Ada yang tahu maksud dari pengertian ini, tanya ibu guru?
Tiba-tiba siswa mengancungkan tangan sembari menjawab. Saya bisa jawab buk! Ini jawabannya. Sembari ibu terpesona dengan jawabannya. Kok kamu bisa tahu semuanya? Gampang buk kan semuanya sudah ada di ChatGPT.
Ada satu hal yang cukup miris terjadi saat ini. Saat
semua orang terkoneksi dengan Internet dan AI. Saat itulah kemampuan critical
thinking dan kreatifnya seakan mati. Seakan kita mendapatkan sebuah jawaban
instan yang cukup panjang mendetail dari sebuah mesin pencari tanpa harus
melakukan validasi kebenarannya.
Kini sudah jadi hal yang lumrah karena hasil dari jawaban dan pencarian AI generatif sangat lengkap dibandingkan dengan jawaban dari manusia. Saat ia hadir dan diperkenalkan di awal tahun 2023 silam, seakan membuka mata semua bahwa AI bergerak dengan sangat cepat.
Saat sebelumnya dunia seakan mengalihkan perhatian di
awal pandemi dengan berbondong-bondong untuk membuat aplikasi metaverse.
Nyatanya saat pandemi mereda, ini gagal dan dianggap menghirup udara segar di
luar lebih menarik dibandingkan dengan menggunakan gadget berat seperti
metaverse, apple vision hingga oculus.
Ranah tersebut bergeser pada teknologi yang kini sedang
booming: kecerdasan buatan. Ranah ini dianggap sangat dibutuhkan dan bisa
dikembangkan. Perkembangan yang sudah sangat lama dan kini makin matang, seakan
menjawab keinginan dan kegundahan manusia.
Bagaimana tidak, AI seakan membantu menjawab, memecahkan
masalah dan bahkan tugas anak sekolah yang sangat kompleks. Ia membantu banyak
manusia yang butuh teman ngobrol, konten kreator yang butuh bahan hingga
mahasiswa tahap akhir yang di ujung tenggat deadline.
Tahun 2024 seakan jadi hal wajib, ada banyak aplikasi
yang terkoneksi dengan AI. Terlihat sangat menjanjikan dan menjadi fitur wajib.
Seakan dunia bergerak dengan sangat cepat bahkan menghasilkan konten lebih
menarik dan tentu saja memudahkan pekerjaan.
Namun nyatanya AI hadir di era yang membuat kualitas
informasi dan kemampuan literasi makin rendah. Caranya tinggal ketik dan
mencerna mentah-mentah informasi yang didapatkan. Malahan saat berdebat orang
lebih mengandalkan kata-kata dari AI dibandingkan dari pola pikir yang hadir di
kepalanya.
Ini sebenarnya tidak baik, jendela wawasan memang lebih
mudah didapatkan namun kemampuan berpikir kritis dan kreatif makin krisis
sehingga anak muda jadi malas berpikir. Mengandalkan segala informasi dari
gadget mereka.
Tool yang Membantu Namun Mengikis Pola Pikir
Tak mengherankan ada begitu banyak mereka yang minim
berpikir kritis. Semuanya dimanjakan dan bahkan tak ada hal yang unik lagi
dalam sebuah karya. Mungkin dulu kita bisa menilai sebuah karya dari gaya
bahasa yang ia sampaikan. Namun kini gaya bahasa itu sudah hilang, seakan
semuanya hasil prompt dari AI.
Teknologi memang memudahkan, tapi di sisi lain, ia merampas proses panjang yang seharusnya membentuk karakter dan kedalaman berpikir. Kini, ketelitian dalam memilih kata sering tergantikan oleh kemudahan menekan tombol generate. Boom langsung jadi!!!
Hasilnya, banyak karya terasa datar, seragam, dan
kehilangan jiwa. Jika dulu setiap tulisan membawa aroma pemikiran dan
pengalaman penulisnya, kini yang tersisa hanyalah barisan kalimat tanpa jejak
emosi yang jelas. Rasanya hambar seperti sebuah kaldu tanpa rempah-rempah di
dalamnya.
Lebih dari sekadar mempermudah, alat-alat ini diam-diam
membentuk mentalitas instan. Kita lupa bahwa keindahan sebuah karya terletak
pada perjuangan menciptakannya kata demi kata, memperbaiki setiap kalimat, dan
merenungkan makna di baliknya.
Karya besar lahir dari pergulatan batin, bukan sekadar
dari kecanggihan algoritma. Jika kita terus membiarkan teknologi ini mengambil
alih, bukan hanya karya yang kehilangan makna, tapi juga kita yang semakin jauh
dari hakikat menjadi manusia yang berpikir dan berkreasi.
Bantuan AI, Alat Bantu atau jadi Ketergantungan Akut?
Rasanya AI lahir dengan sangat dasar dan sama dengan
semua teknologi yang manusia ciptakan: Mudahkan pekerjaan manusia. Setiap masa
ada saja teknologi yang hadir, silih berganti satu sama lainnya sehingga akhirnya
membuat pekerjaan manusia terdisrupsi.
Makanya jangan heran ada banyak pekerjaan yang dulunya familiar, perlahan tergantikan oleh teknologi. Paling sering terjadi buat pekerjaan yang sifatnya berulang, ini sangat gampang digantikan sama teknologi. Nah kini ada banyak pekerjaan yang sifatnya berulang dan menyita banyak waktu. Semuanya coba dipangkas hanya dengan AI.
Tugasnya baik dan membuat orangnya jadi lebih produktif.
Sebagai contoh menurut saya yaitu seorang profesor yang butuh waktu dalam
membuat jurnal yang ingin ia publikasi. Namun karena sudah ada tools AI yang
sangat banyak, kini dia tidak kesulitan lagi.
Ada banyak karya berupa jurnal yang berhasil ia
terbitkan. Dari dulu hitungan bulan yang melelahkan kini hanya hitungan minggu.
Semua data yang ia butuhkan sudah ada. Tinggal bagaimana menyajikan dalam
sebuah penelitian. Proses seleksi juga mudah karena para editor bisa bekerja
sama dengan AI. Segala kecurangan bisa terdeteksi dengan cepat dan tepat.
Jadi di satu sisi ia bisa dianggap sebagai alat bantu
atau asisten yang membantu dan bila kita tak mampu berubah. Membuat kreativitas
mati, malahan kita yang akan ketergantungan dalam menghasilkan karya yang murni
bantuan AI. Jadinya rawan terdeteksi AI spam score atau bahkan dianggap tulisan
atau karya lainnya yang kamu buat terlalu kaku dan tidak humanis.
Hilangnya Fenomena Trial dan Error
Buat yang bisa bikin sebuah karya, pasti hal paling sering
dialami tentu saja trial dan error. Mau tulis ini terasa kurang pas mau buat ini
dirasa kurang cocok. Belum lagi banyak distorsi yang ada di sekitar membuat ide
stuck. Itu belum ditambahkan dengan mental block creativity, duh niat tulis hanya
sekali duduk malah jadi berjam-jam bahkan berhari-hari.
Ini sering terjadi buat seorang konten kreator apapun,
namun saat ada AI perlahan proses ini tidak ada lagi. Seakan AI membantu di
satu sisi namun membuat seseorang tidaklah kreatif. Ia tidak melalui proses
panjang trial dan error. Sesuatu hal yang wajib dan tentu saja ini tidak instan.
Proses pembelajar pun terasa terskip begitu saja, bagaimana
tidak. Tak ada istilah cari bahan dan perdalam hingga matang. Mana yang cocok
dan tidak, kemudian direkatkan jadi sebuah tulisan, karya foto dan video. Ini
semuanya langsung jadi ambil sepenuhnya tanpa kroscek. Alhasil karyanya kurang
nendang, terkesan sangat tidak humanis.
Generasi yang Terkena Virus Copy-Paste Society
Fenomena ini sudah sangat nyata, dulu berita yang
disampaikan harus copas dulu di mesin pencari. Kini ada banyak AI yang mendukung
segala hal. Kini AI menjelma menjadi guru, teman, bahkan asisten pribadi yang
siap sedia dalam genggaman.
Bayangkan sebuah ruang kelas, di mana seorang guru bertanya, “Ada yang tahu arti dari istilah ini?” Tak butuh waktu lama, seorang siswa dengan penuh percaya diri mengangkat tangan dan menjawab sempurna. Guru pun terkesima, “Kok kamu tahu semua ini?” Dengan ringan siswa menjawab, “Gampang, Bu. Tinggal tanya ChatGPT.”
AI tak hanya membantu, tapi juga diam-diam mengikis
kemampuan berpikir kritis. Jawaban instan yang terpapar panjang dan mendetail
membuat kita terjebak dalam ilusi kecerdasan. Padahal, tanpa proses validasi
dan refleksi, kita hanya menjadi perpanjangan tangan dari mesin, bukan pencipta
gagasan baru.
Fenomena ini kian marak. Dari tugas sekolah hingga proyek
besar di dunia kerja, AI menjadi tumpuan utama. Kemampuan menganalisis,
memecahkan masalah, dan mengembangkan ide perlahan memudar. Yang tersisa
hanyalah keterampilan menyalin dan menempel, tanpa jejak kreativitas maupun
orisinalitas.
Fenomena “Copy-Paste Society” bukan sekadar tren,
melainkan alarm yang mengingatkan kita bahwa kemudahan yang berlebihan dapat
melahirkan kemandekan intelektual. Jika kita terus membiarkan AI menggantikan
proses berpikir, maka tak heran jika di masa depan, kreativitas akan menjadi
barang langka, dan manusia hanya akan menjadi penonton di panggung ciptaan
mesin.
Fenomena yang Membuat Generasi Muda Krisis Intelektual
Jangan heran di Indonesia ada banyak anak-anak yang belum bisa membaca atau tak mahir berhitung. Selain kurikulum yang salah kemarin, ini juga didukung dengan perkembangan teknologi yang membuat generasi muda malas mengasah intelektualnya.
Mereka dimanjakan dari gadget dan aplikasi dengan video
singkat. Alhasil kemampuan nalar menurun drastis. Pendekatan informasi yang
mereka berikan sangat dangkal itu pun didapatkan dari AI. Jangan heran bila ada
banyak info hoax di AI, akan menjadi arus baru berita hoax seperti halnya WhatsApp
grup keluarga penuh hoax. Fenomena ini akan terjadi cepat atau lambat.
Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya budaya
literasi di kalangan generasi muda. Ketika informasi disajikan secara instan,
keinginan untuk membaca buku, menganalisis masalah, atau mencari sumber yang
valid semakin terkikis.
Mereka lebih memilih ringkasan singkat daripada memahami
inti dari sebuah topik secara mendalam. Jika dibiarkan, ini bukan hanya
merugikan individu, tetapi juga melemahkan daya saing bangsa di masa depan.
Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkaya wawasan, bukan jalan pintas
yang membuat generasi muda terjebak dalam pola pikir dangkal dan mudah
terpengaruh.
Yuk Ciptakan Para Generasi Kreator Buatkan Generasi Copy
Paste
Bayangkan jika setiap ide yang muncul dari AI bukan
dijadikan akhir, melainkan awal dari proses kreatif. AI hadir bukan untuk
menghapus kreativitas manusia, melainkan sebagai alat bantu yang mempercepat
inovasi.
Seorang anak muda yang dulu kebingungan merangkai ide
kini memiliki peluang besar untuk menyempurnakan gagasannya dengan bantuan AI.
Kreativitas mereka bisa melompat jauh lebih tinggi karena teknologi ini membuka
wawasan yang lebih luas.
Karya yang ia hasilkan renyah dan mengalir begitu saja, ia
berhasil mengolaborasikan kemampuan kreatifnya dengan kemampuan AI generatif
yang super pintar kini. Rasanya akan menghasilkan sebuah karya yang sempurna.
Apalagi AI juga bisa mengoreksi sebuah tulisan sudah layak atau dirasa perlu
tambahan.
Kesimpulan Akhir
AI adalah tool yang membantu sekali proses kreatif buat kalian berkarya Namun
harus bijak buat digunakan. Generasi muda perlu memahami bahwa AI seharusnya
menjadi mitra dalam berkarya, bukan pengganti proses berpikir kritis dan
kreatif.
Masa depan bukan milik mereka yang hanya mengandalkan hasil instan,
melainkan milik para kreator yang mampu menggabungkan teknologi dengan ide-ide
orisinal dan tentunya proses trial errror. Nah karya bagus itu lahir dari
proses berdarah, kalo sudah berhasil. Kalian juga yang untung, semoga tulisan
ini bermanfaat akhir kata: have a nice days.
0 komentar:
Post a Comment