Sunday, August 25, 2024

Alam yang Terluka Akibat Ketidakseimbangan Biodiversitas

  

Memasuki pertengahan tahun, hawa panas seakan kembali datang. Memberikan efek sengat yang makin tahun makin panas. Bergumul di siang hari adalah pengalaman tak mengenakkan. Keluar rumah jadi malas, malam pun harus ditemani oleh kipas angin atau pun AC.

Itulah hal yang dirasakan masyarakat Indonesia untuk saat ini, Fenomena gelombang panas sebenarnya belum selesai, itu baru dampak awal. Ada beragam bencana lanjutan yang terjadi akibat iklim yang berubah dengan drastis

Gelombang panas nyata memberikan efek kejut, dimulai dengan kekeringan di mana-mana hingga kebakaran hutan yang tak bisa dielakkan. Langit yang mulainya berwarna biru di siang hari berubah menjadi pekat dan berubah menjadi kelabu di malam hari.

Kerinduan pada bintang-bintang serta rembulan seakan harus ditunda, alam melarang manusia melihat itu semua. Akibat tingkah laku segelintir pihak yang mencoba merusak alam secara perlahan-lahan. Rasanya itulah yang terjadi saat ini. Kita lebih sering melihat bencana alam yang disebabkan keteledoran manusia dibandingkan berita lain di media.

Salah satu dampak yang paling mencolok dari pemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata bumi yang sudah mencapai 1,5°C, sebagaimana dilaporkan oleh IPCC. Perubahan iklim ini dipicu oleh emisi gas rumah kaca yang terus meningkat, dan diperkirakan suhu global bisa melampaui ambang batas 1,5°C pada tahun 2040 jika tidak ada tindakan nyata untuk mengurangi emisi tersebut. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena berpotensi menaikkan suhu bumi lebih lanjut.

Dampaknya sangat luas, termasuk naiknya permukaan air laut yang secara otomatis mengancam keberadaan kota-kota yang terletak di pesisir pantai dan sepanjang aliran sungai. Selain itu, kehidupan di laut pun terancam dengan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching), yang disebabkan oleh peningkatan kadar keasaman laut sebagai akibat dari naiknya suhu bumi.

Terumbu karang yang biasanya berfungsi sebagai pelindung alami bagi ekosistem laut akan menghilang, meninggalkan perairan lebih rentan terhadap gelombang besar. Kehancuran ekosistem terumbu ini juga berdampak buruk bagi nelayan, yang akan semakin kesulitan untuk mencari ikan akibat rusaknya habitat ikan.

Isu ini seakan mengancam keduanya, apakah itu manusia atau biodiversitas di sekitarnya. Tinggal bagaimana saat manusia merasakan atas akan yang ia perbuat membuat ia susah tinggal dunia. Sumber makanan terbatas, biota banyak yang hilang, bencana alam di mana-mana hingga tentu saja tidak bisa melihat warna hijau dan biru lagi. Semua berubah menjadi kuning gersang dan putih pekat mengangkasa.

 

Chapter 1: Film Dokumenter dalam Menggambarkan Dunia

Mungkin saat kecil, tayangan paling seru untuk saksikan adalah National Geographic. Tontonan beragam satwa di kala pagi dan siang, seakan kualitas gambar yang dihasilkan sangat memukau. Melihat kawanan singa sedang memburu para rusa, atau aksi paus besar yang sedang menangkap plankton di dalam kumpulan air, lalu ia menyemburkan air dari corong hidungnya.

Tayangan ini menghiasi hidup anak-anak seperti saya. Rasanya cukup memukau melihat biodiversitas alam, mereka punya kehidupan sendiri dalam wujud rantai makan. Selain itu juga, dipertontonkan aksi berupa hewan bermigrasi. Melawan alam yang ganas hanya untuk tujuan hidupnya. Ikan yang berenang ribuan mil atau kawanan hewan yang mencari sumber air saat kekeringan melanda.

Seakan semua itu harus kita jaga, saat alam mulai terganggu nasib mereka akan berubah. Tak ada lagi rantai makan, tak ada lagi migrasi besar-besar atau bahkan habitat mereka hanya berupa tayangan video. Inilah yang terjadi saat alam mulai rusak

Chapter 2: Melihat Film Dokumenter Kini, Kerusakan Alam

Masa kecil itu sudah berlalu cukup lama, kini tibalah saat dewasa. Tayangan yang saya saksikan di masa kecil seakan berubah. Genrenya kini lebih bagaimana hewan dalam alam melawan manusia. Musuh yang sebelumnya adalah rantai makanan tertinggi kini datang dari makhluk yang diciptakan paling pintar di muka bumi bernama: manusia.

Film dokumenter kini bercerita dengan kisah berbeda, isu paling hangat tentu saja kerusakan alam. Perlahan tapi pasti para predator seakan kebingungan. Rantai makanan mereka rusak, kini mereka mencoba mencari mangsa yaitu manusia. Konflik tak terhindarkan, alhasil sang predator harus merenggang nyawa.

Permasalahan tak berhenti di sini saja, alam yang rusak seakan memberikan daya balas serupa. Banjir, tanah longsor hingga angin kencang silih berganti saat musim hujan tiba. Namun saat kemarau tiba, mereka seakan menyiksa bumi dengan puasa panjang tanpa air. Sumber air menghilang tak bersisa, manusia seakan berharap ada secercah awam pembawa hujan datang. Tapi yang datang hanya angin yang membawa hawa panas. Ibarat neraka kecil yang diciptakan sendiri karena ulah manusia.

Setiap scene seakan menyadarkan manusia kini, alam membuat manusia hidup sedangkan saat manusia mengabaikan biodiversitas di dalamnya. Seakan manusia sedang tinggal di planet merah bukan planet hijau biru bernama bumi.

Chapter 3: Kemunculan Virus Purba Mematikan

Ketika berbicara tentang wabah dan pandemi, fokus kita sering kali hanya pada aspek medis. Padahal, ada faktor-faktor lain yang turut berperan, salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Banyak wabah zoonosis, yang berasal dari hewan dan kemudian menular antar manusia, dipicu oleh interaksi manusia dengan satwa liar. Sejak zaman dulu, manusia sudah terbiasa berburu binatang liar, yang sering kali membawa bakteri dan virus yang bisa menular ke manusia.

Penyakit-penyakit ini bisa menyebar ketika seseorang mengonsumsi satwa liar dan kemudian menularkannya ke orang lain. Akibatnya, banyak yang jatuh sakit, dan beberapa bahkan meninggal dunia. Wabah pun mulai menyebar. Tak hanya dari satwa liar, virus juga bisa berasal dari hewan peliharaan yang hidup dekat dengan manusia.

Di era modern, satwa liar biasanya hidup terpisah dan jauh dari manusia. Namun, deforestasi yang masif memaksa hewan-hewan ini mendekati manusia, yang pada akhirnya meningkatkan risiko penyebaran virus baru. Banyak dari virus ini berasal dari spesies yang langka atau hampir punah—populasi mereka terus menurun akibat eksploitasi manusia.

Contohnya, di Asia Tenggara pada 1990-an, virus Nipah menyebar dari kelelawar pemakan buah yang masih dikonsumsi oleh beberapa masyarakat pedalaman. Virus ini memiliki tingkat kematian hingga 75% dari kasus yang dilaporkan, meskipun berhasil dicegah sebelum menjadi pandemi global.

Menurut laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), 60% penyakit menular pada manusia berasal dari hewan. Angka ini meningkat menjadi 75% jika memasukkan varian penyakit baru. Penyakit-penyakit ini jauh lebih berbahaya dan mematikan, dan sebagian besar muncul dalam beberapa dekade terakhir.

Hewan-hewan yang berbagi virus dengan manusia umumnya adalah spesies langka atau yang hampir punah, dengan populasi yang terus berkurang dan kehilangan habitat akibat aktivitas manusia. Selain itu, kebiasaan sebagian masyarakat yang mengonsumsi makanan ekstrem, termasuk satwa liar, mempercepat perpindahan virus dari hewan ke manusia.

Beberapa virus yang terkenal seperti Ebola berasal dari kelelawar pemakan buah, HIV dari simpanse di Afrika, flu burung dari unggas, Zika dari nyamuk di hutan hujan Brasil, MERS dari unta di Semenanjung Arab, dan tentu saja SARS yang berujung pada Covid-19 yang berasal dari kelelawar.

Munculnya penyakit-penyakit zoonosis ini sering kali terkait dengan perubahan lingkungan atau gangguan ekologi akibat ulah manusia. Misalnya, penggundulan hutan untuk lahan pertanian, pembakaran hutan, dan penghilangan sumber makanan satwa, semuanya berkontribusi pada penyebaran penyakit baru.

Dampak dari perubahan ini tidak hanya dirasakan di satu wilayah, tetapi meluas ke seluruh dunia. Satwa liar semakin berkurang jumlahnya dan bahkan mendekati kepunahan, sementara manusia terkena dampak tak terlihat, yaitu munculnya penyakit-penyakit baru.

Salah satu penyebab utama masalah ini adalah deforestasi. Hutan ditebang untuk membuka lahan pertanian atau peternakan intensif, mengusir satwa liar dari habitat mereka dan memaksa mereka berinteraksi dengan manusia. Saat itulah, benturan antara manusia dan satwa liar terjadi, dan sering kali hewan peliharaan menjadi jembatan bagi perpindahan patogen dari satwa liar ke manusia.

Ketika hewan-hewan ini tertangkap, dipelihara, atau bahkan dikonsumsi, virus baru bisa saja muncul dan dengan cepat menyebar. Inilah yang terjadi pada akhir tahun 2019 ketika pasar hewan di Wuhan menjadi sumber penyebaran virus yang memaksa kita untuk menjaga jarak sosial selama lebih dari dua tahun. Kini kita bisa kembali bernapas lega tanpa harus masker.

Harus diingat, pengalaman memilukan tersebut nyata dikarenakan karena virus yang terpapar akibat lingkungan yang rusak. Bisa dibayangkan ada ribuan virus lainnya yang sudah lama tersimpan di dalam es beku jutaan tahun lalu. Ini mendadak muncul dan kemudian menginfeksi jutaan manusia.

Indonesia, Negara yang Rentan Kerusakan Biodiversitas

Bangganya Indonesia dengan segudang biodiversitas, namun itu membuat peluang ia rusak dengan cepat. Didukung dengan masyarakat yang masih punya kesadaran rendah dalam menjaga alam. Bila biodiversitas kita rusak, jelas kita sangat dirugikan. Sebagai negara yang mengandalkan sumber hayati, rusaknya alam petaka dalam keberlangsungan masyarakat Indonesia bahkan dunia.

Sebagai gambaran, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, namun tantangan besar juga menyertainya. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2017, sejumlah spesies satwa di negeri ini berada di ambang kepunahan. Beberapa di antaranya adalah harimau Sumatera, gajah Sumatera, badak, banteng, owa, orang utan, bekantan, komodo, jalak bali, maleo, babi rusa, anoa, elang, tersitus, dan monyet hitam Sulawesi.

Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan biodiversitas yang menonjol. Dalam hal jumlah spesies mamalia, Indonesia berada di peringkat pertama dunia dengan 515 spesies, dan juga memimpin dalam jumlah spesies palma dengan 400 spesies.

Selain itu, Indonesia menempati peringkat ketiga untuk reptil dengan lebih dari 600 spesies, peringkat keempat untuk burung dengan 1.519 spesies, dan peringkat kelima untuk amfibi dengan 270 spesies. Angka-angka ini bisa saja terus bertambah seiring dengan penemuan spesies baru yang belum sepenuhnya terdokumentasi.

Namun, keberadaan satwa-satwa ini dalam jumlah yang sangat terbatas, rata-rata kurang dari 2.000 individu per spesies, menandakan ancaman yang serius. Komodo menjadi pengecualian dengan populasi yang tercatat sebanyak 5.954 ekor pada tahun 2017. Meski demikian, tanpa upaya konservasi yang serius, tak menutup kemungkinan satwa-satwa ini akan benar-benar punah di masa depan.

Keragaman biodiversitas Indonesia juga tercermin dari beragam ekosistem yang ada di dalamnya, seperti ekosistem pantai, hutan bakau, padang rumput, hutan hujan tropis, air tawar, laut, sabana, dan banyak lagi. Masing-masing ekosistem ini menyimpan biodiversitas yang khas dan menjadi rumah bagi spesies endemik

Di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, Indonesia memiliki tumbuhan endemik yang unik, yaitu Rafflesia. Tumbuhan langka ini tumbuh pada akar atau batang tanaman pemanjat sejenis anggur liar yang dikenal sebagai Tetrastigma.

Namun, di wilayah Indonesia bagian timur, jenis tumbuhannya berbeda. Hutan-hutan di sana, mulai dari Sulawesi hingga Papua, dikenal sebagai hutan non-Dipterocarpaceae, yang memiliki karakteristik berbeda dari hutan-hutan di bagian barat Indonesia.

Hutan-hutan di wilayah timur ini didominasi oleh pohon-pohon berukuran sedang, seperti pohon beringin dan matoa. Pohon matoa sendiri adalah tumbuhan endemik yang hanya ditemukan di Papua. Sementara itu, keanekaragaman fauna di Indonesia juga menunjukkan perbedaan yang mencolok antara kawasan barat dan timur.

Hewan-hewan di Indonesia bagian barat, seperti di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, memiliki tipe fauna yang dikenal sebagai Oriental, yang ciri khasnya adalah adanya mamalia berukuran besar seperti gajah, banteng, harimau, dan badak. Mamalia berkantung hampir tidak ditemukan di wilayah ini.

Selain itu, kawasan barat Indonesia juga dihuni oleh berbagai jenis primata, seperti bekantan, tarsius, dan orang utan. Beberapa spesies hewan endemik juga ditemukan di sini, seperti badak bercula satu, binturong, monyet, tarsius, dan kukang. Berbagai jenis burung endemik juga menghiasi hutan-hutan di wilayah ini, termasuk jalak bali, elang Jawa, murai mengkilat, dan elang putih.

Sebaliknya, di Papua dan wilayah timur Indonesia lainnya, kita menemukan fauna dengan tipe Australia. Di sini, mamalia berkantung lebih mendominasi, seperti kanguru dan kuskus. Papua juga terkenal dengan burung cenderawasihnya yang indah. Sementara itu, di Nusa Tenggara, terutama di pulau Komodo, terdapat reptil terbesar di dunia, yaitu komodo.

Perbedaan bentang alam Indonesia yang dipengaruhi oleh Garis Wallacea, Garis Weber, dan Garis Lydekker menghasilkan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Faktor inilah yang menempatkan Indonesia, bersama Brazil dan Zaire, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

 

Biodiversitas, Sumber Pangan Indonesia di Kala Paceklik

Sejak dulu nenek moyang kita hidup berdasarkan sumber pangan di sekitar. Mereka berburu di hutan, mencari ikan di laut hingga membuat perangkat di sepanjang sungai. Semua itu bertujuan untuk mempertahankan eksistensi masa depannya.

Saat era bercocok tanam datang, perlahan budaya dari berburu beralih ke sistem ini. Konsep ini juga membuat mereka bisa bertahan hidup lebih lama tanpa harus berpindah-pindah. Tanah yang subur, sungai yang jernih hingga hamparan laut yang luas jadi tumpuan hidup manusia.

Perlahan manusia berevolusi dalam hidup dengan alam, membuat manusia makin terampil dengan membuat sejumlah alat yang menunjang peradabannya. Inilah yang menghadirkan era industri, proses kebutuhan akan pangan kita tak hanya diperuntukkan untuk mereka saja namun ke orang lebih banyak.

Esensi dalam memanfaatkan alam secukup berubah di periode ini. Manusia melihat alam sebagai peluang memperkaya diri. Alam yang mereka punya harus dieksploitasi semaksimal mungkin. Bila dirasa sudah tak layak, saatnya melakukan eksplorasi kembali.

Inilah mula saat banyak biodiversitas di sejumlah tempat terganggu. Hewan endemik dan langka perlahan punah, mereka kalah dengan gerakan masif manusia dalam melakukan ekspansi. Hutan-hutan dibabat habis menjadi lahan pertanian, gunung-gunung yang kaya mineral hasil alamnya menghilang hingga lautan jumlah ikan menipis.

 

Lalu bagaimana nenek moyang bisa bertahan saat paceklik menyerang?

Mereka hidup dengan alam, aspek utama karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau dengan kondisi pertanian yang beragam, negara ini sebenarnya memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Kekayaan ini, sering disebut sebagai "emas hijau," memiliki potensi besar untuk menjadi solusi dari berbagai krisis yang dihadapi bangsa. Sayangnya, potensi ini sering kali terabaikan dan bahkan dilupakan.

Dalam kenyataan saat ini, keanekaragaman hayati Indonesia, baik yang berasal dari hasil alam, tambang, maupun sumber daya lainnya, berada dalam ancaman serius. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya keanekaragaman ini, ditambah dengan dampak perubahan iklim, menyebabkan penurunan produksi dan mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut.

Hadilah beragam hal seperti kepunahan spesies, kerusakan ekosistem, dan penurunan kualitas lingkungan serta sumber daya alam hayati yang terus terjadi harus segera ditangani dengan serius. Jika tidak, kita akan mengalami kerugian yang tak terukur hilangnya keanekaragaman hayati yang memiliki nilai ekologi, ekonomi, dan berbagai nilai penting lainnya.

Dalam konteks sumber daya hayati pangan, Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat persebaran tanaman ekonomi dunia. Bersama dengan kawasan Indo-China, Indonesia menjadi tempat tumbuh suburnya kerabat jenis-jenis liar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebut saja kelapa, sagu, pisang, durian, rambutan, kecipir, temu lawak, dan padi.

Seakan semuanya menunjukkan keanekaragaman yang sangat besar di negeri ini. Potensi ini menunjukkan betapa pentingnya melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia sebagai sumber daya yang berkelanjutan untuk masa depan.

 

Masyarakat Adat Mengelola Hutan dan Menjaga Biodiversitas

Bagi saya pribadi, kerusakan hutan di suatu wilayah didasarkan pada rasa tamak. Melihat potensi hutan yang coba dialihkan menjadi lahan pertanian, perkebunan hingga lokasi tambang. Nyatanya membuat hutan tergerus, biodiversitas di dalamnya mendadak punah. Apalagi cara merusak hutan dilakukan dengan serampangan, cara paling sering digunakan yaitu membakar hutan.

Siapa pun makhluk hidup di dalamnya pasti lari tunggang langgang karena  melihat kepulan asap. Semua sudah membakar tempat tinggal dan harapan mereka, tak jarang terjebak dan mati dalam panasnya api karhutla.

Mereka yang harus dilestarikan dalam menjaga biodiversitas adalah masyarakat adat. Namun kini eksistensi mereka perlahan tergerus dengan zaman. Perlahan tapi pasti, kehadiran mereka mulai memudar, wilayah-wilayah mereka terampas sedikit demi sedikit, menyisakan hanya kenangan akan lahan yang dulu menjadi milik mereka.

Keberadaan masyarakat adat menjadi perhatian penting, mengingat jumlah mereka yang signifikan di seluruh nusantara. Tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah berbagai gangguan yang menyebabkan populasi mereka terus menurun dari tahun ke tahun.

Masyarakat adat, yang biasanya hidup di pedalaman dan jauh dari jangkauan teknologi modern, kini mulai mengalami perubahan. Secara keseluruhan, sekitar 70 juta masyarakat adat tersebar di 31 provinsi di Indonesia, terbagi dalam 2.371 komunitas adat.

Kalimantan menjadi wilayah dengan komunitas adat terbanyak, mencapai 772 komunitas, diikuti oleh Sulawesi dengan 664 komunitas. Di Sumatera, terdapat 392 komunitas adat, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara memiliki 253 komunitas. Maluku mencatat 176 komunitas adat, Papua 59 komunitas, dan Jawa 55 komunitas.

Keberadaan masyarakat adat yang begitu besar dan tersebar luas ini harus dijaga dan dilestarikan. Mereka menyimpan kekayaan budaya, bahasa, kerajinan tangan, hingga hasil alam yang sangat beragam. Melalui upaya kita dan kepedulian terhadap mereka, kekayaan warisan ini dapat dipertahankan dan terus hidup.

Ada satu hal warisan besar yang mereka tinggalkan, kesejahteraan alam. Unsur-unsur ini mencakup identitas budaya yang meliputi bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan satu kelompok sosial dari yang lain. Selain itu, ada sistem nilai dan pengetahuan, yang mencakup pengetahuan tradisional seperti pengobatan tradisional, perladangan tradisional, serta permainan tradisional, sekolah adat, dan berbagai inovasi berbasis pengetahuan tradisional.

Wilayah adat atau ruang hidup juga menjadi unsur penting, meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam lainnya. Bagi masyarakat adat, wilayah ini bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga berhubungan erat dengan sistem religi dan sosial-budaya mereka. Selain itu, hukum adat dan kelembagaan adat menjadi landasan untuk mengatur kehidupan bersama, mencakup aturan-aturan dan tata kelola dalam kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Semua warisan ini merupakan cerminan dari komitmen masyarakat adat dalam menjaga dan meneruskan peninggalan mereka kepada generasi berikutnya. Keunikan setiap warisan dari berbagai masyarakat adat di Indonesia menjadi bukti nyata betapa kaya dan beragamnya budaya yang mendiami negeri ini.

 

Refleksi dan Pelajaran dari Masyarakat Adat dalam Biodiversitas Sekitar

Jika kita menganggap masyarakat adat sebagai kelompok yang kuno dan terisolasi, sebenarnya kita perlu merenung dan belajar banyak dari mereka. Masyarakat adat memiliki prinsip berladang yang luar biasa. Mereka mampu menghasilkan panen melimpah tanpa bergantung pada pupuk atau obat-obatan kimia. Mereka juga memiliki perhitungan waktu khusus yang disesuaikan dengan musim untuk menanam.

Salah satu contoh adalah masyarakat adat di Sungai Utik, yang tinggal di rumah panjang dan menghasilkan berbagai kerajinan tangan yang menakjubkan, seperti kain tenun, tas rajut, dan banyak lagi. Selain keterikatan yang kuat dengan alam, masyarakat adat sejatinya adalah seniman yang piawai.

Misalnya, dalam membuat kain tenun, mereka menciptakan motif-motif yang unik dan khas tanpa bantuan desain awal, semuanya dilakukan secara manual dengan pewarna alami. Karya-karya ini sering dibuat di sela-sela aktivitas berladang dan bertani.

Komitmen masyarakat adat untuk menjaga alam sangat kuat karena alam adalah sumber kehidupan mereka. Mereka menggantungkan hidup pada hutan dan alam sekitarnya untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan sehari-hari mereka.

Masyarakat adat juga berperan sebagai penjaga bumi yang sesungguhnya. Mereka tidak mengeksploitasi hutan, melainkan mengambil secukupnya untuk dikonsumsi, selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup generasi mendatang. Ini adalah prinsip yang luar biasa, bahkan sering kali sulit diterapkan oleh kita yang mengaku modern dan berpendidikan.

Bagi mereka, hutan adalah "supermarket" yang menyediakan segala kebutuhan, mulai dari daging, ikan, sayuran, buah-buahan, hingga madu. Masyarakat adat hidup damai dengan pangan lokal yang tersedia di alam sekitarnya.

Lebih dari itu, hutan adalah rumah leluhur yang mereka anggap sakral. Dalam pandangan kosmologis masyarakat adat, bumi—termasuk hutan, laut, tanah, air, udara, dan kebudayaan—bukan sekadar warisan dari generasi sebelumnya yang perlu dijaga, melainkan pinjaman dari generasi yang akan datang. Oleh karena itu, menjaga bumi berarti menjaga kehidupan dan kelestarian masyarakat adat.

Pengalaman belajar dari masyarakat adat telah meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Sementara kita sering kali merasa lebih peduli terhadap alam, kenyataannya masyarakat adat hidup selaras dengan alam dan memelihara budaya leluhur mereka dari ancaman luar dan kepunahan.

 

Kesimpulan Akhir

Manusia jelas tidak bisa hidup sendirian, seakan alam membantu manusia berkembang menjadi sangat luar biasa kini. Alam dan seisinya hanya minta satu keinginan, menjaganya tetap lestari. Saat mereka tidak ada lagi sekitar kita, manusialah yang kesusahan. Tak ada lagi pepohonan yang memberikan sumber oksigen, tak ada lagi ikan di laut yang jadi sumber protein hingga satwa di dalam hutan sudah menjadi cenderamata awet di rumah pemburu.

Kini tinggal manusia sendiri, bertahan dari bumi yang tak stabil akibat perubahan iklim. Mencari planet lain yang serupa dengan bumi jelas sulit dan hampir dikatakan mustahil. Hanya satu pesan manusia pada alam: Jangan kami karena kamilah sumber kehidupan nyaman kalian. Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita semua, akhir kata: Have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer