Saturday, January 25, 2025

Brain Rot: Ketika Media Sosial Mengambil Alih Pikiran

 

Dalam sekejap waktu istirahat kerja  menghilang, niatnya mau melakukan kegiatan positif. Namun dalam sekejap saja waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Itu tandanya waktu istirahat telah habis, waktu yang panjang selama 120 menit hilang.

 

Memangnya ia hilang ke mana? Seakan ia tersedot dengan sejumlah kouta yang kita habiskan saat scroll sosial media. Video pendek yang candu berdurasi 30 detik seakan menghabiskan banyak waktu tanpa disadari. Ini pun sangat candu dan buat siapa saja lupa diri.

 

Jurnal ini berjudul "Brain Rot: Overconsumption of Online Content (An Essay on the Publicness of Social Media)" dan mengangkat fenomena yang dikenal sebagai "brain rot", istilah yang menggambarkan kemunduran mental akibat konsumsi konten daring yang berlebihan.  

 

Awalnya digunakan pada tahun 1854 dalam karya Henry David Thoreau, istilah ini kini menjadi perbincangan hangat karena relevansinya dalam dunia digital modern. Ia bercerita pada era itu orang tak terlalu suka ide yang kompleks, sukanya yang have fun saja alias receh.

 

Ini mirip dengan sekarang, ada banyak konten panjang dan berat seperti halnya di Youtube dianggap hanya bisa ditonton beberapa saja. Namun dianggap kurang menarik dibandingkan konten singkat receh yang hanya 30 detik. Seakan bayangan Henry dulu tergambar jelas di era sosial media kini.

 

Brain Rot Muncul dan Merajalela

Sosial media sudah eksis sejak 2 dekade terakhir, seakan kini media lebih berkutat dengan konten video. Ini dianggap paling gampang dan relevan dicerna, pengguna bisa melihat dan mendengar saja. Ini sejurus karena membaca agak sulit dan banyak orang yang sedikit punya minat baca.

 

Generasi Z dan Alpha kini sering menggunakan istilah ini di media sosial seperti TikTok. Bagi mereka, "brain rot" menggambarkan baik penyebab maupun dampak dari konsumsi konten berkualitas rendah. Generasi muda tampaknya memahami bahwa konten berkualitas rendah bisa mengurangi kemampuan fokus dan menimbulkan kelelahan mental.

Seakan kita menonton serial dari Spongebob yang bercerita mengenai bagaimana Plankton Berhasil menguasai pikiran masyarakat Kota Bikini Buttom. Di sana ia bisa mengatur segala konten yang mereka nikmati dan bahkan mengatur pola pikir seperti pola pikirnya. Ini sebenarnya contoh Brain Rot yang terjadi saat ini. 


Lalu memangnya video apa yang paling menarik buat disaksikan? Tentu saja konten receh yang dikenal dengan doomscrolling. kebiasaan mencari berita negatif atau sedih di internet juga dianggap sebagai bentuk brain rot. Aktivitas ini meningkatkan dopamin di otak, yang memberi rasa puas sementara tetapi menciptakan kecanduan perilaku.

 

Tantangan Melawan Bahaya Brain Rot

Untuk menghadapi tantangan ini, penting untuk menemukan keseimbangan dalam penggunaan teknologi. Mengatur waktu layar, melakukan detox digital secara berkala, serta berpartisipasi dalam kegiatan di luar dunia maya adalah langkah-langkah yang dapat membantu menjaga kesehatan mental.

 

Kesadaran akan dampak teknologi terhadap pikiran dan emosi kita sangat penting untuk membuat pilihan yang lebih sehat dalam kehidupan sehari-hari. Toh ini membuat kita bisa berpikir kritis dan fokus tak hanya terpaku pada video singkat yang hanya durasi 30 detik saja.

 

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam hal menekan Brain Rot. Apalagi anak Gen Z dan Gen Alpha adalah aset bangsa. Bila mereka semuanya jadi korban Brain Rot, siapa lagi yang berpikir kritis dan fokus. Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan dari pribadi, keluarga hingga peran negara dalam menekan aspek ini.

 

Untuk mencegah hal ini, muncul gagasan untuk membuat media sosial menjadi berbayar. Secara teori, menetapkan harga pada produk yang menghasilkan eksternalitas negatif dapat menghilangkan eksternalitas tersebut. Namun, penerapan harga atau biaya pada barang yang menyebabkan brain rot tidak seharusnya dianggap sebagai satu-satunya solusi. Oleh karena itu, diperlukan solusi publik yang lebih luas.

 

Sejumlah negara adidaya sudah mencoba hal tersebut, meskipun agak radikal buat saya pribadi. Mulai dari memblokir aplikasi yang dianggap sumber dari Brain Rot tersebut.

 

Bagaimana Dirty Consumption Berpengaruh pada Brain Rot

Sebenarnya Brain Rot awal mulanya hadir dari kebiasaan buruk di sosial media yang dikenal dengan Dirty Consumption. Ini sih merujuk pada kebiasaan mengonsumsi konten digital berkualitas rendah. Kebiasaan ini tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi individu, baik secara mental, emosional, maupun sosial.

 

Ketika kita terjebak dalam konsumsi konten yang dangkal dan tidak bermakna, seperti video viral tanpa substansi atau gosip yang tidak ada ujungnya, kita sering kali kehilangan kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari informasi yang lebih berharga.

 

Konten semacam ini hanya memberikan hiburan sesaat dan tidak memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan diri. Hal ini dapat menciptakan perasaan hampa dan ketidakpuasan, seolah-olah kita telah menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas.

 

Lebih jauh lagi, media sosial dirancang untuk memberikan kepuasan instan melalui interaksi seperti "like" dan komentar. Ketergantungan pada dopamin instan ini mendorong perilaku konsumsi berlebihan, di mana pengguna merasa perlu terus-menerus memeriksa notifikasi dan memperbarui status mereka.

 

Akibatnya, mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak produktif, mengabaikan kebutuhan untuk beristirahat dan merenung. Salah satu perilaku yang semakin umum adalah doomscrolling, yaitu kebiasaan mencari berita buruk atau negatif tanpa henti.

 

Aktivitas ini dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang berkepanjangan. Dalam pencarian informasi negatif ini, individu sering kali terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan ketakutan, yang semakin memperburuk kesehatan mental mereka.

 

Overload informasi juga menjadi masalah besar di era digital ini. Dengan begitu banyaknya informasi yang tersedia, kita sering kali merasa kewalahan dan bingung. Tanpa kemampuan untuk menyaring kualitas konten, individu dapat mengalami kelelahan mental atau "digital fatigue," yang membuat mereka merasa lelah dan tidak berdaya.

 

Bagaimana Dirty Consumption Buat Pengguna Termakan Hoax

Dirty consumption juga mencakup paparan terhadap konten yang menyebarkan disinformasi atau perilaku negatif. Ini bukan hanya masalah individu; fenomena ini menciptakan dampak sosial yang lebih luas, di mana norma-norma perilaku sehat mulai tergeser oleh konten-konten berbahaya.

 

Dampak dari dirty consumption sangat nyata. Penurunan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi menjadi semakin umum akibat konsumsi konten berkualitas rendah. Selain itu, fokus dan produktivitas pun menurun karena waktu berharga dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Kemampuan berpikir kritis juga terancam ketika kita terbiasa dengan informasi instan dan dangkal.

 

Namun, ada harapan untuk mengatasi masalah ini. Meningkatkan kesadaran diri adalah langkah pertama; mengenali kebiasaan penggunaan media sosial kita dan menetapkan batasan waktu dapat membantu mengurangi konsumsi berlebihan. Memilih konten berkualitas yang memberikan edukasi atau inspirasi juga merupakan cara efektif untuk meningkatkan pengalaman digital kita.

 

Yuk Hilangkan Brain Rot dan Dirty Consumption

Ada beragam cara yang bisa digunakan dalam menghilangkan kebiasaan buruk di sosial media. Cara ini dikenal dengan Digital Detox. Ibarat racun buat saya pribadi dengan cara mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan media sosial untuk sementara waktu. Biar pikiran dan mental jadi pulih, jadinya kita ngga sebentar-bentar lihat sosial media.

 

Saat menjalani Digital Detox, kita bisa mengganti waktu yang biasanya dihabiskan untuk scrolling media sosial dengan kegiatan yang lebih produktif atau menyenangkan. Misalnya, membaca buku, olahraga, berkebun, atau mencoba hobi baru.

 

Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya membantu mengalihkan perhatian dari layar, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperbaiki suasana hati. Coba deh rasakan, tanpa media sosial, kita bisa lebih banyak menikmati waktu berkualitas dengan keluarga atau sekadar menyendiri untuk refleksi diri.

 

Selain itu, detox digital juga membuka kesempatan untuk mereset hubungan kita dengan teknologi. Dengan tidak tergantung pada notifikasi atau umpan media sosial, kita bisa lebih fokus pada dunia nyata dan menghargai momen-momen kecil yang sering terlewatkan.

 

Bayangkan betapa nyamannya menjalani hari tanpa gangguan notifikasi, dan betapa damainya menikmati secangkir kopi tanpa merasa harus memotretnya untuk diunggah. Ingat, media sosial seharusnya menjadi alat, bukan kebutuhan. Mari mulai kebiasaan baru yang lebih sehat dan bijak!

 

Belajar Pentingnya Literasi Digital

Ada banyak sekali hoax yang bertebaran di era digital saat ini. Orang kita tidak seperti dulu hanya mengandalkan koran atau kotak bergerak bernama TV. Kini segala informasi bisa didapatkan dengan maksimalkan hanya dari genggaman.

 

Alhasil kita banyak mendapatkan informasi yang benar dan salah. Bahkan membuat banyak informasi yang bias atau bahkan hoax. Itulah perlunya kroscek segala informasi yang didapatkan karena bisa saja info yang salah tersebut berdampak besar.

 

Belajar literasi digital cukup dengan cara berpikir kritis atas info yang kita dapatkan. Mencari segala asal usul berita yang kita serap. Gunakan model cara 5W+1H dalam penerapan ini, meskipun agak repot namun bisa mengurangi miss informasi.

 

Tanya hanya itu juga, kita harus percaya dari info kredibel. Artinya info yang didapatkan bisa dipertanggung jawabkan. Bukan dari hanya sebuah konten 30 detik yang dibuat oleh pemilik akun tak kredibel. Bahkan seorang bocil.

 

Meningkatkan literasi digital bukanlah tugas yang mudah, tetapi merupakan proses berkelanjutan yang memerlukan usaha konsisten. Dengan berpikir kritis, menguasai teknik pencarian informasi, memanfaatkan media sosial secara positif, memahami kultur digital, dan terus belajar, kita dapat membekali diri dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di era brain rot ini.

 

Regulasi dalam Mengatur agar Pengguna Bebas Brain Rot

Regulasi diperlukan untuk menyeimbangkan manfaat dan risikonya, memastikan platform tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga melindungi kesehatan mental penggunanya. Kita jelas ngga mau para generasi muda yang akan jadi penerus generasi emas 2045 rusak akibat brain rot.

 

Atau bahkan melihat banyak pikir lahir kembali terasa stuck, nah makanya harus ada regulasi khusus yang mengatur dalam hal tersebut. Apalagi sosial media penyebab besar brain rot terjadi sangat masif kini. Misalnya saja regulasi dapat diterapkan untuk membatasi waktu layar anak-anak dan remaja.

 

Contohnya, Cina telah menetapkan aturan ketat agar anak-anak hanya dapat bermain gim online pada jam tertentu. Langkah ini dapat diperluas ke media sosial dengan cara mengintegrasikan batas waktu penggunaan yang diatur melalui perangkat atau aplikasi.

 

Tak berhenti di sana saja, sejumlah media kini seperti Tiktok punya algoritma berbahaya. Kini mereka punya user terbesar di Indonesia pasca Amerika Serikat melakukan proses pemblokiran. Mau tak mau Indonesia punya kendali, termasuk mengatur algoritma agar sesuai dengan pencarian yang baik.

 

Di sini juga pemerintah harus bekerja sama dengan konten kreator. Caranya dengan menciptakan sosial media yang ramah segala umur termasuk kaya edukasi. Dengan cara memberikan insentif lebih banyak pada kreator yang terjun ke dunia edukasi. Sedangkan yang receh-receh akan dibatasi dan diberikan teguran supaya akan menciptakan rule baru di dunia sosial media.

 

Kesimpulan Akhir

Digitalisasi dan teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, tetapi penggunaannya yang berlebihan, terutama melalui media sosial, dapat menimbulkan dampak negatif seperti brain rot. Istilah ini merujuk pada kemunduran mental akibat konsumsi konten berkualitas rendah secara berlebihan, yang kini menjadi masalah sosial.

 

Solusi harus dimulai dari perubahan perilaku individu, didukung oleh regulasi publik yang melindungi hak konsumen dan perusahaan. Media sosial, dengan sifatnya sebagai barang publik global, membutuhkan pengelolaan bijak untuk mencegah tragedy of the commons akibat konsumsi yang tidak terkendali.

 

Pendekatan holistik yang melibatkan kesadaran pribadi dan kolaborasi global diperlukan untuk mengatasi fenomena ini. Apalagi kita yang terjebak dengan banyak konten tak bermutu, namun semua itu bisa digantikan dengan konten berkualitas baik meskipun sedikit. Lebih baik sedikit tahu namun mendalam dibandingkan banyak tahu tetapi dangkal.

 

Semoga tulisan saya ini menginspirasi, akhir kata, have a nice days.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kenalan Blogger

My photo
Blogger & Part Time Writer EDM Observer