Dalam sekejap waktu istirahat kerja menghilang, niatnya mau melakukan kegiatan
positif. Namun dalam sekejap saja waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Itu
tandanya waktu istirahat telah habis, waktu yang panjang selama 120 menit
hilang.
Memangnya ia hilang ke mana? Seakan ia tersedot dengan sejumlah kouta yang kita habiskan saat scroll sosial media. Video pendek yang candu berdurasi 30 detik seakan menghabiskan banyak waktu tanpa disadari. Ini pun sangat candu dan buat siapa saja lupa diri.
Jurnal ini berjudul "Brain Rot:
Overconsumption of Online Content (An Essay on the Publicness of Social
Media)" dan mengangkat fenomena yang dikenal sebagai "brain
rot", istilah yang menggambarkan kemunduran mental akibat konsumsi konten
daring yang berlebihan.
Awalnya digunakan pada tahun 1854 dalam karya Henry David
Thoreau, istilah ini kini menjadi perbincangan hangat karena relevansinya dalam
dunia digital modern. Ia bercerita pada era itu orang tak terlalu suka ide yang
kompleks, sukanya yang have fun saja alias receh.
Ini mirip dengan sekarang, ada banyak konten panjang dan
berat seperti halnya di Youtube dianggap hanya bisa ditonton beberapa saja.
Namun dianggap kurang menarik dibandingkan konten singkat receh yang hanya 30
detik. Seakan bayangan Henry dulu tergambar jelas di era sosial media kini.
Brain Rot Muncul dan Merajalela
Sosial media sudah eksis sejak 2 dekade terakhir, seakan
kini media lebih berkutat dengan konten video. Ini dianggap paling gampang dan
relevan dicerna, pengguna bisa melihat dan mendengar saja. Ini sejurus karena
membaca agak sulit dan banyak orang yang sedikit punya minat baca.
Generasi Z dan Alpha kini sering menggunakan istilah ini
di media sosial seperti TikTok. Bagi mereka, "brain rot"
menggambarkan baik penyebab maupun dampak dari konsumsi konten berkualitas
rendah. Generasi muda tampaknya memahami bahwa konten berkualitas rendah bisa
mengurangi kemampuan fokus dan menimbulkan kelelahan mental.
Seakan kita menonton serial dari Spongebob yang bercerita mengenai bagaimana Plankton Berhasil menguasai pikiran masyarakat Kota Bikini Buttom. Di sana ia bisa mengatur segala konten yang mereka nikmati dan bahkan mengatur pola pikir seperti pola pikirnya. Ini sebenarnya contoh Brain Rot yang terjadi saat ini.
Lalu memangnya video apa yang paling menarik buat
disaksikan? Tentu saja konten receh yang dikenal dengan doomscrolling.
kebiasaan mencari berita negatif atau sedih di internet juga dianggap sebagai
bentuk brain rot. Aktivitas ini meningkatkan dopamin di otak, yang memberi rasa
puas sementara tetapi menciptakan kecanduan perilaku.
Tantangan Melawan Bahaya Brain Rot
Untuk menghadapi tantangan ini, penting untuk menemukan
keseimbangan dalam penggunaan teknologi. Mengatur waktu layar, melakukan detox
digital secara berkala, serta berpartisipasi dalam kegiatan di luar dunia maya
adalah langkah-langkah yang dapat membantu menjaga kesehatan mental.
Kesadaran akan dampak teknologi terhadap pikiran dan
emosi kita sangat penting untuk membuat pilihan yang lebih sehat dalam
kehidupan sehari-hari. Toh ini membuat kita bisa berpikir kritis dan fokus tak
hanya terpaku pada video singkat yang hanya durasi 30 detik saja.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam hal menekan
Brain Rot. Apalagi anak Gen Z dan Gen Alpha adalah aset bangsa. Bila mereka
semuanya jadi korban Brain Rot, siapa lagi yang berpikir kritis dan fokus. Ada
sejumlah cara yang bisa dilakukan dari pribadi, keluarga hingga peran negara
dalam menekan aspek ini.
Untuk mencegah hal ini, muncul gagasan untuk membuat
media sosial menjadi berbayar. Secara teori, menetapkan harga pada produk yang
menghasilkan eksternalitas negatif dapat menghilangkan eksternalitas tersebut.
Namun, penerapan harga atau biaya pada barang yang menyebabkan brain rot tidak
seharusnya dianggap sebagai satu-satunya solusi. Oleh karena itu, diperlukan
solusi publik yang lebih luas.
Sejumlah negara adidaya sudah mencoba hal tersebut,
meskipun agak radikal buat saya pribadi. Mulai dari memblokir aplikasi yang
dianggap sumber dari Brain Rot tersebut.
Bagaimana Dirty Consumption Berpengaruh pada Brain Rot
Sebenarnya Brain Rot awal mulanya hadir dari kebiasaan
buruk di sosial media yang dikenal dengan Dirty Consumption. Ini sih merujuk
pada kebiasaan mengonsumsi konten digital berkualitas rendah. Kebiasaan ini
tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif
yang signifikan bagi individu, baik secara mental, emosional, maupun sosial.
Ketika kita terjebak dalam konsumsi konten yang dangkal
dan tidak bermakna, seperti video viral tanpa substansi atau gosip yang tidak
ada ujungnya, kita sering kali kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat
dari informasi yang lebih berharga.
Konten semacam ini hanya memberikan hiburan sesaat dan
tidak memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan diri. Hal ini dapat
menciptakan perasaan hampa dan ketidakpuasan, seolah-olah kita telah
menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas.
Lebih jauh lagi, media sosial dirancang untuk memberikan
kepuasan instan melalui interaksi seperti "like" dan komentar.
Ketergantungan pada dopamin instan ini mendorong perilaku konsumsi berlebihan,
di mana pengguna merasa perlu terus-menerus memeriksa notifikasi dan
memperbarui status mereka.
Akibatnya, mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang
tidak produktif, mengabaikan kebutuhan untuk beristirahat dan merenung. Salah
satu perilaku yang semakin umum adalah doomscrolling, yaitu kebiasaan mencari
berita buruk atau negatif tanpa henti.
Aktivitas ini dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang
berkepanjangan. Dalam pencarian informasi negatif ini, individu sering kali
terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan ketakutan, yang semakin memperburuk
kesehatan mental mereka.
Overload informasi juga menjadi masalah besar di era
digital ini. Dengan begitu banyaknya informasi yang tersedia, kita sering kali
merasa kewalahan dan bingung. Tanpa kemampuan untuk menyaring kualitas konten,
individu dapat mengalami kelelahan mental atau "digital fatigue,"
yang membuat mereka merasa lelah dan tidak berdaya.
Bagaimana Dirty Consumption Buat Pengguna Termakan Hoax
Dirty consumption juga mencakup paparan terhadap konten
yang menyebarkan disinformasi atau perilaku negatif. Ini bukan hanya masalah
individu; fenomena ini menciptakan dampak sosial yang lebih luas, di mana
norma-norma perilaku sehat mulai tergeser oleh konten-konten berbahaya.
Dampak dari dirty consumption sangat nyata. Penurunan
kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi menjadi semakin umum akibat
konsumsi konten berkualitas rendah. Selain itu, fokus dan produktivitas pun
menurun karena waktu berharga dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kemampuan berpikir kritis juga terancam ketika kita terbiasa dengan informasi
instan dan dangkal.
Namun, ada harapan untuk mengatasi masalah ini.
Meningkatkan kesadaran diri adalah langkah pertama; mengenali kebiasaan
penggunaan media sosial kita dan menetapkan batasan waktu dapat membantu
mengurangi konsumsi berlebihan. Memilih konten berkualitas yang memberikan
edukasi atau inspirasi juga merupakan cara efektif untuk meningkatkan
pengalaman digital kita.
Yuk Hilangkan Brain Rot dan Dirty Consumption
Ada beragam cara yang bisa digunakan dalam menghilangkan
kebiasaan buruk di sosial media. Cara ini dikenal dengan Digital Detox. Ibarat
racun buat saya pribadi dengan cara mengurangi atau bahkan menghentikan
penggunaan media sosial untuk sementara waktu. Biar pikiran dan mental jadi
pulih, jadinya kita ngga sebentar-bentar lihat sosial media.
Saat menjalani Digital Detox, kita bisa mengganti waktu
yang biasanya dihabiskan untuk scrolling media sosial dengan kegiatan yang
lebih produktif atau menyenangkan. Misalnya, membaca buku, olahraga, berkebun,
atau mencoba hobi baru.
Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya membantu mengalihkan
perhatian dari layar, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup dan
memperbaiki suasana hati. Coba deh rasakan, tanpa media sosial, kita bisa lebih
banyak menikmati waktu berkualitas dengan keluarga atau sekadar menyendiri
untuk refleksi diri.
Selain itu, detox digital juga membuka kesempatan untuk
mereset hubungan kita dengan teknologi. Dengan tidak tergantung pada notifikasi
atau umpan media sosial, kita bisa lebih fokus pada dunia nyata dan menghargai
momen-momen kecil yang sering terlewatkan.
Bayangkan betapa nyamannya menjalani hari tanpa gangguan
notifikasi, dan betapa damainya menikmati secangkir kopi tanpa merasa harus
memotretnya untuk diunggah. Ingat, media sosial seharusnya menjadi alat, bukan
kebutuhan. Mari mulai kebiasaan baru yang lebih sehat dan bijak!
Belajar Pentingnya Literasi Digital
Ada banyak sekali hoax yang bertebaran di era digital
saat ini. Orang kita tidak seperti dulu hanya mengandalkan koran atau kotak
bergerak bernama TV. Kini segala informasi bisa didapatkan dengan maksimalkan hanya
dari genggaman.
Alhasil kita banyak mendapatkan informasi yang benar dan
salah. Bahkan membuat banyak informasi yang bias atau bahkan hoax. Itulah perlunya
kroscek segala informasi yang didapatkan karena bisa saja info yang salah
tersebut berdampak besar.
Belajar literasi digital cukup dengan cara berpikir kritis
atas info yang kita dapatkan. Mencari segala asal usul berita yang kita serap.
Gunakan model cara 5W+1H dalam penerapan ini, meskipun agak repot namun bisa
mengurangi miss informasi.
Tanya hanya itu juga, kita harus percaya dari info
kredibel. Artinya info yang didapatkan bisa dipertanggung jawabkan. Bukan dari
hanya sebuah konten 30 detik yang dibuat oleh pemilik akun tak kredibel. Bahkan
seorang bocil.
Meningkatkan literasi digital bukanlah tugas yang mudah,
tetapi merupakan proses berkelanjutan yang memerlukan usaha konsisten. Dengan
berpikir kritis, menguasai teknik pencarian informasi, memanfaatkan media
sosial secara positif, memahami kultur digital, dan terus belajar, kita dapat
membekali diri dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan
di era brain rot ini.
Regulasi dalam Mengatur agar Pengguna Bebas Brain Rot
Regulasi diperlukan untuk menyeimbangkan manfaat dan
risikonya, memastikan platform tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga
melindungi kesehatan mental penggunanya. Kita jelas ngga mau para generasi muda
yang akan jadi penerus generasi emas 2045 rusak akibat brain rot.
Atau bahkan melihat banyak pikir lahir kembali terasa
stuck, nah makanya harus ada regulasi khusus yang mengatur dalam hal tersebut. Apalagi
sosial media penyebab besar brain rot terjadi sangat masif kini. Misalnya saja
regulasi dapat diterapkan untuk membatasi waktu layar anak-anak dan remaja.
Contohnya, Cina telah menetapkan aturan ketat agar
anak-anak hanya dapat bermain gim online pada jam tertentu. Langkah ini dapat
diperluas ke media sosial dengan cara mengintegrasikan batas waktu penggunaan
yang diatur melalui perangkat atau aplikasi.
Tak berhenti di sana saja, sejumlah media kini seperti Tiktok
punya algoritma berbahaya. Kini mereka punya user terbesar di Indonesia pasca
Amerika Serikat melakukan proses pemblokiran. Mau tak mau Indonesia punya
kendali, termasuk mengatur algoritma agar sesuai dengan pencarian yang baik.
Di sini juga pemerintah harus bekerja sama dengan konten
kreator. Caranya dengan menciptakan sosial media yang ramah segala umur
termasuk kaya edukasi. Dengan cara memberikan insentif lebih banyak pada
kreator yang terjun ke dunia edukasi. Sedangkan yang receh-receh akan dibatasi
dan diberikan teguran supaya akan menciptakan rule baru di dunia sosial media.
Kesimpulan Akhir
Digitalisasi dan teknologi telah menjadi bagian integral
dari kehidupan modern, tetapi penggunaannya yang berlebihan, terutama melalui
media sosial, dapat menimbulkan dampak negatif seperti brain rot. Istilah ini
merujuk pada kemunduran mental akibat konsumsi konten berkualitas rendah secara
berlebihan, yang kini menjadi masalah sosial.
Solusi harus dimulai dari perubahan perilaku individu,
didukung oleh regulasi publik yang melindungi hak konsumen dan perusahaan.
Media sosial, dengan sifatnya sebagai barang publik global, membutuhkan
pengelolaan bijak untuk mencegah tragedy of the commons akibat konsumsi yang
tidak terkendali.
Pendekatan holistik yang melibatkan kesadaran pribadi dan
kolaborasi global diperlukan untuk mengatasi fenomena ini. Apalagi kita yang
terjebak dengan banyak konten tak bermutu, namun semua itu bisa digantikan dengan
konten berkualitas baik meskipun sedikit. Lebih baik sedikit tahu namun
mendalam dibandingkan banyak tahu tetapi dangkal.
Semoga tulisan saya ini menginspirasi, akhir kata, have a nice days.
0 komentar:
Post a Comment