Dunia bergerak dengan sangat cepat, saya seakan merasakan
dejavu di masa kecil. Masih menggunakan telepon rumah yang sangat rumit untuk
mengobrol sama teman. Rasanya masih sulit karena terlebih dahulu harus mencari
nomor telepon di buku telepon.
Saat paman sedang asyik menelepon idola hatinya di telepon rumah, itu artinya saya harus mengantre hingga ia siap menelepon. Namun dalam 2 dekade fungsi telepon berubah. Sembari menunggu balasan chat doi kamu bisa pesan jersey bola terbaru. Atau bahkan melihat hasil skor pertandingan klub favorit, semuanya serba multitasking.
Seakan teknologi melesat cepat dari sebuah telepon rumah
yang berat dan tidak mobile. Ia sekejap menjadi ponsel pintar yang bisa
dibawa-bawa bahkan dipamerin kepada yang tak punya. Rasanya dulu mana ada
istilah pamer telepon rumah buat dibawa sekolah. Palingan digeplak dan harus telepon
layanan perbaikan telepon karena putus.
Kala itu teknologi hanya dinikmati sebagian orang
kalangan menengah ke atas, kini semua kalangan bisa menikmati teknologi. Bahkan
sudah jadi gaya hidup yang secara tak langsung menciptakan tata krama baru di
dunia digital.
Dunia Digital Mendadak Muncul
Saat itu gebrakan besar datang saat dunia teknologi
datang. Dulu sih teman cuman orang kompleks atau teman satu sekolah. Mendadak
sosial media membuat kita punya teman hingga keluar negeri. Hal yang lumrah terjadi
saat ini. Dunia digital menciptakan ruang baru yang begitu besar dan tak
terbatas. Dunia ini memungkinkan kita berkomunikasi tanpa batasan waktu dan
ruang.
Lagi tiduran malah diajak tanding FIFA atau bahkan chat
spam yang mengganggu. Bahkan kini sudah serba ada AI. Dulunya hanya sebatas
lawan tanding di game kini kita bisa tanya banyak hal pada dia. Meskipun
pengetahuannya sangat mendasar dan cocok buat yang malas baca.
Secara tak langsung itu mengubah habits manusia di era
saat ini. AI jadi hal tak terpisahkan dalam dunia kerja hingga hiburan semuanya
bisa bahkan buat menipu banyak orang. Ada banyak korban hoax yang menjadi
korban hanya dari AI murahan.
Toh kita juga punya tantangan baru di dunia digital.
Dulunya sih orang banyak yang buta huruf, kini rasanya sangat sedikit atau
bahkan tidak. Mereka kini butuh membedakan sebuah fakta, opini, hingga hoax.
Semuanya bertebaran di sosial media dan bahkan ini ancaman. Hal yang paling penting
dilakukan tentu saja bagaimana agar semua orang paham literasi digital.
Namun, literasi digital bukan hanya soal memahami cara
menggunakan teknologi, tetapi juga tentang membangun kesadaran kritis terhadap
apa yang kita konsumsi dan bagikan. Di era banjir informasi ini, kemampuan
untuk memverifikasi sumber, memahami konteks, dan menyaring informasi yang
relevan menjadi kunci agar tidak terjebak dalam pusaran misinformasi.
Literasi digital juga mencakup etika dalam berkomunikasi,
menghormati privasi orang lain, serta menciptakan lingkungan digital yang sehat
dan produktif. Tanpa kemampuan ini, teknologi yang seharusnya menjadi alat
kemajuan justru berisiko membawa dampak negatif bagi individu dan masyarakat.
Menyikapi Hidup di Era Digital Penuh Intrik AI
Kunci untuk menghadapi era ini adalah belajar dan
beradaptasi. Bayangkan saya masih menggunakan SMS buat chat sama gebetan atau
masih main friendster buat cari teman. Sudah pasti saya ketinggalan, zaman
seakan membuat kita harus beradaptasi dengan cepat atau bahkan memahami dengan
cepat.
Tak jarang banyak orang bisa beradaptasi dengan cepat
namun ia tak mampu untuk memahami hal yang lebih penting dari sekedar user,
tapi jadi use pada segala aplikasi yang dipakai. Ada norma-norma yang diperhatikan
dan bahkan tidak tergerus dalam dunia digital yang banyak tipu-tipu semata.
Teknologi telah membuka jalan, kini saatnya kita berjalan
bersama di atasnya dengan bijak dan penuh kesadaran. Dunia digital bukanlah
ancaman jika kita memahaminya sebagai peluang. Saatnya menjadi literat di era
digital, karena di masa depan, literasi bukan hanya soal membaca atau menulis,
tetapi juga memahami dunia yang terus bergerak ini.
Teknologi seakan jadi jembatan, bukan penghalang untuk
hubungan yang lebih mendalam. Ada nilai-nilai yang harus terus kita rawat,
seperti empati, kejujuran, dan saling menghormati, agar dunia digital tetap
menjadi ruang yang sehat dan menyenangkan.
Belajar Literasi Digital biar Tak Jadi Korban Hoax
Saat masa Facebook dulu, saya ingat sekali ada gambar para wanita yang sedang mandi di kali setelah mencuci baju. Dari wajah sekilas ada unsur chindo, lalu di bawah caption tersebut tertulis: Bila ingin air kali tersebut surut, ayo tekan tombol 1.
Apakah saya percaya, jelas tidak percayalah. Tapi say
komen: 1. Hasilnya apakah arti sungai itu surut, ia benar surut dengan banyak
komentar angka 1. Nah ada banyak hoax dan ada juga budaya malas baca lainnya
yang berkembang pesat saat itu. Ibarat sudah dijelaskan info line up timnas. Siapa
saja yang akan bermain nanti pada laga akbar.
Lalu ada komentar seperti ini: Bambang Pamungkas ada
main? Lah ini orang ada baca kaga?
Hal aneh seperti ini seakan membuat lebih dulu
berkomentar dibandingkan membaca dengan seksama. Budaya ini terjadi dengan sendirinya
dan menjadi budaya komunal yang telah mengakar. Ini terjadi karena jaman
digital berkembang pesat tidak diimbangi dengan literasi digital.
Makanya muncul budaya menghujat dulu baru klarifikasi.
Bisa dibayangkan berita itu diangkat oleh jurnalis serampangan dipadukan dengan
pembaca yang malas baca terus gampang panas. Jadilah berita panas yang viral
dan menarik banyak atensi lainnya. Inilah yang terjadi saat ini, isu bombastis
dengan unsur clikbait pasti menemukan banyak sumbu pendek siap meledak.
Untuk menghadapi situasi ini, literasi digital harus
ditanamkan sebagai kebiasaan, bukan sekadar pengetahuan. Kita perlu melatih
diri untuk berpikir kritis sebelum mengonsumsi atau menyebarkan informasi,
terlebih jika berita tersebut memiliki nada provokatif atau berlebihan. Budaya
membaca hingga tuntas sebelum berkomentar harus menjadi norma baru yang
menggantikan kebiasaan impulsif yang sudah terlanjur mengakar.
Selain itu, penting juga untuk mengedukasi diri sendiri
dan orang lain tentang bagaimana mengenali ciri-ciri hoax, seperti sumber yang
tidak kredibel, narasi yang terlalu sensasional, atau foto yang sudah diubah
konteksnya. Dengan membangun kesadaran ini, kita bisa menciptakan ruang digital
yang lebih sehat dan mencegah diri serta orang lain menjadi korban dari
informasi yang salah.
Literasi Model Baru Kini: Literasi AI
Bagi saya pribadi, AI itu ibarat sebuah anak kecil dan ia
masih tahap belajar atau merangkak. Ia butuh informasi agar bisa semakin
cerdas. Informasi yang ia dapatkan dari manusia tentunya dari pertanyaan dan
sumber data yang ia dapatkan.
Makin pintar pertanyaan yang dilemparkan pada ia, ia
makin pintar untuk belajar karena menggunakan model pembelajaran Machine Learning.
Tak heran model bahasa baru yang ia gunakan terbaru jadi lebih canggih dari
sebelumnya. Bahkan sulit membedakan mana data dari manusia atau AI.
AI telah merambah hampir setiap aspek kehidupan: dari
pekerjaan hingga hiburan, dari pendidikan hingga layanan kesehatan. Ada ribuan
ranah lainnya yang pernah sudah coba ia jamah dan membuat banyak manusia kehilangan
ladang uangnya bila tak mampu melakukan adaptasi.
Memahami literasi AI berarti belajar untuk melihat lebih
dalam: dari mana AI mendapatkan informasi, bagaimana keputusannya memengaruhi
hidup kita, hingga cara melindungi privasi saat berinteraksi dengannya. Lebih
dari sekadar alat, AI menuntut kita memahami etika penggunaannya, memastikan ia
dipakai untuk menciptakan manfaat, bukan kerusakan.
Di masa depan, kemampuan membaca dan menulis mungkin tak
lagi cukup. Menguasai AI akan menjadi dasar baru, penting bagi semua orang,
bukan hanya mereka di bidang teknologi. Karena di tangan yang paham, AI dapat
menjadi kunci perubahan besar. Kalian seakan mendapatkan peluang tumpuk uang
saat orang lain masih meraba-raba.
Skill Penting Buat Paham Literasi AI
Literasi ini bukan sekadar tentang tahu cara memakai
teknologi, tetapi tentang bagaimana menjadi pengguna yang kritis, cerdas, dan
bertanggung jawab atas apa yang ia gunakan. Rasanya kita juga harus atau tak
kalah pintar dengan AI.
Pertama sekali tentu saja bagaimana belajar cara kerjanya
secara optimal. Ngga usah muluk-muluk harus paham sampai akarnya, cukup dengan tahu
apa itu machine learning dan deep learning bekerja hingga AI yang kamu pakai
bekerja luar bisa.
Kerjaan yang butuh berjam-jam atau harian, cukup dalam sekejap
siap olehnya. Di sini kamu bisa belajar sejumlah teknologi seperti Prompting agar
data yang dihasilkan jadi maksimal. Kamu juga bisa mengecheck data atau bahkan
AI yang digunakan harus kredibel. Biar nanti hasil kerja kamu ngga malu-maluin
di depan klien.
Saya pribadi dalam menggunakan AI sering menggunakan AI
yang privat dengan tujuan banyak hal. Khususnya mencari data yang sifatnya
privasi, agar data tidak bocor dan disalahkan gunakan oleh pihak tak
bertanggung jawab. Pelanggaran seperti Deepfake
atau penipuan mengatasnamakan kita sangat marak kini.
Literasi AI menuntut kita untuk terus mengikuti
perkembangan teknologi, memahami alat-alat baru, serta mengevaluasi dampaknya.
Dengan keterampilan ini, kita tidak hanya menjadi pengguna AI yang pasif,
tetapi juga pengambil keputusan yang aktif, kritis, dan visioner dalam
menghadapi tantangan dan peluang dunia yang semakin cerdas ini. Jadinya ada
banyak AI yang membuat waktu kerja kita jadi cepat.
Apakah itu edit tulisan, gambar, video hingga mindmap
yang kamu buat. Tinggal bagaimana memaksimalkannya, bila dianggap sangat butuh
pakai saja berbayar. Rasanya mengeluarkan sedikit uang untuk hasil kerjaan dan
menambahkan pemasukan, kenapa tidakkan?
Terpenting kamu selaku aktor utama dalam menghasilkan konten
dan menyerap informasi. Artinya kamu harus jago di kedua aspek tersebut. Apakah
sebagai orang yang menikmati konten tanpa terkecoh itu hoax berkedok AI dan
orang yang bisa menghasilkan konten bermanfaat buat orang lain berlandaskan
dengan AI.
Kesimpulan Akhir
Zaman berubah dengan sangat cepat, dari awal saat saya
masih kecil. Masih main telepon rumah dan di warnet hingga perangkat VR super
canggih kini. Rasanya dunia berubah dengan cepat hanya dalam hitungan 2 dekade
saja. Tak bisa dibayangkan beberapa tahun atau dekade ke depan.
Ada banyak yang terjebak dalam tipu daya sosial media,
mulai dari awal hoax Facebook seperti anak durhaka dikutuk jadi ikan pari hingga
kini Hoax yang bisa dimanipulasi dengan AI. Siapa yang tidak belajar akan menjadi
korban hoax keterusan.
Makanya butuh kemampuan dalam hal memahami literasi tak
hanya di dunia nyata namun di dunia maya. Kini ia dikenal dengan nama literasi
AI, membantu manusia dalam membedakan mana yang beda dan tidak benar agar tidak
asal serap informasi. Literasi AI juga buat kita jadi care dan tentu saja
produktif di era AI saat ini.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice
days.
0 komentar:
Post a Comment