Friday, December 27, 2024

Tool AI buat Generasi Muda Malas Berpikir!

Ada yang tahu maksud dari pengertian ini, tanya ibu guru?

 

Tiba-tiba siswa mengancungkan tangan sembari menjawab. Saya bisa jawab buk! Ini jawabannya. Sembari ibu terpesona dengan jawabannya. Kok kamu bisa tahu semuanya? Gampang buk kan semuanya sudah ada di ChatGPT.

 

Ada satu hal yang cukup miris terjadi saat ini. Saat semua orang terkoneksi dengan Internet dan AI. Saat itulah kemampuan critical thinking dan kreatifnya seakan mati. Seakan kita mendapatkan sebuah jawaban instan yang cukup panjang mendetail dari sebuah mesin pencari tanpa harus melakukan validasi kebenarannya.

 

Kini sudah jadi hal yang lumrah karena hasil dari jawaban dan pencarian AI generatif sangat lengkap dibandingkan dengan jawaban dari manusia. Saat ia hadir dan diperkenalkan di awal tahun 2023 silam, seakan membuka mata semua bahwa AI bergerak dengan sangat cepat.

Saat sebelumnya dunia seakan mengalihkan perhatian di awal pandemi dengan berbondong-bondong untuk membuat aplikasi metaverse. Nyatanya saat pandemi mereda, ini gagal dan dianggap menghirup udara segar di luar lebih menarik dibandingkan dengan menggunakan gadget berat seperti metaverse, apple vision hingga oculus.

 

Ranah tersebut bergeser pada teknologi yang kini sedang booming: kecerdasan buatan. Ranah ini dianggap sangat dibutuhkan dan bisa dikembangkan. Perkembangan yang sudah sangat lama dan kini makin matang, seakan menjawab keinginan dan kegundahan manusia.

 

Bagaimana tidak, AI seakan membantu menjawab, memecahkan masalah dan bahkan tugas anak sekolah yang sangat kompleks. Ia membantu banyak manusia yang butuh teman ngobrol, konten kreator yang butuh bahan hingga mahasiswa tahap akhir yang di ujung tenggat deadline.

 

Tahun 2024 seakan jadi hal wajib, ada banyak aplikasi yang terkoneksi dengan AI. Terlihat sangat menjanjikan dan menjadi fitur wajib. Seakan dunia bergerak dengan sangat cepat bahkan menghasilkan konten lebih menarik dan tentu saja memudahkan pekerjaan.

 

Namun nyatanya AI hadir di era yang membuat kualitas informasi dan kemampuan literasi makin rendah. Caranya tinggal ketik dan mencerna mentah-mentah informasi yang didapatkan. Malahan saat berdebat orang lebih mengandalkan kata-kata dari AI dibandingkan dari pola pikir yang hadir di kepalanya.

 

Ini sebenarnya tidak baik, jendela wawasan memang lebih mudah didapatkan namun kemampuan berpikir kritis dan kreatif makin krisis sehingga anak muda jadi malas berpikir. Mengandalkan segala informasi dari gadget mereka.

 

Tool yang Membantu Namun Mengikis Pola Pikir

Tak mengherankan ada begitu banyak mereka yang minim berpikir kritis. Semuanya dimanjakan dan bahkan tak ada hal yang unik lagi dalam sebuah karya. Mungkin dulu kita bisa menilai sebuah karya dari gaya bahasa yang ia sampaikan. Namun kini gaya bahasa itu sudah hilang, seakan semuanya hasil prompt dari AI.

 

Teknologi memang memudahkan, tapi di sisi lain, ia merampas proses panjang yang seharusnya membentuk karakter dan kedalaman berpikir. Kini, ketelitian dalam memilih kata sering tergantikan oleh kemudahan menekan tombol generate. Boom langsung jadi!!!

Hasilnya, banyak karya terasa datar, seragam, dan kehilangan jiwa. Jika dulu setiap tulisan membawa aroma pemikiran dan pengalaman penulisnya, kini yang tersisa hanyalah barisan kalimat tanpa jejak emosi yang jelas. Rasanya hambar seperti sebuah kaldu tanpa rempah-rempah di dalamnya.

 

Lebih dari sekadar mempermudah, alat-alat ini diam-diam membentuk mentalitas instan. Kita lupa bahwa keindahan sebuah karya terletak pada perjuangan menciptakannya kata demi kata, memperbaiki setiap kalimat, dan merenungkan makna di baliknya.

 

Karya besar lahir dari pergulatan batin, bukan sekadar dari kecanggihan algoritma. Jika kita terus membiarkan teknologi ini mengambil alih, bukan hanya karya yang kehilangan makna, tapi juga kita yang semakin jauh dari hakikat menjadi manusia yang berpikir dan berkreasi.

 

Bantuan AI, Alat Bantu atau jadi Ketergantungan Akut?

Rasanya AI lahir dengan sangat dasar dan sama dengan semua teknologi yang manusia ciptakan: Mudahkan pekerjaan manusia. Setiap masa ada saja teknologi yang hadir, silih berganti satu sama lainnya sehingga akhirnya membuat pekerjaan manusia terdisrupsi.

 

Makanya jangan heran ada banyak pekerjaan yang dulunya familiar, perlahan tergantikan oleh teknologi. Paling sering terjadi buat pekerjaan yang sifatnya berulang, ini sangat gampang digantikan sama teknologi. Nah kini ada banyak pekerjaan yang sifatnya berulang dan menyita banyak waktu. Semuanya coba dipangkas hanya dengan AI.

Tugasnya baik dan membuat orangnya jadi lebih produktif. Sebagai contoh menurut saya yaitu seorang profesor yang butuh waktu dalam membuat jurnal yang ingin ia publikasi. Namun karena sudah ada tools AI yang sangat banyak, kini dia tidak kesulitan lagi.

 

Ada banyak karya berupa jurnal yang berhasil ia terbitkan. Dari dulu hitungan bulan yang melelahkan kini hanya hitungan minggu. Semua data yang ia butuhkan sudah ada. Tinggal bagaimana menyajikan dalam sebuah penelitian. Proses seleksi juga mudah karena para editor bisa bekerja sama dengan AI. Segala kecurangan bisa terdeteksi dengan cepat dan tepat.

 

Jadi di satu sisi ia bisa dianggap sebagai alat bantu atau asisten yang membantu dan bila kita tak mampu berubah. Membuat kreativitas mati, malahan kita yang akan ketergantungan dalam menghasilkan karya yang murni bantuan AI. Jadinya rawan terdeteksi AI spam score atau bahkan dianggap tulisan atau karya lainnya yang kamu buat terlalu kaku dan tidak humanis.

 

Hilangnya Fenomena Trial dan Error

Buat yang bisa bikin sebuah karya, pasti hal paling sering dialami tentu saja trial dan error. Mau tulis ini terasa kurang pas mau buat ini dirasa kurang cocok. Belum lagi banyak distorsi yang ada di sekitar membuat ide stuck. Itu belum ditambahkan dengan mental block creativity, duh niat tulis hanya sekali duduk malah jadi berjam-jam bahkan berhari-hari.

 

Ini sering terjadi buat seorang konten kreator apapun, namun saat ada AI perlahan proses ini tidak ada lagi. Seakan AI membantu di satu sisi namun membuat seseorang tidaklah kreatif. Ia tidak melalui proses panjang trial dan error. Sesuatu hal yang wajib dan tentu saja ini tidak instan.

 

Proses pembelajar pun terasa terskip begitu saja, bagaimana tidak. Tak ada istilah cari bahan dan perdalam hingga matang. Mana yang cocok dan tidak, kemudian direkatkan jadi sebuah tulisan, karya foto dan video. Ini semuanya langsung jadi ambil sepenuhnya tanpa kroscek. Alhasil karyanya kurang nendang, terkesan sangat tidak humanis.

 

Generasi yang Terkena Virus Copy-Paste Society

Fenomena ini sudah sangat nyata, dulu berita yang disampaikan harus copas dulu di mesin pencari. Kini ada banyak AI yang mendukung segala hal. Kini AI menjelma menjadi guru, teman, bahkan asisten pribadi yang siap sedia dalam genggaman.

 

Bayangkan sebuah ruang kelas, di mana seorang guru bertanya, “Ada yang tahu arti dari istilah ini?” Tak butuh waktu lama, seorang siswa dengan penuh percaya diri mengangkat tangan dan menjawab sempurna. Guru pun terkesima, “Kok kamu tahu semua ini?” Dengan ringan siswa menjawab, “Gampang, Bu. Tinggal tanya ChatGPT.” 

AI tak hanya membantu, tapi juga diam-diam mengikis kemampuan berpikir kritis. Jawaban instan yang terpapar panjang dan mendetail membuat kita terjebak dalam ilusi kecerdasan. Padahal, tanpa proses validasi dan refleksi, kita hanya menjadi perpanjangan tangan dari mesin, bukan pencipta gagasan baru.

 

Fenomena ini kian marak. Dari tugas sekolah hingga proyek besar di dunia kerja, AI menjadi tumpuan utama. Kemampuan menganalisis, memecahkan masalah, dan mengembangkan ide perlahan memudar. Yang tersisa hanyalah keterampilan menyalin dan menempel, tanpa jejak kreativitas maupun orisinalitas.

 

Fenomena “Copy-Paste Society” bukan sekadar tren, melainkan alarm yang mengingatkan kita bahwa kemudahan yang berlebihan dapat melahirkan kemandekan intelektual. Jika kita terus membiarkan AI menggantikan proses berpikir, maka tak heran jika di masa depan, kreativitas akan menjadi barang langka, dan manusia hanya akan menjadi penonton di panggung ciptaan mesin.

 

Fenomena yang Membuat Generasi Muda Krisis Intelektual

Jangan heran di Indonesia ada banyak anak-anak yang belum bisa membaca atau tak mahir berhitung. Selain kurikulum yang salah kemarin, ini juga didukung dengan perkembangan teknologi yang membuat generasi muda malas mengasah intelektualnya.

Mereka dimanjakan dari gadget dan aplikasi dengan video singkat. Alhasil kemampuan nalar menurun drastis. Pendekatan informasi yang mereka berikan sangat dangkal itu pun didapatkan dari AI. Jangan heran bila ada banyak info hoax di AI, akan menjadi arus baru berita hoax seperti halnya WhatsApp grup keluarga penuh hoax. Fenomena ini akan terjadi cepat atau lambat.

 

Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya budaya literasi di kalangan generasi muda. Ketika informasi disajikan secara instan, keinginan untuk membaca buku, menganalisis masalah, atau mencari sumber yang valid semakin terkikis.

 

Mereka lebih memilih ringkasan singkat daripada memahami inti dari sebuah topik secara mendalam. Jika dibiarkan, ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan daya saing bangsa di masa depan. Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkaya wawasan, bukan jalan pintas yang membuat generasi muda terjebak dalam pola pikir dangkal dan mudah terpengaruh.

 

Yuk Ciptakan Para Generasi Kreator Buatkan Generasi Copy Paste

Bayangkan jika setiap ide yang muncul dari AI bukan dijadikan akhir, melainkan awal dari proses kreatif. AI hadir bukan untuk menghapus kreativitas manusia, melainkan sebagai alat bantu yang mempercepat inovasi.

 

Seorang anak muda yang dulu kebingungan merangkai ide kini memiliki peluang besar untuk menyempurnakan gagasannya dengan bantuan AI. Kreativitas mereka bisa melompat jauh lebih tinggi karena teknologi ini membuka wawasan yang lebih luas.

 

Karya yang ia hasilkan renyah dan mengalir begitu saja, ia berhasil mengolaborasikan kemampuan kreatifnya dengan kemampuan AI generatif yang super pintar kini. Rasanya akan menghasilkan sebuah karya yang sempurna. Apalagi AI juga bisa mengoreksi sebuah tulisan sudah layak atau dirasa perlu tambahan.

 

Kesimpulan Akhir

AI adalah tool yang membantu sekali  proses kreatif buat kalian berkarya Namun harus bijak buat digunakan. Generasi muda perlu memahami bahwa AI seharusnya menjadi mitra dalam berkarya, bukan pengganti proses berpikir kritis dan kreatif.

 

Masa depan bukan milik mereka yang hanya mengandalkan hasil instan, melainkan milik para kreator yang mampu menggabungkan teknologi dengan ide-ide orisinal dan tentunya proses trial errror. Nah karya bagus itu lahir dari proses berdarah, kalo sudah berhasil. Kalian juga yang untung, semoga tulisan ini bermanfaat akhir kata: have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer