Bercerita dan menulis mengenai konflik tentunya menyayat hati banyak orang.
Pengalaman pilu yang selama ini dipendam atau rasa trauma mendalam selalu
terngiang jelas. Namun di sini seakan segala itu coba dipulihkan dan dibagikan
bersama.
Konflik berkepanjangan nyata menjadi pil pahit yang dirasakan masyarakat Aceh. Butuh kurun waktu 3 dekade hingga akhirnya konflik itu reda dengan adanya penandatanganan MoU Helsinki. Perlahan masyarakat Aceh bisa menarik rasa lega, konflik berangsur menghilang. Duka lara konflik hingga bencana alam berlalu, seakan mulai terlupakan.
Bagi masyarakat Aceh yang sejak dulu hidup dalam trauma, seakan ia lupa
akan segala hal mengenai pengalaman. Hanya cerita-cerita tetua yang mulai kini
menua, generasi seakan terus berganti dengan cepat. Bahkan rentan MoU Helsinki
sudah berlalu 19 tahun lamanya, sedangkan awal mula Aceh sudah merentang hampir
5 dekade.
Mereka yang merasakan awal konflik seakan sudah tidak ada, cerita itu hanya
dilestarikan oleh penerusnya. Bagaimana pedihnya masa itu seakan hilang
perlahan. Ada banyak pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu, mereka yang
menjadi korban banyak yang tutup mulut. Merasa kasus yang mereka rasakan hanya
kisah pilu dari sebuah konflik.
Bagaimana ada banyak orang yang kehilangan orang tercintanya akibat konflik
bersenjata. Meninggalkan luka mendalam yang masih terasa hingga kini, meskipun
sudah beberapa tahun berlalu sejak berakhirnya konflik.
Konflik dan Pemulihan Para Korban Aceh
Aceh punya segudang masyarakat dengan trauma beragam, mulai dari konflik
bersenjata hingga trauma bencana alam. Bahkan ada masyarakat yang merasakan
keduanya secara sekalian, dampak ini terasa bahkan sudah hitungan dekade.
Berbagai cara rehabilitasi coba dilakukan terutama menciptakan masyarakat
Aceh yang tidak punya tekanan psikologis di masa lalu. Berbagai hal ini coba
dituangkan dalam berbagai cara salah satunya bercerita dan menuliskan beragam
cerita menariknya.
Ini dilakukan buat para korban bisa melepaskan pengalaman depresi yang
membekas di dalam jiwanya. Bahkan menulis mampu menurunkan gejala tersebut
secara signifikan. Seperti yang diungkapkan pada Journal of Affective Disorders.
Menuangkan pengalaman tak mengenakkan tersebut dalam sebuah tulisan yang
bermakna besar bagi orang lain.
Bahkan ini sudah didukung dengan banyak jurnal yang mengungkapkan hal serupa. Bagaimana konflik yang membuat pikiran begitu stres, mampu diredakan dan dikontrol secara langsung dengan pengalaman journaling (menulis). Bahkan ini lebih efektif dibandingkan dengan pergi ke psikiater atau lainnya.
Menulis Urusan Konflik, Sesuatu yang Menyiksa Batin
Ada banyak orang yang merasakan kekejaman konflik, tak jarang mereka seakan
terpaku. Memilih diam seribu bahasa atas pengalaman buruk tersebut. Hanya orang
terdekat saja yang bisa merasakan pengalaman buruk tersebut.
Itulah yang coba didorongkan, karena ada begitu banyak cerita yang tidak
pernah didengarkan. Ada sebanyak 2 jutaan orang Aceh yang merasakan dampak
perang selama 3 dekade. Pengalaman ini seakan menghadirkan jutaan saksi mata
yang menyaksikannya.
Melalui Koalisi NGO HAM, hal ini coba dikupas dengan jelas dan rinci,
mengundang beragam kisah para korban dalam wujud cerita. Memainkan narasi dari
para korban konflik dalam menceritakan detail akan kejadian yang menimpa korban.
Tak ayal, cerita ini mampu membuat anak muda kita saat ini. Banyak dari
mereka yang sudah lupa, Aceh punya banyak periode waktu yang membuatnya begitu
terpuruk. Seakan mereka tidak pernah melihat bagaimana masa muda untuk sekedar
menyeruput di malam hari sama halnya dengan mengundang maut.
Hal yang dirasa mustahil terjadi kini, generasi saat ini bisa pulang aman
dan tenteram sampai ke rumah. Tak perlu mendengarkan bedil di keheningan malam
sembari tidur tiarap dari balik kamarnya. Sudah bisa tidur nyaman di atas kasur
tanpa gangguan suara letupan senjata dan granat.
Menulis kisah konflik sebuah hal besar, bagaimana setiap detail cerita coba
dirangkai dalam wujud kata-kata. Mencoba membuka memori kelam yang seakan sudah
terbenam, perih memang namun ini seakan wujud refleksi. Mengembalikan ingatan
banyak orang bahwa Aceh pernah mengalami pengalaman yang tidak baik-baik saja.
Pengalaman Menuliskan Kisah Konflik
Sebagai orang yang punya segudang kisah konflik, seakan kisah itu sangat
membekas. Masa kecil yang penuh ketidaknyamanan. Bisa saja sanak keluarga
berakhir di tangan orang tak dikenal, rumah harus dilahap si jago merah atau
bahkan tempat menuntut ilmu menjadi gedung yang telah gosong. Terbakar hebat di
malam hari.
Itu belum lagi bagaimana aksi teror di malam hari, berbagai aksi coba
dilakukan dalam menakuti aparat. Berpindah dari satu kota ke kota lain seakan harus
menarik nafas panjang, harus melewati banyak pos keamanan. Itu belum lagi
dengan sergapan GAM di tengah jalan, seakan nyawa sudah ada di ujung
tenggorokan.
Beragam kisah konflik coba saya ceritakan dan bagikan, saya merasakan 13
tahun hidup saya dengan konflik. Namun hanya sekitar 6-7 tahun saja yang
terekam di dalam memori ingatan saya. Ini coba dituliskan dan dibagikan pada
pembaca nantinya.
Cara inilah coba diterapkan dari Koalisi NGO HAM yang mencari para penulis
Aceh. Ada banyak anak-anak Aceh yang sempat merasakan atau bahkan mendengarkan
cerita dari orang terdekatnya. Pengalaman ini coba ia tuangkan dalam wujud
tulisan esai.
Koalisi NGO HAM Aceh pun sadar bahwa, ada banyak korban konflik yang hidup
di sekitar kita. Mereka semua butuh wadah dalam mengekspresikan pengalaman masa
lalunya. Media yang bisa dimanfaatkan salah satunya dari menulis. Ini sudah
jelas bahwa menulis mampu menurunkan depresi bagi korbannya. Cerita mereka pun
tetap terjaga dan bahkan jadi bahan perenungan kita.
Seakan cerita konflik Aceh ibarat puzzle besar, korban yang masih hidup
seakan meneruskan kisah pedih dari sanak keluarganya yang telah tiada. Bahkan
dari tulisan mereka bisa menjadi wujud keadilan yang masih jauh dari harapan.
Ada banyak anak dan istri korban konflik yang membutuhkan bantuan dan keadilan
kasus mereka. Rasanya nikmat damai belum sampai bila semuanya masih memendam
luka lama.
Kontestasi Menulis Kisah Konflik
Koalisi NGO HAM Aceh punya cara dalam memaksimalkan cerita dari para korban
konflik. Salah satu cara untuk mendukung para korban dan keluarga korban dalam
menyuarakan hak mereka atas pemulihan adalah dengan menyediakan ruang bagi
mereka untuk berbagi pengalaman dan harapan terkait pelanggaran HAM yang pernah
mereka alami.
Salah satu pendekatan yang efektif untuk mewujudkannya adalah dengan
mengadakan kompetisi jurnalisme warga bertema “Menjaga Memori dan Harapan
Korban/Keluarga Korban Pelanggaran HAM di Aceh.” Judulnya jelas memberikan
indikasi bahwa korban dan keluarga bisa bercerita mengenai kisah pilunya.
Lomba yang dilaksanakan dalam rentan sebulan ini menyedot banyak atensi
penulis. Mereka yang mempunyai banyak kisah konflik seakan bercerita
pengalamannya. Juri juga tidak membatasi maksimal tulisannya. Ini karena kisah
konflik seakan ibarat cerita bersambung, seakan ada bagian-bagian yang
tersambung satu sama lainnya dengan korban berbeda. Seakan meluruskan benang
merah kisah panjang konflik.
Saya pribadi termasuk orang yang menuliskan pengalaman konflik yang saya
alami, keluarga hingga teman terdekat. Ada kisah pilu, mendebarkan hingga kisah
lucu. Semua itu wajib diceritakan dengan detail hingga akhirnya tulisan saya
terkumpul. Dengan jumlah sebanyak 3000 kata seakan coba menceritakan segala
hal. Dari awal pengalaman konflik hingga masa MoU, semua terangkum jelas di
sana. Untuk kisah tulisan tersebut hanya terpublikasikan dari pihak Koalisi NGO
HAM. Ini menjadi royalti kisah para korban lainnya dalam wujud buku.
Pengumuman Pemenang Lomba Koalisi NGO HAM Aceh
Tanggal 12 Agustus 2024 jadi hari yang spesial. Selain bertepatan dengan
Ulang Tahun saya yang kini sudah memasuki kepala tiga. Seakan ada kado spesial,
saya menjadi salah satu pemenang dalam lomba tersebut. Saya menjadi pemenang
juara ketiga dari lomba, cukup bersyukur karena ada banyak kisah penulis
lainnya yang tak kalah baik.
Saya pun mendapatkan undangan khusus dari pihak Koalisi NGO HAM Aceh terkait
memenangkan lomba yang mereka adakan. Lomba tersebut spesial karena perdana
dilaksanakan, bahkan bisa dibilang lomba cukup beda. Jarang ada yang mengangkat
isu konflik sebagai tema, seakan para korban atau keluarga bisa bercerita di
dalamnya.
Dalam undangan tersebut, saya beserta sejumlah pemenang lainnya diundang
langsung ke Kantor pusat Koalisi NGO HAM Aceh yang berlokasi Jl. AMD Lorong
Barona No.7, Batoh. Kec. Leung Bata, Kota Banda Aceh. Lokasi kantornya berada
di perumahan warga, seakan kita seperti datang ke rumah. Menikmati jamuan
spesial dari pihak penyelenggara.
Kegiatan dilaksanakan siang hari agar semua peserta bisa berhadir sesuai
rundown. Satu hal menarik di situ adalah bagian peserta bercerita. Pemenang
diberikan kesempatan berbicara 5 s.d 10 menit mengenai kisah yang ditulis.
Waktunya sebentar namun itu sudah dirasa cukup dalam mengetahui tema kisah yang
diangkat.
Pengalaman ini terasa spesial, karena penulis hanya diberikan kesempatan untuk hadiah saya dan mendapatkan hadiah. Namun di sini coba diajak bercerita atas apa yang dituliskan sesuai dengan sudut pandangnya. Saya pun sebelumnya ke sana, sudah menuliskan sedikit hal yang ingin saya ceritakan dengan lugas karena waktu yang disediakan cukup terbatas.
Di awali pembukaan acara yang kala itu dibuka langsung oleh Direktur Koalisi NGO HAM Aceh yaitu Bang Khairil. Beliau bercerita mengenai kegiatan yang mereka laksanakan tersebut. Seakan Koalisi NGO HAM Aceh sangat serius dalam menampung kisah-kisah para korban termasuk pemulihan. Ada banyak korban konflik yang berakhir tidak baik, mulai dari gangguan psikologis hingga ekonomi yang tidak membaik. Ini semua coba dirangkul pungkas beliau.
Seakan semua bisa mendengarkan beragam kisah di masa konflik Aceh. Apakah
di pantai timur, pantai barat, perkotaan hingga perkampungan terpencil
sekalipun. Para korban dan keluarga bercerita satu persatu akan kisah mereka.
Dimulai dari para pemenang dari juara harapan, semua mendengarkan fokus.
Saya mendengarkan seksama kisah para korban, semuanya sama bagusnya.
Mungkin yang memisahkan siapa yang terbaik adalah mereka yang bercerita begitu
detailnya pengalaman itu. Saya pun tertegun dengan kisah Juara I dan Juara II, Nisa
dan Rian, mereka merasakan Ayahnya disiksa dengan begitu keji seakan menyisakan
trauma. Sedangkan Rian harus menjadi yatim di usia beliau yaitu 1 tahun saat
ayahnya dihabisi pihak separatis.
Kisah itu seakan memunculkan dendam, apalagi Rian juga mengenali pelaku
dari penuturan keluarga. Sedangkan cerita dari Yelli bercerita pengalaman Sang
ayah yang harus bertaruh maut saat bekerja. Bertemu para separatis seakan sangat
mendebarkan. Tak jarang kendaraan yang beliau jalankan dicegat atau dirusak.
Terakhir kisah dari agam tentunya bagaimana ia merefleksikan kisah korban
konflik.
Berawal dari pengalaman korban yang ikut dalam pertemuan, mereka sekeluarga
dituduh menjadi antek-antek GAM dan Inong Balee. Setelahnya penyiksaan
berlanjut karena dianggap berbahaya, perlakukan tak senonoh dan fitnah hingga
konflik berakhir. Aceh akhirnya damai, namun mereka tidak dan harus bergejolak
batin melawan pengalaman traumatis itu.
Prosesi Pembagian Hadiah
Setelah mendengarkan semua kisah, kini adalah waktu yang ditunggu-tunggu.
Peserta mendapatkan giliran satu persatu. Mereka mendapatkan sejumlah bingkisan
berupa buku, sertifikat dan tentu saja uang saku. Ini seakan motivasi penulis
Aceh dalam menuliskan konflik tidak diragukan.
Sebelumnya kami juga dibedah mengenai apa yang ditulis. Jurinya yaitu bang Adi, beliau adalah jurnalis
yang sudah makan asam garam akan konflik Aceh. Kisah pilu konflik seakan
membuatnya sudah biasa, ini sudah makanan sehari-hari pungkasnya. Ia lalu membuka
perlahan laptopnya, sembari melihat setiap naskah yang ditulis peserta lomba.
Semua cerita yang diangkat penulis menarik, hanya satu yang membuat mereka jadi yang terbaik adalah bagaimana bercerita detail dan menarik. Ini seakan juara terbaik mampu menghadirkan kisah semaksimal mungkin. Ini banyak yang tidak detail meskipun saat bercerita ada banyak yang lupa dituliskan, sebaiknya ditambahkan pungkas beliau.
Ini terbukti sang juara menulis sebanyak 10 lembar dengan spasi 1, makin
panjang dan makin detail. Jelas ini mengungkap segala hal kelamnya dalam wujud
cerita. Bang Adi selaku juri pun memberikan kesempatan bagi penulis lainnya dalam memperbaiki
karyanya. Ada banyak cerita yang terlewatkan atau dirasa kurang detail. Selain itu juga, Bang Adi memberikan kesempatan selama 3 hari setelah hari penyerahan hadiah untuk
menambahkan plot cerita.
Saya termasuk salah satu yang mencoba menambahkan sejumlah cerita. Awal
mulanya sebanyak kurang lebih 3000 kata, lalu berhasil saya tingkatkan dan
dikirimkan kembali ke panitia untuk nantinya dibukukan. Saya rasa, ada yang
kurang bila sesuatu yang kita tulis dengan sangat baik namun saat dibukukan
tidak terlalu baik dan detail. Ini kesempatan menurut saya.
Saat penyerahan hadiah pun, semua yang hadir ikut sumringah. Berpose
bersama dengan memegang sertifikat yang ada. Menunjukkan bahwa korban konflik
punya kisah dan pengalaman yang siap dibagikan. Ini bisa jadi mahakarya dan
menunjukkan pada generasi muda bahwa Aceh punya cerita.
Semuanya ditutup dengan perjamuan makan sore bersama, menyantap makanan
yang sudah disediakan oleh pihak Koalisi NGO HAM Aceh. Sembari menyantap
makanan yang sudah disediakan. Kami bercerita banyak mengenai lomba dan
pengalaman mereka dalam menghadapi banyak korban konflik.
Ibarat acara sudah selesai namun tetap bercerita panjang lebar. Rasanya kita
semua bisa menjadi saudara setelah lomba. Tak ada yang mempermasalahkan siapa
yang menang atau tidak, rasanya sudah tertemu saja seakan bisa berbagi kisah.
Satu hal yang menarik bagi saya adalah setelah tulisan para pemenang
terkumpul dengan lengkap. Nantinya akan dilanjutkan dengan proses kurasi ketat,
sebelum naik cetak. Saya dan teman-teman cukup bangga dengan hal, karya bisa terpampang
dan bisa dibaca oleh khalayak ramai. Penulis juga akan mendapatkan bukunya satu
persatu setelah naik cetak, tentunya bagi saya pribadi adalah sebuah
pencapaian.
Kesimpulan Akhir
Lomba menulis yang diadakan oleh Koalisi NGO HAM Aceh tentunya jadi pijakan
awal. Bagaimana cara membangun emosional para penulis terutama yang berasal
dari korban konflik. Mereka semua punya cerita dan kisa berbeda yang siap
ditulis.
Secara tak langsung, Koalisi NGO HAM Aceh mempertemukan berbagai macam
orang, golongan dan pengalaman mereka menjadi sebuah cerita penuh diksi
menarik. Saya rasa, lomba serupa layak diadakan kembali. Akan ada banyak kisah
menarik dan tentunya mampu memulihkan duka para korban. Kini mereka punya
kesempatan membagi pengalaman pahitnya dan mendapatkan keadilan seadil-adilnya.
Akhir kata, itulah ulasan saya mengenai pengalaman menarik dari Lomba
Menulis Koalisi NGO HAM. Semua tulisan ini menginspirasi kita semua, Have a
Nice Days.
0 komentar:
Post a Comment