Monday, January 27, 2025

Literasi AI: Belajar Etika di Era Digital

Dunia bergerak dengan sangat cepat, saya seakan merasakan dejavu di masa kecil. Masih menggunakan telepon rumah yang sangat rumit untuk mengobrol sama teman. Rasanya masih sulit karena terlebih dahulu harus mencari nomor telepon di buku telepon.

 

Saat paman sedang asyik menelepon idola hatinya di telepon rumah, itu artinya saya harus mengantre hingga ia siap menelepon. Namun dalam 2 dekade fungsi telepon berubah. Sembari menunggu balasan chat doi kamu bisa pesan jersey bola terbaru. Atau bahkan melihat hasil skor pertandingan klub favorit, semuanya serba multitasking.

 

Seakan teknologi melesat cepat dari sebuah telepon rumah yang berat dan tidak mobile. Ia sekejap menjadi ponsel pintar yang bisa dibawa-bawa bahkan dipamerin kepada yang tak punya. Rasanya dulu mana ada istilah pamer telepon rumah buat dibawa sekolah. Palingan digeplak dan harus telepon layanan perbaikan telepon karena putus.

 

Kala itu teknologi hanya dinikmati sebagian orang kalangan menengah ke atas, kini semua kalangan bisa menikmati teknologi. Bahkan sudah jadi gaya hidup yang secara tak langsung menciptakan tata krama baru di dunia digital.

 

Dunia Digital Mendadak Muncul

Saat itu gebrakan besar datang saat dunia teknologi datang. Dulu sih teman cuman orang kompleks atau teman satu sekolah. Mendadak sosial media membuat kita punya teman hingga keluar negeri. Hal yang lumrah terjadi saat ini. Dunia digital menciptakan ruang baru yang begitu besar dan tak terbatas. Dunia ini memungkinkan kita berkomunikasi tanpa batasan waktu dan ruang.

 

Lagi tiduran malah diajak tanding FIFA atau bahkan chat spam yang mengganggu. Bahkan kini sudah serba ada AI. Dulunya hanya sebatas lawan tanding di game kini kita bisa tanya banyak hal pada dia. Meskipun pengetahuannya sangat mendasar dan cocok buat yang malas baca.

 

Secara tak langsung itu mengubah habits manusia di era saat ini. AI jadi hal tak terpisahkan dalam dunia kerja hingga hiburan semuanya bisa bahkan buat menipu banyak orang. Ada banyak korban hoax yang menjadi korban hanya dari AI murahan.

 

Toh kita juga punya tantangan baru di dunia digital. Dulunya sih orang banyak yang buta huruf, kini rasanya sangat sedikit atau bahkan tidak. Mereka kini butuh membedakan sebuah fakta, opini, hingga hoax. Semuanya bertebaran di sosial media dan bahkan ini ancaman. Hal yang paling penting dilakukan tentu saja bagaimana agar semua orang paham literasi digital.

 

Namun, literasi digital bukan hanya soal memahami cara menggunakan teknologi, tetapi juga tentang membangun kesadaran kritis terhadap apa yang kita konsumsi dan bagikan. Di era banjir informasi ini, kemampuan untuk memverifikasi sumber, memahami konteks, dan menyaring informasi yang relevan menjadi kunci agar tidak terjebak dalam pusaran misinformasi.

 

Literasi digital juga mencakup etika dalam berkomunikasi, menghormati privasi orang lain, serta menciptakan lingkungan digital yang sehat dan produktif. Tanpa kemampuan ini, teknologi yang seharusnya menjadi alat kemajuan justru berisiko membawa dampak negatif bagi individu dan masyarakat.

 

Menyikapi Hidup di Era Digital Penuh Intrik AI

Kunci untuk menghadapi era ini adalah belajar dan beradaptasi. Bayangkan saya masih menggunakan SMS buat chat sama gebetan atau masih main friendster buat cari teman. Sudah pasti saya ketinggalan, zaman seakan membuat kita harus beradaptasi dengan cepat atau bahkan memahami dengan cepat.

 

Tak jarang banyak orang bisa beradaptasi dengan cepat namun ia tak mampu untuk memahami hal yang lebih penting dari sekedar user, tapi jadi use pada segala aplikasi yang dipakai. Ada norma-norma yang diperhatikan dan bahkan tidak tergerus dalam dunia digital yang banyak tipu-tipu semata.

 

Teknologi telah membuka jalan, kini saatnya kita berjalan bersama di atasnya dengan bijak dan penuh kesadaran. Dunia digital bukanlah ancaman jika kita memahaminya sebagai peluang. Saatnya menjadi literat di era digital, karena di masa depan, literasi bukan hanya soal membaca atau menulis, tetapi juga memahami dunia yang terus bergerak ini.

 

Teknologi seakan jadi jembatan, bukan penghalang untuk hubungan yang lebih mendalam. Ada nilai-nilai yang harus terus kita rawat, seperti empati, kejujuran, dan saling menghormati, agar dunia digital tetap menjadi ruang yang sehat dan menyenangkan.

 

Belajar Literasi Digital biar Tak Jadi Korban Hoax

Saat masa Facebook dulu, saya ingat sekali ada gambar para wanita yang sedang mandi di kali setelah mencuci baju. Dari wajah sekilas ada unsur chindo, lalu di bawah caption tersebut tertulis: Bila ingin air kali tersebut surut, ayo tekan tombol 1.

Apakah saya percaya, jelas tidak percayalah. Tapi say komen: 1. Hasilnya apakah arti sungai itu surut, ia benar surut dengan banyak komentar angka 1. Nah ada banyak hoax dan ada juga budaya malas baca lainnya yang berkembang pesat saat itu. Ibarat sudah dijelaskan info line up timnas. Siapa saja yang akan bermain nanti pada laga akbar.

 

Lalu ada komentar seperti ini: Bambang Pamungkas ada main? Lah ini orang ada baca kaga?

 

Hal aneh seperti ini seakan membuat lebih dulu berkomentar dibandingkan membaca dengan seksama. Budaya ini terjadi dengan sendirinya dan menjadi budaya komunal yang telah mengakar. Ini terjadi karena jaman digital berkembang pesat tidak diimbangi dengan literasi digital.

 

Makanya muncul budaya menghujat dulu baru klarifikasi. Bisa dibayangkan berita itu diangkat oleh jurnalis serampangan dipadukan dengan pembaca yang malas baca terus gampang panas. Jadilah berita panas yang viral dan menarik banyak atensi lainnya. Inilah yang terjadi saat ini, isu bombastis dengan unsur clikbait pasti menemukan banyak sumbu pendek siap meledak.

 

Untuk menghadapi situasi ini, literasi digital harus ditanamkan sebagai kebiasaan, bukan sekadar pengetahuan. Kita perlu melatih diri untuk berpikir kritis sebelum mengonsumsi atau menyebarkan informasi, terlebih jika berita tersebut memiliki nada provokatif atau berlebihan. Budaya membaca hingga tuntas sebelum berkomentar harus menjadi norma baru yang menggantikan kebiasaan impulsif yang sudah terlanjur mengakar.

 

Selain itu, penting juga untuk mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang bagaimana mengenali ciri-ciri hoax, seperti sumber yang tidak kredibel, narasi yang terlalu sensasional, atau foto yang sudah diubah konteksnya. Dengan membangun kesadaran ini, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan mencegah diri serta orang lain menjadi korban dari informasi yang salah.

 

Literasi Model Baru Kini: Literasi AI

Bagi saya pribadi, AI itu ibarat sebuah anak kecil dan ia masih tahap belajar atau merangkak. Ia butuh informasi agar bisa semakin cerdas. Informasi yang ia dapatkan dari manusia tentunya dari pertanyaan dan sumber data yang ia dapatkan.

 

Makin pintar pertanyaan yang dilemparkan pada ia, ia makin pintar untuk belajar karena menggunakan model pembelajaran Machine Learning. Tak heran model bahasa baru yang ia gunakan terbaru jadi lebih canggih dari sebelumnya. Bahkan sulit membedakan mana data dari manusia atau AI.

 

AI telah merambah hampir setiap aspek kehidupan: dari pekerjaan hingga hiburan, dari pendidikan hingga layanan kesehatan. Ada ribuan ranah lainnya yang pernah sudah coba ia jamah dan membuat banyak manusia kehilangan ladang uangnya bila tak mampu melakukan adaptasi.

 

Memahami literasi AI berarti belajar untuk melihat lebih dalam: dari mana AI mendapatkan informasi, bagaimana keputusannya memengaruhi hidup kita, hingga cara melindungi privasi saat berinteraksi dengannya. Lebih dari sekadar alat, AI menuntut kita memahami etika penggunaannya, memastikan ia dipakai untuk menciptakan manfaat, bukan kerusakan.

 

Di masa depan, kemampuan membaca dan menulis mungkin tak lagi cukup. Menguasai AI akan menjadi dasar baru, penting bagi semua orang, bukan hanya mereka di bidang teknologi. Karena di tangan yang paham, AI dapat menjadi kunci perubahan besar. Kalian seakan mendapatkan peluang tumpuk uang saat orang lain masih meraba-raba.

 

Skill Penting Buat Paham Literasi AI

Literasi ini bukan sekadar tentang tahu cara memakai teknologi, tetapi tentang bagaimana menjadi pengguna yang kritis, cerdas, dan bertanggung jawab atas apa yang ia gunakan. Rasanya kita juga harus atau tak kalah pintar dengan AI.

 

Pertama sekali tentu saja bagaimana belajar cara kerjanya secara optimal. Ngga usah muluk-muluk harus paham sampai akarnya, cukup dengan tahu apa itu machine learning dan deep learning bekerja hingga AI yang kamu pakai bekerja luar bisa.

 

Kerjaan yang butuh berjam-jam atau harian, cukup dalam sekejap siap olehnya. Di sini kamu bisa belajar sejumlah teknologi seperti Prompting agar data yang dihasilkan jadi maksimal. Kamu juga bisa mengecheck data atau bahkan AI yang digunakan harus kredibel. Biar nanti hasil kerja kamu ngga malu-maluin di depan klien.

 

Saya pribadi dalam menggunakan AI sering menggunakan AI yang privat dengan tujuan banyak hal. Khususnya mencari data yang sifatnya privasi, agar data tidak bocor dan disalahkan gunakan oleh pihak tak bertanggung jawab.  Pelanggaran seperti Deepfake atau penipuan mengatasnamakan kita sangat marak kini.

 

Literasi AI menuntut kita untuk terus mengikuti perkembangan teknologi, memahami alat-alat baru, serta mengevaluasi dampaknya. Dengan keterampilan ini, kita tidak hanya menjadi pengguna AI yang pasif, tetapi juga pengambil keputusan yang aktif, kritis, dan visioner dalam menghadapi tantangan dan peluang dunia yang semakin cerdas ini. Jadinya ada banyak AI yang membuat waktu kerja kita jadi cepat.

 

Apakah itu edit tulisan, gambar, video hingga mindmap yang kamu buat. Tinggal bagaimana memaksimalkannya, bila dianggap sangat butuh pakai saja berbayar. Rasanya mengeluarkan sedikit uang untuk hasil kerjaan dan menambahkan pemasukan, kenapa tidakkan?

 

Terpenting kamu selaku aktor utama dalam menghasilkan konten dan menyerap informasi. Artinya kamu harus jago di kedua aspek tersebut. Apakah sebagai orang yang menikmati konten tanpa terkecoh itu hoax berkedok AI dan orang yang bisa menghasilkan konten bermanfaat buat orang lain berlandaskan dengan AI.

 

Kesimpulan Akhir

Zaman berubah dengan sangat cepat, dari awal saat saya masih kecil. Masih main telepon rumah dan di warnet hingga perangkat VR super canggih kini. Rasanya dunia berubah dengan cepat hanya dalam hitungan 2 dekade saja. Tak bisa dibayangkan beberapa tahun atau dekade ke depan.

 

Ada banyak yang terjebak dalam tipu daya sosial media, mulai dari awal hoax Facebook seperti anak durhaka dikutuk jadi ikan pari hingga kini Hoax yang bisa dimanipulasi dengan AI. Siapa yang tidak belajar akan menjadi korban hoax keterusan.

 

Makanya butuh kemampuan dalam hal memahami literasi tak hanya di dunia nyata namun di dunia maya. Kini ia dikenal dengan nama literasi AI, membantu manusia dalam membedakan mana yang beda dan tidak benar agar tidak asal serap informasi. Literasi AI juga buat kita jadi care dan tentu saja produktif di era AI saat ini.

 

Semoga tulisan saya ini menginspirasi kita semua, Akhir kata, have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer