi tiram melalui Rumah Produksi Tiram. Ini bisa melahirkan sentra unggulan
lainnya yang bisa dimajukan seperti pengembangan pusat perikanan tiram,
penelitian hingga sentra UKM olahan dari tiram.
Astra
dan Mimpi Masyarakat KBA Alue Naga
Kehadiran
Astra di Alue Naga barulah seumur jagung namun berdampak besar pada
perekonomian masyarakat setempat.
Kampung
Berseri Astra (KBA) punya tujuan mengubah Alue Naga menjadi desa yang asri dari
lingkungan, masyarakat yang cerdas, sehat, dan punya sentra ekonomi yang
mumpuni. Ada empat pilar yang dibangun dari CSR Astra yaitu sentra pendidikan,
UMKM, lingkungan, dan kesehatan. Elemen tersebut akan terus dilakukan semenjak
awal mula Astra berpijak di Desa Alue Naga.
Dampak
pilar yang dirasakan masyarakat setempat saat Astra hadir di Desa Alue Naga.
Namun Astra tidak bisa bergerak sendiri karena ada peran banyak pihak di sana. Salah
satunya datang dari Kampus Kelautan dan Perikanan yang mewakili Universitas
Syiah Kuala.
Hadirnya
kampus seakan menjadi sarana belajar dan mengabdi pada masyarakat sekitar. Selama
ini mahasiswa sering mengadakan kegiatan yang jauh dari kampusnya. Namun sering
mengabaikan desa-desa yang bisa saja membutuhkan perhatian lebih.
Sebagai
desa pesisir, FKP punya andil dalam mengajak mahasiswa dalam Visit Kampung
Berseri Astra Alue Naga. Namun pihak kampus juga mengajak pihak fakultas
lainnya dalam membagikan ilmu dan pengalamannya dalam peningkatan sejumlah
pilar di Alue Naga.
Membangun
sentra pendidikan di Jantung Alue Naga
Menciptakan
Semangat Belajar dan Sentra Pendidikan untuk Anak-anak Alue Naga Desa Alue Naga
tertinggal banyak hal dibandingkan desa lainnya yang ada di Kota Banda Aceh.
Seakan ada sekat besar yang memisahkan Alue Naga dengan desa lainnya. Sudah
letaknya di ujung, lalu terkucil dari dunia luar.
Hanya
ada sekolah di sana yaitu SDN 72, telah berdiri sejak 1985 dan menjadi saksi
bisu terjangan Gempa Bumi dan Tsunami. Sebelumnya namanya adalah SDN 100 dan
kini beralih menjadi SDN 72 yang berada di bawah kemendikbud Kotamadya Banda
Aceh.
Untuk
akses sekolah di Desa Alue Naga sangat terbatas, hanya sejumlah sekolah yang
tersedia saja. Level jenjang pendidikan hanya dari TK, SD, dan SMP. Sedangkan
jenjang lebih tinggi mengharuskan anak-anak untuk sekolah ke desa lain.
Namun
sekolah itu diisi oleh orang-orang tangguh. Salah satunya Kepala Sekolah SDN
72, Dra. Kasiyem. Beliau menuturkan banyak hal dari kegundahan masyarakat
sekitar akan keberadaan sekolah. Banyak anak-anak di desa tersebut harus
sekolah dari kampung. Menempuh puluhan kilometer untuk bisa menuntut ilmu.
Kehadiran sekolah ini 2 tahun lalu jadi secercah harapan menuntut ilmu menjadi
lebih dekat di desa sendiri.
Sekolah
tersebut tersebar di bagian barat dan timur dari Desa Alue Naga. Bila salah
satu masyarakat ingin bersekolah ke sekolah di seberang sungai. Mereka harus
memutar sangat jauh, melewati jembatan Krueng Cut. Artinya waktu tempuh
jadi lebih jauh dan lama, mengakibatkan orang tua lebih memilih menyekolahkan
anaknya ke desa sebelah.
Namun
semangat tidaklah padam. Berkat dukungan CSR Astra pada KBA Alue Naga. Hadirnya
beasiswa setiap semester kepada anak-anak setempat. Beasiswa ditujukan kepada
anak yang kurang mampu serta yatim piatu. Bantuan peralatan sekolah juga
mendukung aktivitas belajar mereka. Berbagai peringatan hari besar turut serta
dalam kegiatan Astra, misalnya saja memperingati hari kemerdekaan RI.
Bantuan
peralatan sekolah juga mendukung aktivitas belajar mereka, jumlahnya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ini ada sebanyak siswa yang
mendapatkan bantuan tersebut, dan orang tua wali adalah orang paling senang dan
antusias dalam sesi penyerahan bantuan tersebut.
Bukan
hanya sekolah saja, ada sejumlah balai pengajian berdiri di Alue Naga. Supaya
anak-anak desa setempat bisa membangun nilai religiusnya, supaya tahu arah
agama dan buta huruf Al-Quran, Pengajian biasa dilangsungkan di balai pengajian
setelah lepas salat Magrib. Alunan bacaan Al-Quran terdengar sangat syahdu di
Desa Alue Naga.
Lalu
jauh di seberang sana kami menemukan sekolah tahfidz Quran. Ada puluhan santri
yang tersebar di seluruh Aceh tinggal di sana, menghafal Quran dan mentadabburi
setiap ayat setiap pagi dan petang. Pesantren tersebut diberi nama: Dayah Mini
Alue Naga. Secara kasat mata, dayah tersebut
jauh dari kata cukup.
Ada
banyak calon penghafal Quran potensial yang bisa lahir dari sana, umumnya
mereka adalah anak yatim piatu. Astra coba hadir di sana, salah satnya
membangun konsep Bioflok terutama budidaya ikan.
Sekaligus
membantu juga beramal, hasil panen ikan tersebut bisa dijadikan lauk buat para
santri di sana.
Mempersiapkan
kemandirian warga dalam balut UMKM
Pendidikan
yang baik akan merangsang masyarakat berpikir lebih jeli dalam membangun
ekonomi. Harapan ini adalah dengan mengembangkan UMKM masyarakat yang
berkelanjutan. Salah satu pilihan tersebut ada pada pengembangan tiram.
Bila
dahulunya para wanita di Desa Alue Naga harus turun ke tambak atau bahkan lahan
mangrove. Terik matahari, serpihan pecahan cangkang tiram yang menusuk
tangan dan kaki hingga tubuh yang mati rasa terendam lama di air asin.
Kini
mereka tak perlu lagi harus menyusuri Sungai Krueng Aceh untuk bisa
mendapatkan tiram. Sudah ada rumah produksi tiram yang terbuat dari ban bekas memudahkan
para pengepul dalam memanen tiram. Lebih hemat waktu dan tenaga serta
terpenting membuat mayoritas pengepul tiram yang berasal dari kaum ibu aman
dari rendaman air muara.
Dalam
meningkat daya dan mutu, tiram yang dijual saat ini harus melalui proses
pengolahan lebih. Selain harga jualnya lebih mahal, ini juga merangsang kreativitas
dan inovasi atas produk unggulan tiram. Selain itu tiram yang dijual jadi
harganya murah dan mudah sekali rusak karena terpapar dengan lingkungan sekitar.
Kini
saatnya membenahi hasil tangkap tiram menjadi sentra ekonomi yang
menguntungkan. Mengolahnya menjadi berbagai pangan dan makanan bernilai tinggi.
Salah satunya menjadi keripik tiram, nugget tiram, jamur tiram hingga
beragam olahan. Ini tentu saja meningkat kualitas dan daya saing produk.
Saya
pribadi yang bekerja sebagai pendamping UKM merasakan dampak tersebut dalam
pengembangan UMKM di Alue Naga. Ada banyak nama besar yang telah berkembang
dalam merintis usaha tiram. Mulai dari Kak Maryati yang terkenal dengan kerupuk
tiramnya.
Kerupuk
tiram Kak Mar sudah memiliki branding dan kemasan yang sangat baik.
Seakan tidak menggambarkan itu adalah usaha rumahan yang dibuat secara
kecil-kecilan. Kini beliau ingin memperluas pangsa pasarnya ke supermarket yang
ada di Kota Banda Aceh.
Kini
ada pemain baru yang berhasil merintis sukses seperti halnya Kak Mar. mereka
datang dari kalangan mahasiswa yang melihat potensi besar serupa. Hadir dengan
beragam produk tak kalah menarik mulai dari kerupuk tiram, nugget tiram,
nasi bakar tiram, pepes tiram, kari tiram, dan tiram mentah.
Memiliki
branding yaitu Kiboy Food. UKM Kiboy Food bekerja sama dengan pengepul tiram
setempat dalam hal pengadaan stok tiram. Tentunya hadirnya produk unggulan
mampu meningkat taraf hidup masyarakat setempat.
Selain
itu kini, di Alue Naga sudah berdiri Rumah Pengolahan Tiram, diresmikan di awal
tahun 2020. Tentunya kehadiran dari Rumah Pengolahan Tiram mampu mengajarkan
ibu-ibu setempat. Tiram yang kaya gizi kini bisa dikenal luar dan jadi sentra
unggulan di Desa Alue Naga. Apalagi dengan adanya tempat pengolahan, ini
membuat para pengepul bisa mengolah tiram menjadi olahan yang lebih berharga
dan tahan lama.
Astra
pun juga meningkat sejumlah pengaruh pada pilar kewirausahaan. Tahap pertama
adalah dengan melakukan proses penguatan kapasitas BUMDes setempat dan
Penyusunan laporan keuangan. Ini berguna dalam para nelayan bisa melaksanakan
tata kelola keuangan yang baik. Melibatkan sejumlah mahasiswa dalam membantu
para nelayan dalam peningkatan kapasitas.
Tak berhenti
di situ saja, gebrakan lanjutan hadir dengan peningkatan kualitas produk.
Hadirnya Rumah Pengolahan Tiram dirasa mendukung dalam peningkatan kemasan yang
baik. Para masyarakat setempat dilatih dalam proses pengemasan
yang baik agar produk bisa bertahan lama.
Potensi
Wisata Alam dalam Menciptakan Lingkungan Asri
Dulunya
saat terbesit daerah pantai sekitar Kota Banda Aceh, langsung terbesit
dengan menjulangnya pepohonan mangrove. Ada beragam spesies yang
menutupi setiap rawa asin itu, menjadikan sebuah habitat bagi makhluk yang
hidup di sana. Masyarakat memanfaatkannya dengan membuat tambak yang
menghasilkan sentra perikanan.
Musibah
tsunami seakan merusak itu semua, seakan menyisakan tanah gersang yang panas.
Hembusan angin laut kadang sampai ke jantung kota. tak ada lagi penangkal
seperti dulu dari pohon mangrove. Tapi kini gersang itu mulai memudar,
lahan yang menjadi lokasi hutan mangrove mulai ditanami pohon mangrove
dari beragam spesies.
Aksi
mahasiswa dan solidaritas pecinta lingkungan cukup banyak andil dalam aksi
tersebut. Paling baru adalah aksi penanaman mangrove dari pihak Astra
yang melibatkan mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah
Kuala.
Peran
mangrove dianggap begitu sentra, selain sebagai tembok alam dari cuaca
buruk, ia punya peran menyerap begitu banyak karbon yang dihasilkan kota. Mengubah
kandungan karbon menjadi oksigen sekaligus menjaga suhu kota tetap stabil.
Di masa
depan, mangrove yang beranjak besar bisa menjadi lokasi objek wisata.
Ada banyak biota khas Hutan Mangrove yang hidup di sana. Jelas ada peluang
wisata yang bisa dihadirkan pengelolaan Hutan Mangrove.
Tak berhenti
di situ saja, Alue Naga terkenal dengan masyarakat nelayan. Lokasi mereka
seakan terisolir dengan masyarakat nelayan lainnya. Ini seakan menghadirkan
keunikan dari hal mempelajari kebiasaan masyarakat nelayan seperti tradisi
melaut bagi kaum bapak dan tradisi mengumpulkan tiram bagi kaum ibu.
Kesehatan,
Kebutuhan yang Sering diabaikan di Masyarakat Pesisir
Masyarakat
pesisir sering dianggap tidak memperhatikan aspek kesehatan. Terutama sekali
buat para petani tiram, mencuci tangan bisa menghindarkan kulit dari penyakit
kulit. Sesuatu penyakit yang sering menimpa mereka.
Alasan
tersebutlah yang mendorong pengurus KBA Alue Naga bekerja sama dengan berbagai
pihak. Di
Desa
Alue Naga telah tersedia puskesmas dan posyandu dalam melayani masyarakat
sekitar. Kegiatan yang sudah menjadi agenda wajib adalah imunisasi kepala
balita yang dilangsungkan setiap hari Senin. Pada proses sosialisasi tersebut
melibatkan pihak dinas terkait yang berasal dari Kota Banda Aceh.
Posyandu
dianggap punya peran penting dalam menciptakan generasi bebas Stunting. Selama
ini, Stunting identik dengan masyarakat kelas bawah. Apalagi masyarakat yang
datang dari desa nelayan pesisir, potensi Stunting cukup besar. Hadirnya posyandu
menjadi titik kontrol setiap para ibu dan anak mendapatkan gizi yang cukup.
Serta meningkatkan kualitas SDM di masa depan.
Pada
proses ini Astra yang membantu berbagai peralatan pendukung yang ada di
puskesmas. Kegiatan posyandu rutin dilaksanakan dengan agenda penimbangan berat
badan balita, pengukuran lingkar kepala dan pemberian vitamin. Diadakan juga
penyuluhan kesehatan seperti bagaimana cara mencegah demam berdarah dan lainnya.
Astra
juga peduli pada lansia yang ada di KBA Alue Naga, wujudnya kegiatan yang
melibatkan mahasiswa keperawatan USK. Kegiatan dalam pemantauan para lansia terutama
pemeriksaan kesehatan rutin. Beragam penyakit diperiksa salah satunya Diabetes
Mellitus, ini bertujuan agar para lansia bisa peduli mengontrol gula.
Program
serupa hadir juga ke sekolah, salah satunya Gebrakan POPABES (Pondok Pesantren Bebas
Scabies). Ponpes identik dengan penyakit ini, hal serupa
dilakukan khususnya dalam edukasi pada para santri di Dayah Mini Aceh.
Edukasi
hidup sehat dan bersih bertugas para santri yang jauh dari para orang tua bisa
terhindar dari Scabies. Serta program ini membuat para pemilik Ponpes peduli
dalam sanitasi yang melibatkan puluhan hingga ratusan santri. Proses belajar
nantinya berjalan optimal bila semua santri sehat dan kuat.
Alue
Naga, Kepedulian Astra pada Desa di Ujung Negeri
Astra
pun tak salah memilih Alue Naga menjadi kampung berseri. Setelah lama bermesra
sejak 2017, ada banyak pilar yang dibangun. Bermula dari peningkatan SDM
masyarakat, berlanjut pada pengembangan Rumah produksi tiram. Tahap produksi
hingga kini sudah beranjak pada sejumlah aspek lainnya.
Waktu
yang sudah berjalan hampir 6 tahun berjalan sangat singkat. Kini ada banyak
perubahan di Alue Naga. Bermula hanya sebuah desa pesisir di Ujung Banda. Kini ia
mencoba mengubah jati dirinya menjadi lokasi sentra perikanan unggulan.
Salut
dengan para pejuang di belakang layar yang mampu mengangkat citra Alue Naga.
Waktu dan tenaga mereka sisihkan. Serta menjadikan Alue Naga jadi Kampung Asri
percontohan yang ada di Aceh. Setelahnya lahir KBA lainnya di sejumlah wilayah,
pemicunya hanya satu: Komitmen orang di belakang layar seperti Bapak Ichsan
Rusydi, Tgk Jamaika, hingga pihak kampus.USK.
Astra
tidak salah menunjukkan mereka dan hasil jerih payahnya
terbayar sekarang. Alue Naga dulu tidaklah sama. Kini ia punya Asri di depan
namanya seperti tumbuhan cemara yang teduh saat pergi ke sana.
Semoga
tulisan ini menginspirasi kita semua akan kepedulian pada desa lainnya yang ada
di tanah ibu pertiwi. Alue Naga hanya satu dari ribuan desa lainnya yang layak
diberdayakan.
#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia
0 komentar:
Post a Comment